Kamis, 19 Maret 2015

Mengajari Nenek Untuk Patuh Hukum


Nenek Asyani diproses hukum komplet banget gara-gara menebang dan menjual pohon yang diklaim oleh perhutani. Si nenek sih tahunya pohon itu ada di atas tanah dia sendiri. Sebelum ke pengadilan, pernah ada seseorang (sebut saja oknum) yang menawari si nenek alternatif menghindari pengadilan. Caranya, si nenek memberi oknum itu sejumlah uang. Empat atau lima juta, gitu. Dari tampangnya saja jelas-jelas si nenek bukan tipe orang yang punya duit sebanyak itu.

Pernah juga seorang nenek lain harus berlelah-lelah menjalani proses pengadilan gara-gara mengambil tiga buah kakao yang memang bukan miliknya. Nenek yang ini cukup miskin untuk sekadar memenuhi kebutuhan pangannya pada garis standar umum.

Pernah juga seorang PNS bernama Gayus mengambil likuran milyar rupiah uang yang bukan miliknya. Apa vonis hukumannya? Kurungan berapa tahun? Dua belas? Tiga puluh, itu totalnya untuk beberapa tindak kriminal yang dituduhkan kepadanya. Well, berapapun lama kurungan yang divoniskan, toh sempat dipotong masa tahanan, dan sambil jalan-jalan entah ke mana, baik untuk piknik maupun untuk nonton pertandingan tenis.

Dari sejumlah orang yang kujumpai, kebanyakan berpendapat hukum berlaku tidak adil—pada kasus-kasus tersebut. Sebagian lainnya tidak menyatakan pendapatnya karena saya tidak bertanya, atau kami memang sedang tidak mengungkit-ungkit topik itu.

Tentang hukum yang terasa berbeda-beda itu, saya hanya punya satu keyakinan: semua orang tahu di fakultas hukum tidak ada mata kuliah matematika. Kalau pencuri tiga buah kakao atau apapun, misalnya senilai 100 ribu rupiah bisa dijatuhi hukuman penjara selama satu tahun, bukan berarti yang mencuri 25 milyar rupiah harus divonis 250.000 tahun penjara.

Mungkin hukum memandang setiap orang itu unik. Setiap terdakwa kriminal itu unik, sehingga vonisnya nggak harus sama. Mungkin hukum memandang vonis memang bukan untuk dibanding-bandingkan.

Selasa, 17 Maret 2015

Prime Time Bawakan Apa?


Apa isi televisi kita di primetime? Ini saya bicara tentang channel-channel gratisan saja.

Para pemain lama yang nggak move on tetap pasang sinetron. Channel lain yang relatif lebih baru, yang berisi darah-darah baru dan tampaknya pernah punya banyak ide-ide segar, lebih suka pasang talkshow. Yang di tengah-tengah, pasang kontes bakat yang para pesertanya pada minta dukungan via SMS.

Apakah sinetron itu menghibur? Mungkin iya. Setidaknya, orang bisa mendapatkan alasan untuk memaki-maki. Mungkin hal begini ini perlu dan penting untuk keseimbangan jiwa pemirsa.

Apakah talkshow itu menghibur? Kalau talkshow-nya dibawakan secara santai oleh orang-orang yang pandai menampilkan komedi, ya jelas menghibur. Tepatnya, memancing tawa penonton. Kalau host talkshow-nya cerdas dan pandai memancing emosi tamunya, juga menghibur bagi penonton. Syukur-syukur belajar kritis dari si host juga. Lumayan, bisa menikmati kacaunya negeri sambil hihahihi karena memandang kekacauan itu dari perspektif jenakanya. Kalau talkshow-nya serius, ya lumayan juga buat tambah-tambah perspektif dalam memandang kekacauan negeri ini.

Apakah kontes bakat itu menghibur? Hei, bukankah para host dan komentatornya pandai mendramatisir situasi di panggung? Jadi, kontes itu juga bisa menjadi hiburan—semacam panggung teater, daripada jauh-jauh dan mahal-mahal ke Broadway.

Untungnya, saya punya pemutar musik yang bisa saya tancapi flashdisk, sehingga playlist-nya bisa saya ganti-ganti sesuka saya. Yang ini juga menghibur, tanpa sedikitpun membuat mata saya lelah. Juga, hiburan yang satu ini membiarkan saya menikmatinya sambil melakukan hal-hal lain.

Anda bisa mendengarkan siaran radio? Anda lebih beruntung.

