Senin, 21 Desember 2015

Jualan Bukan Hanya Cari Duit, Tapi Niat Menolong Orang


Aku terjun ke milagros, awalnya dari niat membelikan untuk ayahku saja supaya dia selalu sehat dan aku tidak perlu sengsara mengurus segala keperluannya bila sesekali aku mudik.

Ketika aku menjadi agen/distributor/member milagros, aku membawa milagros ke daerah domisiliku karena ingin membantu orang-orang di sekitarku tahu tentang produk keren asli Indonesia ini. Itu seperti halnya aku ingin mempopulerkan kelor dan kandungan gizinya yang luar biasa. Seperti juga ketika aku mendatangkan prohormax—untuk membantu petani, peternak dan pembudidaya ikan di daerah Hulu Sungai yang menjadi tempat tinggalku sekarang.

Dua bulan menjadi member, aku melangkah ke stockist. Menjadi pra-stokis dulu sebagai proses wajib sebelum menyandang status “stokis”. Bukan karena potensi penghasilan yang lebih besar, tetapi karena dengan menjadi stokis aku bisa mengurangi harga jual produk milagros—karena aku bisa mendapatkan milagros tanpa ongkos kirim, dan stokis dikenai peraturan ketat tentang harga jual produk, yaitu [saat ini] Rp 350.000,- per box (isi 12 botol) dan Rp 35.000,- per botol; tidak boleh kurang, tidak boleh lebih.

Jelas, menjadi stokis itu potensi profit jualannya jauh berkurang. Sedangkan potensi membentuk jaringan sebenarnya hampir sama. Ya, kalaupun hanya agen/member biasa, kalau dia aktif ya pasti bisa saja membangun jaringan bisnis milagros.

Bagi saya, kenapa jualan milagros? Untuk membantu orang: (1) memberi mereka akses pada produk berkualitas tinggi yang bisa menjadi obat bagi berbagai macam penyakit; (2) menunjukkan sarana yang lebih murah untuk sehat dan/atau sembuh dari berbagai  macam penyakit; dan bila ingin menambah jalan rejeki (3) menjembatani orang untuk menjalankan bisnis bermodal murah (hanya Rp 350.000,-) dan memperoleh hasilnya.

Memangnya kenapa harus menolong orang? Kenapa tidak diminum sendiri saja? Kenapa tidak dijual sendiri saja agar profitnya tidak terbagi dengan orang lain?

Karena kebahagiaan itu datangnya dari menolong orang, bukan dari mengambil untuk diri sendiri.

Kamis, 10 Desember 2015

Demo Milagros Pertamaku: Scalar Energy


Aku ingat betul, aku lebih suka membaca-baca brosur dan “perangkat perang” si agen milagros ketika dia mendemonstrasikan produk milagros. Untungnya, entah karena tidak fokus membaca atau punya sedikit skill mata-mata, aku sempat melirik dan mengingat ucapan orang-orang di sekitarku saat itu.

Di kemudian hari, ketika aku menjadi agen milagros dan harus menjelaskan tentang kehebatan air minum superistimewa itu, ingatan dari demo produk yang tidak kuperhatikan itu menyelematkanku. Tidak … bukan saja menyelamatkanku, tapi juga memberiku penjualan yang bagus.

Ketika teringat itu, saya langsung berikan demo kepada beberapa orang yang tertarik dan bertanya tentang apa itu milagros. Kutirukan apa yang kuingat itu. Kuminta salah satu dari mereka—yang bobot badannya jelas-jelas lebih berat daripada aku—untuk berdiri dengan kedua tumit dan kaki rapat. “Aku akan menarik tanganmu ke bawah, kamu jangan biarkan lutut dan pinggangmu tertekuk. Kalau nanti mau ambruk gara-gara kutarik tanganmu ke bawah, ya jatuh aja. Toh, jatuhnya ke arahku. Nanti aku yang menahan, atau kamu jatuh saja menimpaku,” ujarku.

Well, posisi yang kuminta itu adalah posisi yang sangat gampang dirobohkan. Berat badanku hanya di kisaran 54 kg, tapi hingga saat ini, sebesar apapun orangnya, tidak ada yang tidak tumbang saat kuminta ambil posisi demikian dan kutarik tangannya ke bawah. Pada awalnya sih …

Karena, kemudian kuletakkan sebotol spray milagros (milaspray) di sakunya sebelum kulakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Hanya saja, memang terbukti, setelah milaspray ada di kantong teman yang berdiri dengan kedua kaki dan tumit rapat, sangat susah bagiku menumbangkannya dengan cara menarik tangannya ke bawah. Bahkan sampai kedua kakiku terangkat—yang artinya aku menggunakan seluruh berat badanku untuk menarik tangannya ke bawah—ia tetap tidak tumbang. Bahkan pernah juga itu kulakukan pada seorang perempuan kru TVRI Kalsel. Hasilnya sama.

Demo lain, tetap dengan si mungil milaspray. Kuminta orang mengangkat benda berat yang terlihat di sekitar kami mengobrol. Ada yang pernah mengangkat speaker besar, pot bunga besar, dan yang paling sering kalau outdoor adalah pantat sepeda motor. Setiap orang yang pernah kuminta—atau tepatnya kutunjukkan bukti manfaat energi skalar milagros—selalu merasakan perbedaannya antara mengangkat barang saja dan mengangkat barang sambil mengantongi sebotol milaspray.

Gilanya, berkali-kali kutunjukkan hal itu kepada banyak orang, tanpa pernah sekalipun aku mencobanya sendiri. Lupaaaa … hehehe …. Well, akhirnya, aku mencobanya sendiri sekitar dua bulan setelah demo pertamaku.

Tapi, itu bukan eksperimen pribadi pertamaku. Karena satu bulan sebelumnya aku sudah mendemokan energi skalar yang terkandung dalam milagros dengan cara lain. Itu ketika si Surya—teman sekantor beda bagian yang tidak kurus dan badannya lebih tinggi dariku—mau membeli milagros dariku. Membeli tapi hanya karena penasaran. Hanya sebotol. Kutunjukkan energi skalar milagros dengan cara menantangnya panco. Aku menang? Tidak. Karena faktor beda berat dan tenaga, saat itu jam 14, aku masih duduk di meja kerjaku, belum makan siang, sedangkan si Surya mendatangiku setelah makan siang. Pada kesempatan pertama, aku kalah hanya dalam 10 detik, dan berakibat tangan dan sekujur lenganku bergetar seperti orang kelaparan. Ya, memang lapar. Itu jam dua siang dan aku belum makan apa-apa selama 6 jam. Tapi pada kesempatan kedua, si Surya harus berusaha keras untuk bisa mengalahkanku, dan makan waktu 50 detik lebih—gara-gara aku melawannya sambil memeluk sebotol milagros di tangan kiriku. Itu sebotol yang kemudian dia beli. Hehe ..

