Senin, 29 Juni 2015

Seperti Biasa, Kita Tahu Siapa Pemenang Agama vs. Komersil


Tulisan ini kutulis sesaat setelah menonton siaran langsung MotoGP dari sirkuit Assen, Belanda. Sekali ini Valentino Rossi start dari pole. Tidak kurang dari 18 lap berikutnya ia bertahan dari tekanan pebalap muda luar biasa, Marc Marques. Vale membuat kesalahan ketika balapan menyisakan 7 (atau 6?) lap untuk ditempuh. Marc berhasil memanfaatkan momen kesalahan seniornya itu untuk mengambil alih pimpinan lomba.

Tetapi, semua orang juga tahu kalau Vale adalah maestro dalam hal menyalip di tikungan. Di semua tikungan yang pernah digunakan untuk balapan. Mungkin gelar the doctor (il dottore) yang media sandangkan padanya itu juga untuk bidang menyalip di tikungan.

Nggak lama-lama juga Marc bisa menjaga Vale di belakangnya. Kecolongan di tiga lap menjelang finish jelas bukan hal yang tidak membuat gusar, kan? Tapi Marc memang bukan pebalap yang suka main aman. Pokoknya, sebelum janur melengkung … eh, sebelum garis finish terlindas, kompetisi tetap berlangsung—dan perjuangan wajib dijalankan, kalau perlu hingga melampaui titik maksimum. Dan di chicane terakhir—yang hanya sepelemparan batu dari garis finish—Marc menyusup ke sisi dalam untuk memasuki chicane tersebut. Vale tampaknya tidak ingin mengubah racing line yang sudah dia incar. Hasilnya, keduanya sempat bersentuhan. Sentuhan yang membuat tunggangan Marc goyah, sedangkan Vale terpaksa keluar dari aspal. Tapi, begitu Vale menapak ke aspal lagi, posisinya masih di depan Marc yang belum bisa tancap gas lagi karena harus menstabilkan tunggangannya sembari menyelesaikan tikungan chicane itu.

Tapi, saya ingin melihat hal lain tentang Assen. Seri MotoGP di negeri meneer ini adalah seri yang tak pernah absen sejak balapan jenis ini ada di planet kita. Sejak bernama GP500 sampai bermutasi jadi MotoGP, Assen selalu menjadi salah satu seri paling menarik di setiap musim balapan. Salah satu kemenarikannya terceritakan di paragraf berikutnya.

Tentang sirkuitnya, ini sirkuit yang dirancang untuk balapan motor. Tidak seperti sirkuit-sirkuit lain yang digunakan MotoGP yang biasa dipakai juga untuk balapan formula one atau balapan mobil lainnya. Assen tidak pernah dirancang atau direncanakan untuk balapan selain sepeda motor. Boleh dibilang, sirkuit Assen adalah sirkuit yang tidak memberi kesempatan kepada para pebalap untuk bernapas longgar sedetikpun. Assen tidak memiliki trek lurus yang cukup panjang untuk bisa pamer kekuatan mesin pacuan. Top gear motor-motor MotoGP jarang-jarang terpakai di sana karena motor sudah keburu sampai di tikungan lagi. Dari sudut pandang penonton, balapan di Assen jadi seru banget. Makin asiknya, jenis tikungan di Assen itu komplit banget, dari tikungan pelan, sedang, cepat sampai tikungan beruntun, ada semua.

Yang unik juga dari sirkuit Assen adalah jumlah tikungannya yang tidak berimbang antara ke kanan dan ke kiri. Tikungan ke kanan hampir dua kali lipat dibanding tikungan ke kiri. Kalau balapan jaman dulu, pebalap harus pintar-pintar menggunakan ban—sambil menerima konsekuensi bannya ‘habis’ sebelah. Terutama ban belakang. Sekarang? Masih begitu sih, hanya saja mungkin tidak seberat jaman dulu, karena produsen ban sekarang mau saja bikin ban khusus untuk dipakai di balapan di Assen.

Waktu balapan di Assen juga lain dari yang lain. Di mana-mana balapan dihelat di hari Minggu, tapi di Assen balapannya hari Sabtu. Dengar-dengar, dulu sewaktu balapan mau diadakan di sana, para pendeta meminta balapannya jangan pada hari Minggu supaya tidak mengganggu orang yang mau ke gereja. Entah sampai kapan ada pendeta yang konsisten meminta itu kepada penyelenggara, tapi tradisi balapan di hari Sabtu itu terus berjalan—walau anda boleh saja bertanya-tanya soal tingkat kerelijiusan orang Belanda.

Kasus hari balapan MotoGP di Assen mungkin adalah sebuah simbol pengutamaan urusan agama atau ibadah di atas urusan ramai-ramaian, pertunjukan olahraga, komersil atau apapun yang terkait balapan roda dua paling bergengsi sedunia itu.

Sayangnya, tradisi balapan di hari Sabtu itu akan segera diakhiri. Sudah ada berita tentang balapan di Assen tahun 2016 dan selanjutnya akan digelar di hari Minggu, seperti di tempat-tempat lain. Alasan yang sudah dikemukakan semata-mata urusan komersil, yaitu bahwa balapan di hari Minggu lebih mudah mendapatkan perhatian dan penonton dibanding pada hari Sabtu.