Senin, 16 Maret 2015

Terpaling Tapi Jangan Lupa


Apa topik utama masyarakat kita akhir-akhir ini? Begal motor dan batu akik.

Lalu, ke mana perhatian dan pembicaraan mengenai pelemahan KPK? Ya dikonversi ke begal motor dan batu akik itu.

Apakah begal motor adalah fenomena baru? Tidak. Polres-polres di seantero nusantara pasti punya data kejahatan di wilayah kerja masing-masing sejak berpuluh tahun yang lalu. Dalam data-data itu, nggak mungkin begal motor baru ada di awal 2015 saja.

(Jadi ingat pengalaman pribadi saya di sekitar tahun 2008 atau 2009. Waktu itu bersepeda motor, berboncengan. Hanya sebuah sepeda motor, tidak ada teman seperjalanan lain. Melewati jalur yang bukan jalur utama dari Pasuruan ke Jember, hari sudah malam. Kami singgah di sebuah kantor polsek, bertanya tentang situasi keamanan di jalur yang akan kami tempuh. Jawaban petugas, mending kami singgah saja dan melanjutkan perjalanan keesokan paginya. Apakah pertimbangannya adalah faktor keamanan? Bisa jadi. Atau faktor keselamatan terkait kelelahan fisik kami dan kebutuhan beristirahat. Apapun itu, jawaban dan saran pak polisi saat itu adalah yang kami tunggu-tunggu: lumayan, dapat penginapan gratis, walaupun tidur di bangku kayu atau lantai musholla. Hehe ..)

Yang membuatnya seolah-olah baru ‘semarak’ akhir-akhir ini adalah media massa. Terutama televisi, koran, media online. Plus, media sosial berbasis internet—yang telah terbukti mampu menyebarluaskan informasi; terlepas dari akurat/tidaknya info yang disebarkan. Frekuensi penayangan topik di media massa membentuk realitas tersendiri di benak khalayak, membentuk persepsi, dan akhirnya mewarnai pembicaraan mereka dalam aktivitas harian mereka.

Begitupun batu akik. Mahalnya batu akik itu nggak ada patokan pastinya—kecuali kegemaran orang dan kerelaannya untuk membayar tinggi. Ingat ikan louhan? Binatang itu pernah mengalami nasib serupa beberapa tahun lalu. Tumbuhan gelombang cinta juga. Sampai-sampai orang rela menjual sapinya untuk beralih usaha ke beli-jual gelombang cinta. Bagi yang pesimis atau tidak berminat saat itu, terkadang yang terucap senada ini: dulu duitnya berubah jai sapi, lalu sapinya berubah jadi gelombang cinta, ntar gelombang cinta berubah jadi sampah.

Batu akik bukan sejenis barang kebutuhan pokok. Di tingkatan kebutuhan, posisinya sama dengan ikan louhan dan gelombang cinta beberapa tahun silam.

Begal motor bukan jenis kejahatan baru. Sudah sejak lama membegal motor menjadi salah satu cara mencari uang untuk membeli minuman keras dan/atau narkoba. Kalau sekarang orang sadar dan mau bersama-sama berkonvoi untuk mengurangi risiko dibegal, saya turut bersyukur. Setidaknya, pengalihan isu [oleh media] dari pelemahan KPK ke fenomena kriminal ecek-ecek itu membuat orang (khususnya para pesepeda motor) jadi menyediakan waktu untuk mencari teman, bersosialisasi dengan sesama pesepeda motor.

Semoga kita tidak lupa untuk menyelamatkan KPK, supaya kita punya lembaga yang bisa mengatasi apatisme kita terhadap pemberantasan korupsi di negeri kaya ini.

Minggu, 15 Maret 2015

Kesalahan Umum Para Pesepeda



Saya suka bersepeda untuk berangkat kerja. Walaupun rute berangkat saya naik-turun dari kota ke perbukitan, tetapi teman-teman tidak pernah melihat saya kecapekan sesampainya di kantor. Apa karena sudah sebegitu terbiasanya sehingga tenagaku berlebih-lebih dibanding jarak dan trek yang kulalui dengan bersepeda?

“Nggak capek ya? Kan sudah terbiasa?”

Pertanyaan semacam ini memang berkali-kali kuterima. Jawaban saya yang paling sering keluar untuk pertanyaan itu adalah, “Lha kalau baru datang aja sudah capek, lalu kapan kerjanya?”