Rabu, 09 Desember 2015

Membawa Milagros Via Bandara


Sponsorku di milagros adalah seorang stokis. Tapi ia di kampung kelahiranku, berseberang laut dari kampung tempat tinggalku sekarang. Jadi, meskipun aku berada di dalam jaringannya, aku tidak belanja darinya.

Ternyata milagros sudah tersebar ke mana-mana se-Indonesia. RDC (regional distribution center)-nya ada di Cimahi, Cibinong, Tangerang, Surabaya, Medan dan Kupang. Stokisnya apalagi. Waktu itu sudah 400 orang lebih, bertebaran di sepanjang nusantara: Aceh sampai Papua. Di provinsi tempat tinggalku, Kalsel, juga sudah ada beberapa.

Tapi, sebelum aku membeli di stokis Kalsel, aku ingin membawa sendiri. Kumasukkan satu dus milagros yang masih terbungkus plastik ke dalam koper besar, kuapit dengan pakaian. Harus benar-benar rapi agar botol-botol berisi air itu bisa tersangga dengan baik—untuk ‘menghadapi’ handling bagasi dan menghindari kebocoran. Sebelum hasil packing-ku itu ‘menghadapi’ kejamnya handling bagasi, aku terlebih dahulu harus menghadapi pemeriksaan petugas bandara. Yup, aku dipanggil untuk membuka koper berisi pakaian dan 12 botol cairan itu.

Seorang petugas menyuruhku membuka koper. Seorang lagi geleng-geleng melihatku mengangkat pakaian-pakaian yang terlipat itu beberapa lembar demi beberapa lembar, memindahkan dan meletakkannya dengan hati-hati tanpa mengubah bentuk lipatannya. “Rapi banget ya packing-nya,” komentarnya. “Memang harus rapi supaya bisa muat semua,” jawabku sambil pasang senyum tanpa dosa.

Ketika bagian atas dus milagros terlihat, petugas memintaku mengeluarkannya. Kuangkatlah dengan hati-hati, menjaga agar tumpukan pakaian yang mengapitnya tetap membentuk dinding dan space yang ditinggalkan dus milagros tidak menciut. Celakanya, ketika mulai mengangkat itu aku masih belum punya ide argumentasi apapun untuk menjawab jika si petugas tidak mengijinkan si mila masuk bagasi. Kalau hanya air putih, masa sebanyak itu kubawa? Kalau kubilang itu bukan air putih biasa, bagaimana aku membuktikannya? (Ini gara-gara aku tidak memperhatikan demo produknya ketika diperagakan di depanku dua hari sebelumnya)

Pelan-pelan kuangkat dus milagros. Sambil mengincar meja petugas untuk meletakkannya—karena tidak baik jika milagros diletakkan di lantai. Alhamdulillah, begitu tulisan “milagros” di bodi depan dus itu terlihat, aku langsung dapat ide. “Yang merk ini susah betul carinya, Pak, makanya saya bawa,” ucapku langsung tancap tanpa ditanya. Setidaknya, semua petugas yang mendengar ucapanku itu tak satupun yang menyanggah. Berarti mereka memang belum pernah melihat air minum bermerk milagros.

(Kalau saja aku punya waktu, kutunggu hingga mereka selesaikan shift kerja hari itu, untuk kubagi informasi tentang minuman keren ini.)

Aku tetap harus membuka dus itu. Dibantu seorang petugas yang menggunakan pisau cutter. Kupersilakan seorang petugas mengambil salah satu botol. Ia ambil sebuah yang di tengah, ditunjukkan kepada petugas yang pertama menyuruhku membuka koper—yang tampaknya semacam berpangkat lebih tinggi dibanding yang lain. Mereka manggut-manggut melihat air bening dalam kemasan botol cantik bernuansa ungu itu. Lalu mempersilakan aku menata kembali koperku.

Ada yang berencana membawa barang langka via bandara?

Selasa, 08 Desember 2015

Terceburku ke Air Milagros


Dua bulan yang lalu aku mengambil keputusan yang memberiku identitas baru: milagroser. Yup, itu sebutanku sendiri untuk diriku sendiri. Istilah resminya—mungkin—adalah agen milagros. Well, “milagros” itu nama merk, dan sekali ini aku tidak menutup-nutupi penulisannya dengan tanda asterisk.

Aku menemukan nama “milagros” di facebook, menjadi nama belakang akun seorang teman. Yang tampak intens terlihat hampir di setiap kali aku mengakses facebook adalah seorang teman di kampung kelahiranku. (Mungkin tidak lama lagi aku pun menggunakan “milagros” sebagai nama tengah akunku ..hahaha ….)

Akhir September lalu aku mengambil cuti, mengunjungi kampung kelahiranku … dan menemukan botol milagros di meja makan di rumah orang tuaku. Kutanyakan perihal itu, kudapati jawaban bahwa bapakku yang pernah meminumnya dan berhenti dari batuk berkepanjangan yang membuat badannya susut drastis.

(Aku ingat pertama kali mendengar tentang batuk bapakku itu pada Agustus 2012. Saat itu ibuku bilang sudah 3 bulan bapak batuk-batuk. Juni 2013 aku mudik dan mendapati bapakku sudah bukan lagi seseorang berbadan gempal. Ia kurus dan terlihat tua. Kukatakan terlihat tua karena ketika badannya masih gempal berisi banyak orang mengatakan ia selalu terlihat lebih muda dibanding teman-teman seangkatannya. September 2015 ketika aku mengunjunginya lagi, bapakku tampak seperti seorang tua kurus. Tapi tidak lagi batuk-batuk.)

Katanya, dapat milagros dari teman yang kulihat intens ‘promosi’ di facebook itu. Info itu diperkuat oleh kakak perempuanku yang ternyata juga sudah rutin mengkonsumsi air minum alami itu. Ia juga bilang, seorang saudara kami sudah terdaftar sebagai agen.

Ketika bertemu dengan si biang milagros itu, kukatakan aku tertarik. Ia orang yang banyak kerjaan, tapi menyempatkan diri juga untuk datang menemuiku, menjelaskan tentang milagros, tentang produk maupun bisnisnya.