Tapi, sesekali kujawab dengan benar juga pertanyaan itu. “Karena saya tahu caranya bersepeda melibas tanjakan tanpa harus capek-capek. Saya juga tahu cara bersepeda yang efisien tenaga. Capek itu kalau boros tenaga; tenaga terbuang percuma.”

Iya, sehari-hari memang kulihat kebanyakan orang bersepeda dengan kondisi yang tidak tepat, alias boros tenaga. Jika itu dikatakan sebagai kesalahan, maka ada dua kesalahan yang paling banyak terjadi. Pertama, posisi sadel sepeda yang terlalu rendah. Posisi demikian membuat tenaga banyak terbuang. “Kalau tidak percaya, coba saja genjot gerobak tukang pentol,” begitu yang sering kukatakan untuk menjelaskan kesalahan tersebut. (Gerobak tukang pentol umumnya bersadel rendah, sehingga posisi duduk dan kaki penggenjotnya mirip orang dewasa setinggi 170 cm yang naik sepeda BMX.)

Untuk balapan sepeda ala atlet, pasang sadelnya pasti tinggi banget sehingga kaki mereka akan terentang lurus ketika pedalnya sedang di posisi bawah. Itu bukti bahwa tenaga penggenjot akan lebih efisien kalau kakinya bisa lurus ketika harus menginjak pedal di posisi terbawah. Sedangkan untuk bersepeda sehari-hari, yang tidak harus kebut-kebutan ala balap sepeda, ketinggian sadel yang pas adalah jika sepeda sedang berhenti, orangnya duduk di sadel, dan untuk menempelkan ujung-ujung jarinya ke tanah dia harus merentangkan lurus-lurus kedua tungkainya. Kalau kaki masih bisa ditekuk pada saat ujung jari menyentuh tanah, berarti sadelnya masih kurang tinggi.

Kesalahan kedua, adalah pesepeda sering kali memasang gear terlalu ringan. Sering kali saya bingung mau tertawa atau sedih melihat kebodohan orang—terutama anak-anak sekolah—yang maunya ngebut [di jalan datar] tetapi pasang gearnya lebih dekat ke paling ringan ketimbang ke topnya. Well, bukan anak-anak saja yang sering melakukan kesalahan ini. Orang-orang dewasa yang bersepeda gunung di akhir pekan dengan penampilan gagah atau sok lengkap, rutenya di aspal keliling kota, juga sering melakukan kesalahan ini.

Apakah saya menegur mereka? Dan memberitahu teknik atau setingan yang benar? Tidak. Karena mereka umumnya memiliki berat badan agak berlebih, atau memang tidak cukup olahraga dalam sehari-harinya. Jadi kupikir biar saja mereka boros tenaga. Kalau mereka bersepeda untuk cari keringat, bukankah salah setingan itu sangat membantu mereka?

Sabtu, 14 Maret 2015

Harus Hati-hati Sambil Bingung



Hari Selasa lalu, seorang teman merasa heran karena ternyata betis saya lembek, tidak terkesan berotot. Karena menurutnya, orang yang tiap hari bersepeda—apalagi rute saya naik turun walau tidak securam rute Ninja Hatori—betisnya pasti keras kayak betis atlet. Atau, minimal seperti betis orang yang sedang butuh pijat karena kecapekan.

Teman saya itu punya sebuah sepeda lipat tetapi tidak banyak digunakan dalam aktivitas sehari-hari. Jangankan ke kantor, untuk mengantar anak sekolah saja tidak. Ngakunya, kalau bersepeda dia merasa sudah mengayuh dengan cepat tapi lajunya tidak seberapa. Apalagi kalau di tanjakan, tenaga serasa sudah habis dikerahkan tetapi sepeda tidak lekas menyelesaikan tanjakan itu. Sedangkan dia melihat kayuhanku tetap santai di tanjakan-tanjakan.

Well, di situ kadang saya merasa sedih. Eh …, maksud saya, tidak setiap pemilik sepeda paham dengan karakter sepedanya. Misalnya, kalau diameter roda berbeda ukuran, tentu saja dengan jumlah putaran kayuhan yang sama, diameter yang besar menempuh jarak lebih jauh. Dengan sepeda hibritku, contohnya, aku hanya perlu 100 kayuhan untuk melewati sebuah tanjakan. Dengan sepeda beroda 16 inchi, mungkin perlu 250 putaran kayuhan untuk jarak, arah dan tanjakan yang sama. Artinya, kalau menggunakan sepeda lipat atau sepeda-sepeda lain yang berdiameter roda lebih kecil, kenapa maunya menandingi sepeda hibrit di jalan aspal? Sepeda gunung saja harus kerja keras untuk itu. (Biasanya, diameter roda sepeda gunung maksimal 26”, sedangkan sepeda hibrit 28”.)

Saya belum ingin memberi pelajaran tentang bersepeda sekarang. Yang ingin saya ungkapkan di sini adalah, betapa sulitnya memberi penjelasan kepada orang yang minder duluan sebelum benar-benar bersepeda dengan teknik yang benar. Mereka yang berpikir bahwa bersepeda itu melelahkan, atau mereka yang sudah telanjur pernah kelelahan bersepeda—karena tekniknya keliru. Saya selalu merasa harus pilih-pilih kata yang tepat supaya mereka tidak makin minder. Juga, harus mengatakan dengan sedemikian rupa sehingga tidak terkesan seperti sok tahu. Sebenarnya akan lebih mudah kalau mengajari mereka sambil praktek. Tapi menemukan waktu untuk gowes bersama-sama itu tidak begitu mudah. Bahkan, ketika waktunya ditemukan pun belum tentu kemauan itu benar-benar ada.

Iya, kadang saya nggak habis pikir tentang sebagian orang yang mempunya sepeda. Dulunya niat banget beli sepeda kok jarang dipakai. Mereka beli sepeda buat apa, sih? Buat disedekahkan kepada laba-laba untuk dijadikan komplek perumahan? Atau, dimaksudkan untuk jadi media menumbuhkan jamur untuk dipepes, mungkin? 

Yang nggak kalah begonya, mereka membeli sepeda dengan 7 – 9 gear di belakang, tetapi menyerah kalau harus menanjak. Lha sebegitu banyaknya gear yang menempel di as roda belakang itu sebelumnya ditebus dari toko mau buat apa ya?

Kalau soal keheranan saya pada para pemilik dan orang-orang yang jiper duluan sebelum bersepeda, disambung lain kali saja, deh. Lagi nggak sempat, neh.

Jumat, 13 Maret 2015

Buletin Multifungsi


Buletin? Ya, ada kata ‘buletin’ di kalimat terakhir postingan saya kemarin.

Ide tentang buletin itu sudah terkonsep dalam benak saya sejak pertengahan 2013. Latar belakang atau fenomena yang mendorong saya adalah kemampuan rendah dalam berbahasa Indonesia warga dan anak-anak muda di sekitar tempat tinggal saya. Pernah terjadi beberapa tahun lalu, ketidaklulusan siswa level SMP dan SLTA di daerah saya sebagian besarnya karena nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia di bawah standar.

Bagi saya pribadi, fenomena itu lumayan aneh. Karena, sewaktu saya sekolah dulu, pelajaran Bahasa Indonesia itu sama sekali bukan momok. Kalau esok pagi ulangan atau tes ujian mata pelajaran Bahasa Indonesia, artinya malam ini saya—dan kebanyakan teman saya—tidak merasa harus menambah durasi belajar. Beda halnya jika esok ujian Matematika, atau Biologi, atau Tata Negara. Rasanya, kemampuan berbahasa Indonesia itu sudah melekat saja, sudah sehari-hari terpraktekkan, sehingga tidak perlu begadang seperti halnya menghadapi ulangan atau ujian mata pelajaran lain. (Maafkan kami, wahai para guru Bahasa Indonesia, kami sama sekali tidak bermaksud menyepelekan pelajaran dari anda sekalian.)
Karena berminat dan pernah berteman dengan orang-orang yang secara mandiri bergerak menyebarluaskan kesadaran kewaspadaan terhadap HIV/AIDS, buletin itu kukonsep untuk concern pada dua hal: kewaspadaan terhadap HIV/AIDS, dan anti-narkoba.

Bentuknya sederhana, seperti buletin yang biasa digratiskan di masjid-masjid tiap hari Jumat, satu warna saja, tanpa gambar—kecuali grafik atau data bila diperlukan. Selembar dilipat begitu? Maunya sih dua lembar. Jadi ada 8 halaman setiap edisinya. Pembagian halaman dan rubrik-rubriknya, layout-nya, nama, banner dan logo buletin, semua sudah pernah kubuat. Dummy siap dicetak.