Sebelumnya, aku hanya berniat membelikan untuk bapak ibuku secara rutin. Aku hanya ingin bersepakat dengan si agen milagros itu bahwa di hari-hari kemudian aku ingin bisa menelponnya untuk mengirimkan milagros untuk orang tuaku, dan pembayarannya kutransfer saja. Tapi niat itu langsung berkembang ketika ia bilang bahwa dengan membeli 1 dus milagros (berisi 12 botol @612 ml) seharga Rp 350k aku langsung berhak untuk menjadi agen juga.

Ia juga bilang, setelah menjadi agen, aku bisa membeli 1 dus milagros hanya dengan Rp 300k. Yup, potong Rp 50k. Aku sudah berkomitmen untuk secara rutin membelikan air minum ajaib itu untuk kedua orang tuaku, jadi potongan segitu untuk setiap kali pembelian pasti jauh lebih baik daripada aku tidak mengambil hakku untuk menjadi agen pada pembelian pertamaku.

So, why not? Hari itu, Kamis sore, 1 Oktober 2015, aku hanya berniat membeli 1 dus dulu. Sinyal ponsel sedang lumayan bagus, jadi bisa langsung rergistrasi online dan mengaktifkan aku milagrosku. Tapi tidak. Tidak 1 dus. Aku langsung menambah 2 dus lagi. Karena, dengan satu kartu identitas, milagros mengijinkan kita memiliki 7 akun. Hari itu, sore itu, aku keluar modal 1,05m dan punya 3 akun milagros. Dan aku bisa langsung mengakses virtual office-ku.

Tiga dus di tanganku. Satu untuk orang tuaku, satu untuk mertuaku, dan satu lagi kubawa ke kampung tempat tinggalku.

Senin berikutnya, 5 Oktober 2015, kuterima SMS pemberitahuan dari milagros. Akun kedua dan ketigaku secara keseluruhan membuahkan komisi pertamaku di milagros, sebesar Rp 90k (aslinya Rp 100k, tapi milagros menetapkan aturan potong komisi 10% untuk maintenance virtual office). ***

Senin, 26 Oktober 2015

Kabut Asap, Hujat, Mangap


Beberapa pekan belakangan ini perhatian di negeri kita sedang disibukkan oleh kabut asap. Bencana? Iya, bencana. Tapi kalau itu ditetapkan sebagai bencana nasional, saya pribadi kurang setuju. Tidak perlu status atau kategori apa, kabut asap ya kabut asap.

Mengapa tidak setuju? Karena saya khawatir tentang perpindahan tanggung jawabnya. Jika kabut asap itu berasal dari ulah manusia, tidakkah sebaiknya kita tuntut tanggung jawab si manusia itu?

Kasus penetapan luapan lumpur di Sidoarjo sebagai bencana nasional mengubah nama aslinya: lumpur lapindo. Dampaknya, bukannya lapindo yang harus bertanggung jawab, malah duit negara yang digunakan untuk memberi santunan [atau ganti rugi atau apapun namanya] kepada para korban. Jika lapindo yang mengebor/menggali hingga ke sumber lumpur itu, maka dialah yang harus bertanggung jawab. Jika ada perusahaan yang menyuruh pembakaran lahan, merekalah yang seharusnya bertanggung jawab dan mendanai segala penanggulangan dampaknya.

Negara sudah cukup banyak “diporoti” untuk memadamkan api. Jangan bebaskan pihak yang seharusnya bertanggung jawab dengan menyatakan kabut asap sebagai bencana nasional.

Dan … entah berapa kali aku melihat di media sosial dan di media massa, mereka mudah sekali berkomentar dan menghujat. Saya bukan penggemar Jokowi, dan saya juga berkali-kali tidak sepaham dengan kebijakan pemerintah. Tapi, menghujat pemerintah atas bencana kabut asap itu apa gunanya? Apakah hujatan itu bisa mengurangi kepekatan asap?

Atau, apakah mereka yang menghujat itu pernah membantu mengurangi atau mencegah bertambahnya kabut asap yang melanda Kalimantan, sebagian Sumatra dan beberapa negara tetangga itu?

Beberapa hari lalu aku bertemu dengan seorang teman yang bekerja di sebuah rumah sakit. Dan tidak jauh dari tempat kerjanya itu ada lahan (hutan) yang terbakar. Ia bilang, sejumlah tim pemadam kebakaran memang mendatangi lokasi itu, tetapi 10 buah selang pemadam yang disambung-sambung tidak berhasil mencapai semua titik api (berapa panjang satu selang pemadam kebakaran? 30 meter? Lebih.). Beberapa titik tidak terjangkau karena harus melewati jurang.

Temanku sempat singgah di tepi jalan terdekat ke lokasi itu. Di sana, jumlah personel tidak sebanding dengan peralatan yang tersedia—dan api yang ada. Jadi, siapapun yang mau membantu, tidak hanya dipersilakan melainkan langsung ditunjukkan alat mana yang bisa dibawa, apa yang harus dilakukan, ke arah mana, dan sebagainya. Yup! Siapapun bisa merasakan serunya jadi relawan pemadam kebakaran hutan.
Apakah orang-orang yang menghujat itu pernah berada di sana, di lokasi kebakaran, dan bergabung membantu para relawan pemadam kebakaran hutan?

Hari ini aku membaca berita di koran. Ini sedikit kutipannya:

Petugas yang siaga di posko sekitar 15 orang setiap harinya. Namun saat ada kebakaran, semua relawan selalu siap siaga untuk terjun ke lapangan memadamkan api.
Ketulusan para relawan dalam ikkut  memadamkan api tampak saat mereka melupakan kepentingan pribadi, yaitu makan dan minum, karena banyaknya titik api yang harus dipadamkan berturut-turut.
“Mau bagaimana lagi, sementara kita makan dan minum, api pasti tambah meluas dan kerugian bertambah. Paling kita curi-curi waktu untuk makan saat berada di atas mobil yang melaju kencang mengejar lokasi kebakaran,” kata Anuy, anggota BPK Balakar.
“Relawan yang turut membantu memadamkan kebakaran atas dasar kemanusiaan, tanpa imbalan insentif. …”

Anda yang menghujat, apa yang sudah anda lakukan untuk membantu memadamkan api dan mengurangi asap kebakaran hutan dan lahan di negeri ini?