Niatnya, saya ingin para pelajar di daerah saya mempunyai bahan bacaan yang baik, bermanfaat, yang terbit secara rutin tiap bulan atau tiap dua minggu, concern di anti-narkoba dan kewaspadaan terhadap HIV/AIDS, bisa mereka dapatkan secara gratis dan teratur. Dari kalkulasi, saya pribadi sebenarnya bisa saja mendanai sendiri untuk mencetak barang 1.000 – 2.000 eksemplar setiap bulannya. Tidak sulit juga rasanya untuk membuat kontennya. Tapi jika itu saya lakukan, mungkin akan banyak waktu dan dana yang harus terlepas dari dominasi anak saya. Lagian, bisa-bisa saya dikira akan mencalonkan diri sebagai bupati. Hahaha ….

Pernah kutawarkan konsep itu ke teman di divisi pencegahan BNN (Badan Narkotika Nasional) terdekat. Itu akhir 2013 lalu, dan belum ada jawaban sampai sekarang. Mungkin mereka lebih suka berkunjung ke sekolah-sekolah untuk mengajak para remaja menjauhi narkoba. Sambil sesekali pasang baliho atau spanduk. Entah berapa kali mereka bisa berkunjung ke sekolah yang sama dalam satu tahun. Atau berapa banyak pesan yang dapat mereka sampaikan via baliho atau spanduk dalam setahun. I think, jangkauan buletin gratisan yang kugagas lebih luas, dan rangkaian pesan yang menyerbu mereka secara reguler tiap bulan atau tiap dua minggu akan lebih intensif membentuk karakter anti-narkoba dalam diri mereka. Juga membentuk kewaspadaan yang lebih mendarah daging terhadap HIV/AIDS. Saya tidak tahu pendapat mereka tentang gagasan ini.

Sasaran lain adalah dinas kesehatan dan dinas pendidikan. Atau KPA (Komisi Penanggulangan AIDS). Sudah kutembak? Belum.

Lalu, apa hubungannya dengan kemampuan rendah berbahasa Indonesia?

Saya kira, kemampuan berbahasa Indonesia itu berbanding lurus dengan kebiasaan membaca. Buletin ini bukan hanya media kampanye anti-narkoba dan kewaspadaan terhadap HIV/AIDS, tetapi juga media untuk membangun budaya membaca, membangun kemampuan berbahasa Indonesia, bahkan jelas-jelas saya maksudkan sebagai tempat untuk belajar menulis.

Iya, keinginan saya, para pelajar dan remaja harus dipancing untuk aktif menulis dan mengirimkan artikel untuk dimuat di buletin ini. Singkatnya, supaya kelak para pelajarlah yang menulis konten buletin tersebut.

Untuk mendukung hal ini, saya meminta kepada sponsor untuk menyediakan hadiah—terutama berupa kaos T-shirt—sebagai hadiah. T-shirt itu juga harus menjadi media kampanye; T-shirt harus bergrafis menarik, atau bahkan mencolok, misalnya dengan sablonan tulisan semacam ini:

  • “Pakai narkoba? Cemen!”
  • “Jauhi HIV, dekati ODHA”
  • “Mau mati sengsara? Pakai narkoba!”
  • "Narkoba = cara cepat untuk jadi bodoh."


Well, ada yang berminat mendanai? Atau minat bergabung? Siap-siap saja dulu. Kalau ada sponsor, kita racuni para remaja dengan racun anti-narkoba dan racun kewaspadaan terhadap HIV/AIDS. Mareee …!

Kamis, 12 Maret 2015

Pramuka Juga Harus Waspadai HIV/AIDS


Ada yang tahu tentang AIDS? Rasanya semua orang juga tahu. Apa gunanya wikipedia kalau hal seterkenal itu saja tidak tahu.

Kemarin aku dipercaya lagi oleh beberapa kakak pramuka untuk mengajak anak-anak saka bakti husada pramuka ngobrol soal AIDS. Saka bakti husada itu pramuka jurusan kesehatan.

Di Balangan, saka bakti husada biasa latihan rutin tiap Rabu sore di bawah binaan dinas kesehatan. Lokasi latihannya juga di halaman belakang kantor dinas itu. Latihannya jelas nggak melulu latihan bergaya semi-militer. Karena concern ke bidang kesehatan, ya bisa jadi mereka sering berdiskusi atau ada sessi kelas dengan materi-materi tentang kesehatan.