Selasa, 13 Oktober 2015

Kukira Lugu, Ternyata LUarrrbiasa GUobloknya



Hampir dua pekan ini, ada sebuah fenomena lucu di kampung facebook chapter Hulu Sungai Kalimantan Selatan. Kalau mau lebih spesifik, wilayahnya sekitar Balangan … dan sangat mungkin hulu sungai tengah, karena ada sebuah lembaga yang disebut-sebut dalam teks-teks menggelikan di chapter facebook tersebut.

Adalah sebuah akun facebook bernama R**a*su****I yang mengirimkan friend request ke akunku. Seperti biasa, kuterima saja. Biasanya, setelah ku-confirm dan aku ada waktu, kulihat-lihat dulu profil, postingan dan teman-teman akun tersebut. Kalau alay dan aku merasa tidak akan mendapat manfaat apa-apa dari pertemanan kami, biasanya aku tidak follow … atau kublokir.

Tak lama setelah friend request itu ku-confirm, postingan statusnya mulai nongol di wall-ku. (Eh, namanya masih wall atau sudah ganti jadi timeline? Whatever it is, you know what I mean, don’t you?)

Pada awalnya, aku mengira asumsiku benar: dia adalah newbie alias anak baru di facebook. Masih lugunya terlihat dari nama yang dia gunakan sebagai akun: [terkesan] seperti nama betulan, tidak diubah sedikitpun; tidak seperti nama akun anak-anak alay yang boros karakter dan sulit dibaca. Dengan postingan-postingan nggak pentingnya, ia menceritakan bahwa ia akan menikah. Nama calon suaminya disebut dengan sangat jelas, bukan dengan ejaan alay. 

Tidak alay? Enggak juga. Ia tidak alay dalam menyebut nama orang dan nama desa/tempat. Tapi kata-kata lain lumayan alay. Khas [buruk] anak-anak usia ABG yang mengenal komunikasi via gadget elektronik.
Baik, kembali ke lugunya. Selain nama calon suaminya, ia juga menyebutkan dengan sangat jelas nama dirinya, nama adiknya, nama desa tempat tinggalnya, lokasi rumahnya, nama almamaternya. Semuanya dengan ejaan yang jelas, tidak alay. Well, keluguan ini sudah mengarah ke kecerobohan, bukan?

Beberapa jam menjelang pernikahannya, ia juga pasang status tentang itu. Ia informasikan via facebook. Apa tanggapan teman-teman di facebook? Seperti biasa: ucapan selamat.

Kemudian, lugu dan corobohnya itu mulai berubah menjadi bodoh. Ia mempost status yang menceritakan tentang perasaan pribadinya, tentang perasaannya menunggu malam pertama ‘menjamu’ suaminya. Tidak dengan kalimat seperti yang saya tuliskan ini, tetapi dengan pilihan kata yang vulgar. Beberapa temannya menangkap kesan murahan. Beberapa menyayangkan karena mereka tahu almamater si R**a*su****I itu mencakup pula dua buah pondok pesantren. Anak pesantren macam apa yang di media sosial mengatakan pukinya gatal sudah ingin bermalam pertama? Lalu pula menceritakan menginformasikan suara ah uh ah uh yang mereka buat dan situasi kamar-kamar saudara mereka yang berdekatan? Juga rasa sakit di puki yang ia masih rasakan setelah diperawani suaminya? (Hadeh, kok aku jadi ikut-ikutan vulgar?)

Beberapa temannya, mungkin yang memang mengenalnya, atau minimal yang berbaik sangka, mengomentari tidak percaya dan berharap itu ulah hacker.

Lucunya kemudian, si pemilik akun lantas berkali-kali menuliskan bantahan. Berkali-kali ia mengklarifikasi bahwa semua status itu memang dia yang bikin. Bahwa akun facebooknya tidak sedang dibajak oleh siapapun. Juga, bahwa memang begitulah kelakuannya—dan minta dimaklumi. Bahkan, ia menyebut teman-teman yang mengatakan akunnya dibajak itu sebagai berburuk sangka.

Bagitu, itu berarti dia tidak lagi bodoh. Itu lebih tepat dikategorikan sebagai “nggak punya otak” atau minimal idiot. Betapa malunya teman-teman sealmamaternya [dan juga institusi pondok pesantren yang pernah menerimanya] mengetahui ada sesama mereka yang seidiot itu. Sangat mudah dibayangkan, menurutku.
Baiklah. Tidak usah lagi kusebut-sebut akun itu. Aku sudah memblokirnya.

Yang aku heran, tidakkah sekolah atau pondok pesantren atau lembaga pendidikan apapun mendidik murid-muridnya untuk memiliki rasa malu? Saya yakin, semua melakukan itu. Sayangnya, tidak semua murid memahami apa itu media sosial, apa itu rasa malu, apa itu berbaik sangka.

Yang aku heran, hari gini masih ada anak perempuan [alumni pondok pesantren pula] seidiot itu?
Aku sejak awal mau menegurnya. Tapi kuputuskan kutunda dulu. Kuikuti perkembangannya, ternyata semakin parah. Dan itu tadi, teman-teman yang mengingatkannya, bahkan yang mencoba melindungi nama baiknya, ia katakan sebagai berburuk sangka, tidak berakal, dan sejenis itu.

So, what else can I say or do? Daripada aku menegurnya—pasti dengan kosakata yang sangat tidak sopan atau menusuk hati—lalu kuputuskan untuk memblokirnya saja. Mudah-mudahan ‘ketidakpedulianku’ kali ini tidak berakibat semakin buruknya dunia ini.


However, aku sedih banget. Jika masih ada pemuda-pemudi kita yang selugu ini (lugu = luarrrbiasa guobloknya), mau jadi apa bangsa ini?
 



Senin, 05 Oktober 2015

Jumpa Lagi ... Walau Belum Bisa HIhahihi


Hari ini menemukan sesuatu yang surprising: blog bike-to-work ada lagi! Nggak sia-sia aku pertahankan ikon link-nya selama hampir setahun ini tetap nongkrong di menu bar. Yup, hampir genap setahun ini blog itu nggak bisa diakses.

Walau nggak bisa diakses, aku tetap saja sesekali mengklik. Hasilnya tetap saja dominasi warna kuning di monitor, plus informasi secukupnya tentang situs itu nggak bisa diakses. Kenapa ku-klik lagi dan lagi? Well, selain tetap berharap, aku toh suka warna kuning. Jadi, kalaupun aku tidak mendapatkan situs yang kutuju, setidaknya kudapatkan warna kesukaanku mendominasi monitor laptopku. Hehe …

Dan hari ini aku surprised waktu lagi-lagi iseng-iseng ku-klik ikon itu.