Entah format apa yang biasa mereka pakai, tapi kalau aku diminta mengisi materi, ya kuajak papra ABG itu ngobrol saja, sambil duduk di aspal. Kenapa ngobrol? Ya, karena topiknya AIDS dan kuanggap mereka sudah tahu tentang itu. Tentang narkoba, mereka juga sudah tahu. Tentang donor darah, mereka belum banyak tahu. Well, obrolan kami sore kemarin berkisar di tiga hal itu. Tinggal ciptakan jembatan-jembatan yang cocok saja untuk menghubungkan ketiganya, sehingga obrolan tetap terasa dalam satu topik.

Dari sekitar dua puluh ABG di sessiku kemarin sore, hanya satu orang yang bisa ngomong bahayanya jika kita bersikap negatif atau tidak menerima kehadiran ODHA (pengidap HIV atau penderita AIDS). Satu orang itupun tahunya dari sessiku yang tahun lalu. Jadi, selama ini mereka masih menilai AIDS itu sangat berbahaya tetapi menilai lebih baik menghindari pengidap atau penderitanya. Haduh, sikap begini juga sangat berbahaya, pemirsa!

Bahayanya adalah, jika si ODHA itu merasa tersinggung, merasa tersingkirkan, merasa tersisihkan, merasa tidak diterima, merasa secara sosial diisoli, dan yang semacam-semacam itu (apapun yang bisa membuatnya merasa “sakitnya tuh di sini,”), dampaknya bisa sangat sangat buruk. Ya kalau dia minder dan putus asa lalu bunuh diri, selesai urusan: virus tidak akan tersebar atau tertular ke orang-orang di sekitarnya. Lha kalau si ODHA itu mendendam lalu secara sengaja menyebarkan virus HIV-nya, itu yang sangat sangat berbahaya.

Kayaknya aku memang harus segera mewujudkan ide buletin-ku.

Selasa, 10 Maret 2015

Binatang Memang Binatang


Sudah menjadi kebiasaan orang di mana-mana, setiap event besar menggunakan maskot untuk publikasinya. Walopun gak harus binatang, tapi memang banyak yang mengamanahkan binatang jadi maskot. Ayam jago pernah jadi maskot Piala Dunia 1998 di Perancis. Trenggiling dapat giliran di Brazil. Bekantan jadi maskot Dufan di Ancol. Ikan lumba-lumba dan orangutan jadi maskot sekaligus presenter di acara tipi siang-siang. Tikus juga jadi maskot antagonis di kalangan aktivis dan pendukung gerakan anti-korupsi.

Di Kalsel, sebagian orang protes kalau bekantan—primata yang asli berasal dari Pulau Kalimantan—dijadikan maskot pilkada (pemilihan kepala daerah). Alasannya ada beberapa. Misalnya, di dunia teater, bekantan biasa ‘digunakan’ sebagai sosok tokoh berkarakter curang atau culas, dan munafik. Alasan lain pun memperkuat, (sekali lagi, ini menurut beberapa orang yang concern di bidang kesenian, entah penilaian ini berlaku di dunia seni, teater atau di alam betulan) yaitu karakter bekantan dinilai sulit dipercaya dan selalu memusuhi orang yang bukan anggota keluarga atau kelompoknya.

Dufan mungkin tidak pernah mengenal dunia teater di Kalsel sehingga tenang-tenang saja menggunakannya sebagai maskot. Seperti halnya Disney yang dengan cuek menggunakan tikus sebagai tokoh berkarakter ceria, penyabar dan jauh dari kesan trouble-maker. Mereka jalan terus saja walaupun di jaman kini tikus banyak dipakai untuk menggambarkan koruptor. Dan mereka berhasil. Mickey memang tikus, tapi siapa di dunia ini yang membencinya?

Ketidaktahuan—dan sesekali sikap tidak mempersoalkan—kadang memang menjadikan hidup lebih nyaman.

Senin, 09 Maret 2015

Gerhana Matahari Total [Lagi]


Jika aku masih hidup dan sehat setahun lagi, aku akan menjadi salah seorang yang sangat beruntung. Aku yakin, hanya beberapa persen saja—di bawah dua digit, I think—dari populasi bumi yang memiliki keberuntungan itu.

Keberuntungan yang kumaksud adalah mengalami dan menyaksikan gerhana matahari total di rumah/kampung sendiri. Juni 1983, aku tinggal di Jawa Tengah dan mengalami gerhana matahari total. Sialnya, kampanye menyesatkan yang sangat gencar di era itu membuat banyak orang takut keluar rumah untuk menyaksikan secara langsung gerhana matahari total yang seharusnya sangat indah: terjadi saat siang bolong di musim kemarau.

Setahun dari hari ini, insya Allah pada 9 Maret 2016, kota tempat tinggalku akan memperoleh kesempatan untuk redup sejenak oleh gerhana matahari total. Tentang keindahannya memang akan kalah dengan yang edisi Jawa Tengah 1983. Ada tiga faktor yang membuatku mengatakan demikian. Pertama, durasinya lebih pendek, dua menitan saja. Kedua, bulan Maret itu musim hujan, sehingga sangat mungkin kesempatan kita terganggu oleh awan. Dan ketiga, terjadinya pagi hari, sekitar jam 08.31 WITA. Di kota kecil tempat tinggalku, jam segitu tanggal segitu itu berjarak kurang dari dua jam sejak terbitnya matahari di ufuk Timur. Itu artinya, hari belum mencapai puncak benderangnya tetapi sudah redup lagi. (Edisi 1983 itu, terik matahari tengah hari siang bolong tiba-tiba lenyap. Waktu seolah-olah melompat dari dzuhur ke maghrib. Itu berlangsung selama enam menit sehingga ayam-ayam pun terkecoh untuk segera pulang ke kandang masing-masing. Para ayam benar-benar bingung saat itu karena belum lagi mereka tidur, tahu-tahu hari sudah terik lagi.)

Insya Allah, Paringin akan mengalami gerhana matahari total selama dua menit saja. Tetangga di sebelah Utara lebih beruntung: mendapat durasi beberapa detik lebih banyak. Sedangkan yang di sebelah Selatannya, seperti Barabai dan Kandangan, akan mendapatkannya juga walau lebih singkat.

Maaf untuk teman-teman sesama Kalsel yang di Martapura, Banjarbaru, Banjarmasin, Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kotabaru, sepertinya kalian hanya akan mendapatkan matahari sabit yang masih cukup menyilaukan pada pagi itu. Yang di Rantau? Sulit mengatakannya. Mungkin dapat tapi hanya beberapa detik, atau mungkin juga tidak sempat gelap. Kalau mau menyaksikannya, mending kalian piknik ke Paringin saja. Oke, atau Tanjung.

Catat! 9 Maret 2016. Lebih sip kalau sudah bersiap di tempat terbuka mulai jam 07.25 WITA, ketika piringan bulan hitam mulai menyentuh cakram cahaya matahari.

Minggu, 08 Maret 2015

Di Mana Paringin?


Kota kecil tempat tinggalku bernama Paringin. Walau kecil, statusnya ibukota Kabupaten Balangan. Lokasinya di Pulau Kalimantan, plat kendaraan bermotornya DA …. Y.

Beberapa kali saya menjumpai kasus, ada teman sekantor atau yang sesama bekerja sehari-hari di Paringin merasa minder dengan teman-teman dari daerah lain. Apalagi, kalau daerah lain itu beda pulau.

Luar pulau? Ah, seorang teman di Palangkaraya pun pernah menanyakan kepadaku di mana itu Paringin yang ku-klaim sebagai kota domisili, karena dia merasa nggak familiar dengan nama itu di daratan Kalimantan yang luas ini.

Keminderan teman-teman itu karena Paringin dan Balangan tidak dikenal. Bahkan, gugelmap pun belum tentu memberi hasil memuaskan bila disuruh mencarikan.

Tapi aku tak perlu merasa minder. Kepada teman yang di Palangkaraya—dan kemudian kepada teman-teman lain yang menanyakan letak Paringin dan Balangan di Kalimantan Selatan—aku menjawab, “Cari saja di gugelmap atau wikimap. Temukan Banjarmasin dulu sebagai startnya, trus tarik ke arah Utara mengikuti jalan raya. Kalo sudah ketemu area yang blank, nah … di situlah Paringin dan Kabupaten Balangan.”
Mudah kan, mencarinya?

Mungkin ini semacam memanfaatkan kekurangan untuk menemukan jawaban. *Halah! Sok bijak, padahal ngeles!

Sabtu, 07 Maret 2015

Dua Bulan Absen Bersepeda itu …


Kalo sudah sehari-harinya bersepeda genjot untuk berangkat dan pulang kerja, kalo kemudian harus menggeber gas karena sepeda genjot sedang nggak sehat, itu rasanya jadi ada yang hilang. Bagi yang terbiasa dan menyukai bike-to-work, di sinilah terasa efek adiktif bersepeda. Yup, bersepeda itu bikin ketagihan.