Kayaknya juga, perubahan bukan hanya tampilan alias layout-nya. Apa aturan mainnya juga berubah? Karena aku nggak bisa login pake username dan password lamaku. Atau, semua member terdahulu dihapus dan harus signup lagi? Entahlah. Tapi belum kutemukan tombol bertulis ‘signup’.

Sambil menunggu keisenganku meng-klik-klak-klik ikon itu lagi, kubagi dulu deh link-nya: http://www.b2w-indonesia.or.id/


Rabu, 26 Agustus 2015

Misteri Jarak


Yuhhuuuu …‼ Hari ini aku donor darah lagi. Bukan donor rutin, tapi donor karena ada permintaan.

Sambil ngobrol, tumben aku tanya-tanya berapa banyak darah yang diperlukan. Itu karena aku datang sendirian; teman sekantor yang suka-cita bila kuajak donor sedang tugas ke luar kota. Ternyata, dari sejumlah pendonor yang dihubungi, aku adalah yang pertama datang.

Tumben juga aku tanya-tanya tentang pasien yang memerlukan tambahan trombosit. Dan petugas di unit transfusi darah tidak tahu pasti. Hanya tahu pasien berasal dari kelurahan X … dan ternyata itu adalah kelurahan yang sama dengan tempat tinggalku.

Selagi kantong darah masih menyedot darah lewat jarum di lipatan sikuku, seseorang datang. Ternyata dia sama sepertiku, pendonor yang baru saja dihubungi. Kuajak ngobrol, ternyata dia juga dari kelurahan yang sama denganku, hanya beda RT. Dari dialah aku tahu lebih rinci tentang alamat pasien yang memerlukan sumbangan darah kami. Pendonor itu menyebutkan lokasi rumah tempat tinggal si pasien, yang ternyata berjarak hanya puluhan langkah dari kontrakanku—tapi memang kami tidak saling mengenal. Aku pernah ke rumah tetangga yang itu hanya dua kali. Dua-duanya untuk sekadar melayat karena ada yang meninggal dunia.

Jadi ingat pelajaran matematika jaman SMP. Jarak antara dua titik adalah panjang garis lurus yang menghubungkan kedua titik tersebut.

Di alam nyata, garis penghubung dua titik tidak selalu berupa garis lurus. Bisa jadi garis penghubungnya adalah garis lengkung, atau bahkan garis yang bertolak dari titik pertama tapi ngelantur ke mana-mana dulu sebelum menabrak titik kedua. Seperti jalan yang menghubungkan rumahmu dan taman kota yang ada wifi gratisnya: bukan seruas jalan yang benar-benar lurus.

Dan jadi ingat juga pada kajian fisika. Tepatnya, fisika kuantum—itukah namanya? Bahwa rute terdekat dari satu titik ke titik lain tidak selalu berupa garis lurus. Mungkin akan lebih dekat bila melalui sebuah lubang cacing (wormhole), lalu menjelajah dimensi lain dan keluar melalui sebuah lubang cacing lain di depan titik kedua.

Dimensi lain itu di mana?

Entahlah. Mungkin di ruang transfusi darah.

Selasa, 25 Agustus 2015

Aneh dan Menyebalkan


Dolar sedang mahal. Atau rupiah yang memang melemah?

Banyak yang kecewa karena rezim yang sedang memerintah negeri ini ternyata tidak memenuhi ramalan juru tenung ekonomi yang dulu mengatakan bahwa kalau si A jadi presiden maka nilai tukar rupiah akan sekian.
Banyak juga yang memberi alasan yang menjelaskan mengapa harga dolar menanjak. Tentu, alasan yang diberikan tidak sembarangan alias disortir dulu supaya tidak terkesan ngeles atau seperti alasan yang dicari-cari.

Para eksportir biasanya menyukai kenaikan harga dolar. Apalagi kalau kontrak penjualan mereka menggunakan mata uang berwarna suram itu. Saya sendiri pernah menjadi saksi sekaligus penikmat dari kombinasi mahalnya nilai dolar dan arus ekspor yang bagus.

Adalah Jepara di tahun 1998. Kabupaten di Jawa Tengah itu dikenal sebagai penghasil mebel kayu berkualitas ekspor. Dan memang, mebel kayu adalah salah satu tiang utama penyangga perekonomian Jepara—semoga sampai sekarang dan seterusnya. Ketika darah-daerah lain di Indonesia sengsara oleh hantaman krisis ekonomi (kita mengenalnya dengan sebutan krismon alias krisis moneter), Jepara justru mengalami masa kejayaan. Puluhan kontainer keluar dari Jepara setiap hari, menuju pelabuhan peti kemas. Ratusan angkutan umum dari daerah-daerah di sekitar Jepara setiap pagi penuh penumpang menuju Jepara. Yang memenuhi tak lain adalah orang-orang yang—karena berbagai faktor—rela bekerja sebagai buruh amplas atau pekerjaan-pekerjaan lain yang mengandalkan fisik di industri mebel kayu.

Saat itu, saya tinggal di daerah lain dengan dukungan biaya hidup yang dihasilkan dan dikirim dari Jepara. Saya bisa melihat betapa sengsaranya masyarakat di kota tempat tinggal saya saat itu akibat krismon, dan pada saat yang sama, merasakan betapa orang tua saya memiliki kemampuan pembiayaan yang lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Itulah yang membuat saya tidak menyukai melemahnya nilai tukar rupiah saat ini. Karena bisnis mebel di Jepara tidak lantas melambung tinggi. Dolar mahal kok orang mebel nggak jadi kaya? Ini aneh. Aneh tapi menyebalkan.

Baiklah. Dolar mahal, rupiah terpuruk. Lalu apa yang berani kita lakukan? Maukah kita membeli tempe yang dibuat dari kedelai hasil panen petani kita sendiri? Maukah para pengrajin tempe berkompak untuk keukeuh menggunakan kedelai dalam negeri—walaupun butirannya tidak sejumbo kedelai dari amrik—dan “memaksa” kita tetap membelinya? Maukah kita menggunakan ponsel yang dirakit di dalam negeri saja daripada ponsel top-brand yang masuk ke negeri kita dalam kondisi siap pakai? Maukah kita tidak makan gandum dan produk olahannya? … karena gandum tidak tumbuh di negeri tropis—yang berarti segala macam gandum dan hasil olahannya berasal dari impor. Maukah kita membeli buah pisang dari pedesaan kita, alih-alih buah-buahan impor?

Kalau tidak mau, ya sudahlah. Tidak usah berkeluh kesah dolar mahal atau ponsel android dan tempe naik harga. Cuma bikin capek.

Jumat, 21 Agustus 2015

Berjuang Kalah, Berdiam Lawan Tak Menang

(Asyem! Udah nulis mingu-minggu kemaren, ternyata lupa mem-posting ....)


 “Mengalah untuk menang.” Begitu bunyi pepatah atau kalimat bijak tempo dulu. Masihkah relevan?

Bukan hanya relevan, tapi tampaknya justru diterapkan untuk “bertarung” dalam konteks pemilihan kepala daerah (pilkada) di negeri kita.

Kita tahu, KPU mengambil langkah efisiensi yang sangat signifikan dengan menyerentakkan pilkada di negeri ini—pada ‘kesempatan pertama’ adalah untuk daerah-daerah yang masa tugas kepala daerahnya berakhir pada rentang entah bulan apa 2015 hingga entah bulan apa 2016 (tanggal dan bulan tepatnya nggak terlalu penting dalam obrolan ini, saya kira).

Masa pendaftaran bakal calon kepala daerah [berikut wakilnya] adalah tiga hari di pekan terakhir Juli lalu. Itu yang ‘masa normal’-nya. Saya bilang ‘normal’ karena ternyata ada beberapa daerah yang tidak mendapatkan apa-yang-diperlukan untuk melaksanakan pilkada.

Beberapa contoh daerah yang tidak mendapatkan itu misalnya Surabaya, Blitar, Timor Tengah Utara dan Tasikmalaya. Di daerah-daerah itu—dan beberapa lainnya—hanya ada sepasang bakal calon kepala daerah yang mendaftar ke KPU. Artinya, mereka tidak memiliki lawan tanding. Tak ada yang hendak melawan mereka berebut kursi pemimpin daerah.

(Membaca koran tadi pagi, Surabaya sudah memiliki satu lagi pasangan yang mendaftar ke KPU. Finally ….)

Apakah partai-partai yang tidak mengusung dan/atau tidak mendukung pasangan calon pemimpin daerah adalah partai-partai yang kalah? Tidak. Mereka belum kalah. Mereka yang memilih untuk tidak mengajukan pasangan calon pemimpin pasti bukan karena menyerah. Setidaknya, mereka tahu mereka akan sulit menang tetapi tetap berupaya untuk membuat kubu seberang tidak menang.

Surabaya adalah contoh paling mudah. Semua orang tahu betapa populernya bu Risma. Reputasi bu Risma adalah yang tidak mau tunduk kepada partai pengusungnya—yang pernah sok galak sambil sangat paham bahwa sang petahana adalah “jaminan mutu” untuk memenangi pilkada—dan terkenal ke mana-mana seantero Surabaya. Mengajukan diri sebagai tandingan bu Risma di pilkada—dalam logika dangkal saya—hampir bisa diterjemahkan sebagai tindakan bunuh diri.

Tampaknya hanya Tuhan sajalah yang mampu membendung popularitas bu Risma. Tapi, adalah peraturan dari KPU yang memberi celah untuk menggagalkan bu Risma jadi walikota periode berikutnya. Peraturan itu adalah klausul yang mengatakan bahwa pilkada tidak bisa dilaksanakan bila tidak ada lawan tanding alias hanya ada satu pasangan calon pemimpin.

Gampang, kan? Daripada mengajukan pasangan calon dan jelas-jelas akan kalah, mending tidak mengajukan dan lawan batal menang. Sebuah bentuk kreativitas dalam dunia politik. ^_^ *****

Rabu, 29 Juli 2015

Ospekku Masih Mewarnaiku


Pekan ini adalah pekan pertama anak-anak masuk sekolah setelah libur lebaran. Tidak semua, sih, tapi lumayan banyak daerah yang iya. Di media-media sosial banyak obrolan tentang MOS (Masa Orientasi Siswa)—atau sejenisnya. Banyak yang mengeluhkan pelaksanaannya yang buruk, ketidakbergunaan dan dampak buruknya.

Yah, gimana nggak mengeluh kalau anak-anak mereka dikerjai teman-teman sealmamater yang hanya beda tingkat/kelas? Ada yang bilang anaknya disuruh datang ke sekolah sambil menumpang matahari terbit. Ada yang bilang anaknya disuruh pakai atribut yang aneh-aneh. Ada yang bilang anaknya disuruh bawa barang-barang yang nggak jelas kegunaannya. Ada juga yang mengaplod surat/pemberitahuan resmi dari panitia yang berisi peraturan atau perintah yang enggak-enggak itu.

Saya sendiri tidak banyak mengalaminya secara langsung. Hanya beberapa hari lalu, dalam perjalanan rutin ke tempat kerja melewati sebuah sekolah, aku sempat melihat ada anak-anak berbaris di halaman sebuah sekolah, mereka mengenakan atribut yang nggak biasa dipakai oleh murid sekolah di bulan November.

Tapi, kemarin saya mendapat cerita tentang perploncoan di tempat lain. Peserta yang diplonco bukan siswa baru, tapi anak-anak SMA/SMK yang mengikuti latihan untuk menjadi pasukan pengibar bendera a.k.a calon petugas upacara 17 Agustus depan. Latihan itu rutin digelar di halaman kantor saya, dan saya mendapatkan ceritanya dari seorang petugas keamanan kantor saya itu. Om petugas itu bilang, beberapa dari anak-anak itu mengalami kekerasan fisik. Bukan ditampar. Bentuk kekerasannya misalnya disuruh push-up dulu sebelum bersantap makan. Ada juga sangat dibatasi waktu makannya sehingga tak mungkin makan tanpa terburu-buru. Ada juga disuruh beraktivitas fisik yang mengguncang perut setelah makan—ditambah aturan nggak boleh muntah, dan kalau sampai muntah diharuskan memakan muntahannya itu.

Saya hanya heran. Jika para orang tua tidak suka anaknya diperlakukan atau disuruh seperti itu, kenapa mereka tidak bersikeras melarang anak-anaknya mengikuti perploncoan itu? Beberapa tahun lalu, saya bahkan berjumpa dengan orang tua yang bersusah payah mencarikan barang yang diminta oleh panitia MOS yang diikuti oleh anaknya.

Saya jadi ingat tentang ospek yang pernah saya ikuti dulu. (Entah apa namanya, tapi generasi kami lebih familiar dengan vocab ospek daripada MOS, MOPD atau yang lebih jadul: mapras.) Dulu, di abad ke-20, waktu perploncoan masih dianggap normal. Waktu setiap peserta didik baru di level sekolah menengah dan perguruan tinggi masih harus mengikuti penataran P4.