Untungnya, aku nggak segitu addicted-nya. Bukannya aku tidak kangen bersepeda, tetapi badanku tidak lantas pegal-pegal karena tidak bersepeda—menuju tempat kerja—selama dua bulan.

Ternyata, absenku dari bersepeda sepanjang Januari dan Februari kemaren membawa kerinduan-kerinduan tertentu bagi orang lain. Kerinduan itu terungkap dengan pertanyaan-pertanyaan seperti berikut:

  • -         “Mana nih sepedanya?” Yang ini ditanyakan oleh seorang teman sekantor sewaktu ketemu di parkiran belakang kantor.
  • -         “Kok rasanya sudah agak lama ya aku nggak melihatmu bersepeda?” Yang ini ditanyakan oleh seorang kawan motoris beda kantor yang biasa menyapa ketika menyalipku di perjalanan berangkat kerja.
  • -         “Masih bersepeda? Saya lihat tiap pagi sampeyan menaiki tanjakan.” Yang ini diungkapkan oleh seorang pegawai perusahaan tambang yang sama sekali belum kukenal sebelumnya.


Well, beginilah risiko menjadi satu-satunya bike-to-work-er di rute perbukitan di kota kecil tempat tinggalku. ^_^

Jumat, 06 Maret 2015

Overlap yang Menyenangkan


Bisa bersepeda lagi ke kantor itu rasa nyammmaaaaaann …. Nggak pake banget pun nggak apa-apa kalo nyamannya sudah nyammmaaaaaann gitu.

Di kota kecil tempat tinggalku, aku memang tergolong rajin ber-bike-to-work—dibanding kebanyakan orang lain. Bahkan, sangat sulit menemui orang bersepeda ke tempat kerja bila dicarinya di dua per tiga dari rute rutinku. Yang sepertiga itu lumayan banyak yang bersepeda: anak-anak sekolah, beberapa pegawai di sekolahan yang lokasi di area datar dalam kota, dan beberapa acil yang sehari-hari menjaga kiosnya di pasar kota.

Kenapa bersepeda ke tempat kerja? Bukan karena aku sok green dan ramah lingkungan, karena default-ku memang lebih ramah lingkungan dibanding orang normal. Sejak bisa mengendarai sepeda motor, di usia belasan, aku sudah berkesimpulan bahwa untuk mobilitas dalam kota itu lebih nyaman bersepeda genjot daripada bersepeda motor.

Bukan juga karena aku merasa perlu berolahraga rutin, karena seumur-umur aku sehat-sehat saja, suka makan sayur, sejak lulus SMA sudah secara sadar menyukai makanan lebih banyak berdasar gizi, bukan rasanya. Aku juga nggak pernah kena ancaman obesitas. Bodi kerempeng sudah melekat sejak masih ABG. Sejauh ini, menikah tidak membuat ketebalan bodiku berubah.

Bukan juga aku menjalani bike-to-work untuk berhemat biaya bensin. Aku beli sepeda pada April 2012, dan ber-bike-to-work sejak akhir bulan itu—atau bulan berikutnya. Aku pake pertamax sejak Desember 2010. Dua bulan pertama tahun ini sepedaku absen, dan aku nggak sedikitpun merasa lebih miskin karena lebih banyak membeli pertamax dibanding bulan-bulan sepanjang 2013 dan 2014.

Jadi, ngapain sehari-hari bersepeda ke kantor? Mana treknya naik-turun perbukitan bikin orang jiper duluan kalo mau bersepeda ke sana. Itulah. Untungnya aku bukan orang, jadi enggak jiper. Hehe ....

Well, bersepeda itu semacam hobi. Bersepeda, bukan sepeda. Kalo harus meluangkan waktu khusus untuk bersenang-senang dengan hobi ini, bisa-bisa hanya sepedaku sering jadi komplek perumahan laba-laba karena jarang dipake. Sabtu dan Minggu memang bukan hari kerja, tetapi tugas kantorku tidak selalu ngerti warna angka di kalender. Maka jadilah, bersepeda untuk menuju tempat kerja dan pulang kerja adalah semacam overlap antara hobi dan pekerjaan. Anda pasti paham bagaimana bahagianya kalo hobi menjadi pekerjaan atau pekerjaan bisa dilakukan sambil menikmati hobi. Atau, dalam kasus hobi bersepeda dan bike-to-work, minimal menikmati hobi untuk menuju tempat kerja, dan menikmati hobi lagi segera selepas kerja—tanpa menunggu sampe di rumah terlebih dulu. Isn’t it nice?