Secara pribadi, saya sangat terkesan pada ospek yang saya ikuti ketika saya menyandang predikat mahasiswa baru. Bukan karena saat itu saya sedang puber-pubernya, bukan juga karena di perguruan tinggi terkenal. Tapi, karena pelajaran yang diberikan oleh kakak-kakak panitia kepada kami. Sampai sekarang saya masih sangat mensyukuri keikutsertaan saya dalam ospek itu, terutama ospek fakultas. (PS. Saat itu ada dua ospek yang yang harus diikuti oleh setiap mahasiswa baru: ospek universitas, dan ospek fakultas.)

Berikut adalah beberapa poin yang sangat berkesan bagi saya. Hingga saat ini.

Sejak awal mengikuti ospek, ada penekanan bahwa makan adalah nikmat Tuhan yang harus disyukuri. Karena itu, saat makan harus dibuat rileks—tapi tetap tertib. Dan, tidak boleh ada sisa alias makanan yang terbuang.

Untuk makan siang, kami (peserta ospek) tidak membawa sendiri-sendiri, tetapi panitia menyediakan nasi bungkus. Ketika saatnya makan siang, setiap perwakilan kelompok mengambil nasi bungkus sejumlah anggota masing-masing kelompok. Sebelum makan, kami disuruh membuka dan melihat porsi makanan di tangan kami masing-masing, kemudian memperkirakannya baik-baik: bisa habiskan atau tidak? Jika sekiranya tidak bisa menghabiskan porsi yang ada, kami diharuskan memberikan kelebihannya kepada teman-teman sesama peserta ospek, panitia atau siapapun yang bisa dijumpai di tempat itu. Yup, cewek-cewek yang makannya tidak banyak lalu sibuk menawar-nawarkan sebagian nasi, sayur dan lauk dari bungkusan di tangannya. Yang menerima pun harus sanggup menghabiskan “transferan” itu. Kalau tidak sanggup menghabiskan, ya jangan diterima. Ketika semua transferan sudah diterima—oleh siapapun yang sanggup menerimanya—barulah kami mulai makan bersama-sama.

Selesai? Tidak. Bagi yang merasa kurang dan ingin mengambil nasi bungkus lagi, dipersilakan mengambil lagi. Aturan mainnya tetap sama: harus sanggup menghabiskan. Alhasil, teman di sebelahku mengambil sebungkus lagi setelah bersepakat dengan dua orang lain untuk membagi dan menghabiskannya bertiga. Lebih dari belasan orang lainnya melakukan hal yang sama. Ada yang untuk nasi bungkus, maupun untuk teh hangat yang dikemas dalam kantong plastik.

Selama makanpun kami tidak disuruh buru-buru. Tidak juga disuruh mengambil seutas mie lalu disuruh menggigitnya satu sentimeter saja. Kami dipersilakan makan pakai sendok atau tangan, tidak pernah disuruh makan pakai garpu atau sendok teh. Pada hari-hari itu, hal-hal bodoh pada break makan siang atau snack hanya kudengar dari teman kos dan beberapa teman lain yang beda fakultas. Tidak kualami di fakultasku. (Oh, iya, kalau sessi snack, kami tidak diijinkan minta tambah .. hehe ..)

Bagi yang tidak berhasil menghabiskan makanannya—bahkan setelah mentransfer sebagiannya ke orang lain—tentu dikenai hukuman, yaitu harus minta maaf kepada petani di seluruh Nusantara. Permintaan maaf itu disampaikan di panggung di sudut halaman tempat kami makan bersama-sama, alias di hadapan seluruh peserta ospek, panitia dan para mahasiswa atau siapapun yang nonton ospek. “Beras itu dari padi. Petani yang menanam padinya. Kamu kira gampang menanam padi? Petani bekerja keras tiga bulan lebih, setiap hari kepanasan di sawah, lalu kamu buang sia-sia hasil jerih payahnya?” kira-kira begitu ‘makian’ [tepatnya, alasan untuk menghukum dari] raka-rakanita panitia ospek kami kepada peserta yang tidak menghabis-tuntaskan makan siangnya.

Selain hal makan, poin penting lain adalah soal senioritas. Seingatku, para panitia tidak pernah menyebut diri mereka senior, dan tidak pula menyebut kami—para mahasiswa baru peserta ospek—sebagai junior. Singkatnya, tidak pernah terucap istilah ‘senior’ dan ‘junior’ dalam ospek kami. Kami memanggil para panitia dengan sebutan ‘raka’ dan ‘rakanita.’ Itupun gara-gara ada mahasiswa cowok beretnis Batak berperawakan tinggi besar yang menolak sebutan ‘kakak’ bagi dirinya. Katanya, “Sejak kapan aku jadi perempuan?” (Karena dalam keseharian orang Sumatra Utara, ‘kakak’ itu panggilan untuk perempuan; kalau untuk laki-laki tuh ‘abang.’ Hahaha …)

Soal senioritas ini semakin terasa asiknya waktu kami mengikuti sessi per jurusan. Mereka mengawali doktrin kepada kami dengan satu hal, yaitu bahwa tidak ada senior atau junior. “Kita semua adalah teman,” kata salah seorang dari mereka yang jadi juru bicara pertama. “Kebetulan saja kami masuk ke kampus ini lebih dulu dari kalian, jadi kami tahu beberapa hal tentang kampus ini yang kalian belum tahu. Nah, kami di sini untuk memberi tahu kalian, dan menjawab pertanyaan kalian tentang itu.”

Adem banget, kan?

Dalam sessi itu, mereka memberitahu kami bukan hanya tentang bagaimana mengisi KRS (Kartu Rencana Studi), aturan main kredit semester, tips n trik mengikuti kuliah, unit-unit kegiatan mahasiswa, cara menjadi anggota perpustakaan dan sebangsanya. Mereka juga memberitahu kami tentang bangku beton berbentuk lingkaran di bawah pohon mangga di depan kantin. “Kalau mau belajar tentang politik atau sekadar mendengar diskusi tentang apa saja, antar jurusan, silakan sering-sering bergabung duduk-duduk di sana. Terbuka untuk siapa saja.”

Alangkah asiknya kalau MOS atau MOPD [atau apapun nama program orientasi siswa baru] bisa seperti itu.

PS. Bukannya tak ada bentakan dalam ospek yang kuikuti, tapi saya hanya menceritakan yang baik-baiknya saja, yang saya banggakan dari ospek itu.

Sabtu, 18 Juli 2015

Tahun yang Patut Dikenang


Kalau kita pandai bersyukur, mungkin sekarang maupun di masa depan sebaiknya kita mengingat-ingat tahun ini sebagai tahun yang baik bagi bangsa kita, terutama bagi umat muslimnya. Bukan karena mereka berhasil nggak-berboros-ria menjelang lebaran. Bukan juga karena mereka nggak saling menyalahkan antar sekte/kelompok.

Tapi karena tahun ini sekte-sekte/kelompok-kelompok besar mereka memulai puasa pada hari yang sama, dan merayakan hari raya idul fitri juga pada hari yang sama.

Setidaknya, tahun ini media sosial kita terhindar dari debat kusir atau adu argumen yang nggak selalu bermutu tentang kapan dan cara penetapan hari raya.

Senin, 29 Juni 2015

Seperti Biasa, Kita Tahu Siapa Pemenang Agama vs. Komersil


Tulisan ini kutulis sesaat setelah menonton siaran langsung MotoGP dari sirkuit Assen, Belanda. Sekali ini Valentino Rossi start dari pole. Tidak kurang dari 18 lap berikutnya ia bertahan dari tekanan pebalap muda luar biasa, Marc Marques. Vale membuat kesalahan ketika balapan menyisakan 7 (atau 6?) lap untuk ditempuh. Marc berhasil memanfaatkan momen kesalahan seniornya itu untuk mengambil alih pimpinan lomba.

Tetapi, semua orang juga tahu kalau Vale adalah maestro dalam hal menyalip di tikungan. Di semua tikungan yang pernah digunakan untuk balapan. Mungkin gelar the doctor (il dottore) yang media sandangkan padanya itu juga untuk bidang menyalip di tikungan.

Nggak lama-lama juga Marc bisa menjaga Vale di belakangnya. Kecolongan di tiga lap menjelang finish jelas bukan hal yang tidak membuat gusar, kan? Tapi Marc memang bukan pebalap yang suka main aman. Pokoknya, sebelum janur melengkung … eh, sebelum garis finish terlindas, kompetisi tetap berlangsung—dan perjuangan wajib dijalankan, kalau perlu hingga melampaui titik maksimum. Dan di chicane terakhir—yang hanya sepelemparan batu dari garis finish—Marc menyusup ke sisi dalam untuk memasuki chicane tersebut. Vale tampaknya tidak ingin mengubah racing line yang sudah dia incar. Hasilnya, keduanya sempat bersentuhan. Sentuhan yang membuat tunggangan Marc goyah, sedangkan Vale terpaksa keluar dari aspal. Tapi, begitu Vale menapak ke aspal lagi, posisinya masih di depan Marc yang belum bisa tancap gas lagi karena harus menstabilkan tunggangannya sembari menyelesaikan tikungan chicane itu.

Tapi, saya ingin melihat hal lain tentang Assen. Seri MotoGP di negeri meneer ini adalah seri yang tak pernah absen sejak balapan jenis ini ada di planet kita. Sejak bernama GP500 sampai bermutasi jadi MotoGP, Assen selalu menjadi salah satu seri paling menarik di setiap musim balapan. Salah satu kemenarikannya terceritakan di paragraf berikutnya.

Tentang sirkuitnya, ini sirkuit yang dirancang untuk balapan motor. Tidak seperti sirkuit-sirkuit lain yang digunakan MotoGP yang biasa dipakai juga untuk balapan formula one atau balapan mobil lainnya. Assen tidak pernah dirancang atau direncanakan untuk balapan selain sepeda motor. Boleh dibilang, sirkuit Assen adalah sirkuit yang tidak memberi kesempatan kepada para pebalap untuk bernapas longgar sedetikpun. Assen tidak memiliki trek lurus yang cukup panjang untuk bisa pamer kekuatan mesin pacuan. Top gear motor-motor MotoGP jarang-jarang terpakai di sana karena motor sudah keburu sampai di tikungan lagi. Dari sudut pandang penonton, balapan di Assen jadi seru banget. Makin asiknya, jenis tikungan di Assen itu komplit banget, dari tikungan pelan, sedang, cepat sampai tikungan beruntun, ada semua.

Yang unik juga dari sirkuit Assen adalah jumlah tikungannya yang tidak berimbang antara ke kanan dan ke kiri. Tikungan ke kanan hampir dua kali lipat dibanding tikungan ke kiri. Kalau balapan jaman dulu, pebalap harus pintar-pintar menggunakan ban—sambil menerima konsekuensi bannya ‘habis’ sebelah. Terutama ban belakang. Sekarang? Masih begitu sih, hanya saja mungkin tidak seberat jaman dulu, karena produsen ban sekarang mau saja bikin ban khusus untuk dipakai di balapan di Assen.

Waktu balapan di Assen juga lain dari yang lain. Di mana-mana balapan dihelat di hari Minggu, tapi di Assen balapannya hari Sabtu. Dengar-dengar, dulu sewaktu balapan mau diadakan di sana, para pendeta meminta balapannya jangan pada hari Minggu supaya tidak mengganggu orang yang mau ke gereja. Entah sampai kapan ada pendeta yang konsisten meminta itu kepada penyelenggara, tapi tradisi balapan di hari Sabtu itu terus berjalan—walau anda boleh saja bertanya-tanya soal tingkat kerelijiusan orang Belanda.

Kasus hari balapan MotoGP di Assen mungkin adalah sebuah simbol pengutamaan urusan agama atau ibadah di atas urusan ramai-ramaian, pertunjukan olahraga, komersil atau apapun yang terkait balapan roda dua paling bergengsi sedunia itu.

Sayangnya, tradisi balapan di hari Sabtu itu akan segera diakhiri. Sudah ada berita tentang balapan di Assen tahun 2016 dan selanjutnya akan digelar di hari Minggu, seperti di tempat-tempat lain. Alasan yang sudah dikemukakan semata-mata urusan komersil, yaitu bahwa balapan di hari Minggu lebih mudah mendapatkan perhatian dan penonton dibanding pada hari Sabtu.

Apakah para pendeta (Kristen) tidak lagi meminta balapannya jangan di hari Minggu? Atau, karena kalangan Yahudi keberatan balapan digelar di hari sabat mereka? (FYI: hari sabat itu hari ibadah. Hari Sabtu bagi Yahudi itu setara hari Minggu bagi Kristen dan Jumat bagi Islam.) Halah! Lha kok sampai ke konspirasi wahyudi segala? Wikikkikkik …