Apakah para pendeta (Kristen) tidak lagi meminta balapannya jangan di hari Minggu? Atau, karena kalangan Yahudi keberatan balapan digelar di hari sabat mereka? (FYI: hari sabat itu hari ibadah. Hari Sabtu bagi Yahudi itu setara hari Minggu bagi Kristen dan Jumat bagi Islam.) Halah! Lha kok sampai ke konspirasi wahyudi segala? Wikikkikkik …

Rabu, 17 Juni 2015

Tradisi di H-1 Ramadhan


Sudah beberapa tahun bekerja di kantor ini, ada sebuah tradisi yang selalu kulihat. Tradisi itu dilaksanakan pada H-1 menjelang tanggal 1 Ramadhan. Tradisi itu adalah pulang kantor lebih awal. 

Entah apa alasan orang-orang ini pulang lebih awal. Tapi selalu dikaitkan dengan datangnya bulan Ramadhan. Entah persiapan berpuasa, persiapan pergi tarawih, persiapan makan sahur, atau apa. Entah. Sampai sekarang aku masih gagal paham. Yang jelas, banyak yang pulang sebelum akhir jam kerja yang ditentukan.

Walaupun sudah beberapa kali, alias sudah beberapa tahun menyaksikan tradisi itu, keherananku tidak juga berkurang. Alhamdulillah, tidak beranak-pinak juga. Hanya satu: apa yang mereka pikirkan tentang bulan suci Ramadhan dan ibadah-ibadah di dalamnya—sehingga dengan ‘suka-cita’ melanggar aturan iwaktu kerja dengan pulang lebih awal?

Jumat, 05 Juni 2015

Lahir? Apa Hebatnya?


Beberapa hari lalu membaca berita di situs entah apa, mengutip ucapan presiden Jokowi yang ngaku-ngaku bergetar (hatinya) kalau sedang berada di Blitar—plus frase penjelas: kota kelahiran Bung Karno. Saat itu, seingatku nggak ada apa-apa di dunia maya negeri ini terkait kalimat itu.

Selang satu atau dua hari, barulah banyak terlihat hal itu menjadi senjata yang diarahkan kepada si presiden cungkring itu. Sampai hari ini masih saja ada. Satu atau dua hari? Entah mereka pada telmi, atau setelah ada satu atau beberapa orang yang berbagi info yang benar tentang di mana sang proklamator dilahirkan, atau memang sedang nggak ada senjata sehingga hal seremeh itupun akhirnya digunakan juga.

Yang jelas, itulah hal terbesar yang dapat dinikmati oleh warga negeri ini dari reformasi yang belasan tahun lalu perjuangannya melibatkan jutaan orang berstatus demonstran. Kebebasan untuk ngomong apa saja. Kecanggihan teknologi melipatgandakan kesempatan dan efeknya.

Tapi sudahlah. Bahkan mereka yang paling rajin mengumbar komentar dan postingan pun sering kali tidak menyadari hasil perjuangan para pejuang reformasi yang sedang mereka nikmati. Bahkan ketika mereka menggunakan itu untuk menghujat orang lain—termasuk pemerintah, of course.

Oke, kembali ke kota kelahiran sang proklamator. Beberapa orang santai saja menanggapi, bahwa apapun yang disebutkan oleh data manapun tentang di kota apa beliau dilahirkan, itu tidak mempengaruhi ketokohan dan peran penting beliau terhadap bangsa ini.

Saya setuju dengan yang satu itu. Dan itu sebabnya saya tidak suka dengan iklan ucapan ulang tahun di koran-koran yang ditujukan kepada pejabat yang umurnya genap sekian tahun bersamaan dengan tanggal terbitnya koran tersebut. Sederhana saja, lahir itu bukan hasil perjuangan dari si tokoh yang dilahirkan. Itu hasil perjuangan ibunya.

Jika kita merayakan hari lahir Kartini, itu bukan karena Kartini menjadi tokoh penting berkat usahanya untuk hadir di dunia ini. Mungkin karena tidak ada tanggal yang pasti saja—misalnya kapan Kartini mulai mengoperasikan ‘sekolah’ bagi anak-anak perempuan—sehingga pemerintah kita menetapkan hari lahirnya saja sebagai moment peringatan. Hal sama diterapkan kepada Ki Hajar Dewantara yang terlahir tanggal 2 Mei; itu bukan tanggal wisuda beliau, bukan tanggal beliau membuka sekolah, atau semacamnya.

Dokter Soetomo juga tokoh penting negeri ini. Hari Kebangkitan Nasional diperingati setiap tahun. Tapi 20 Mei itu bukan tanggal lahirnya, melainkan tanggal dia dan beberapa kawannya mendirikan organisasi modern sebagai sarana perjuangan. Itu hasil dari upaya mereka.

Jadi, di mana Bung Karno lahir? Sudahlah. Anda toh tidak akan mati gara-gara tidak mengetahuinya.

Rabu, 03 Juni 2015

Mundur Kok Nunggu Terpilih Dulu


Saya bukan penggemar sepakbola. Hanya pernah sesekali selintas-lalu mendengar kalimat dari speaker tipi atau melihat judul berita di koran atau di situs entah-apa tentang sepakbola. Tepatnya, tentang dibekukannya PSSI dan berhentinya liga sepakbola negeri ini, tentang ngototnya Sepp Blatter untuk nggak mundur dari pencalonan presiden FIFA, dan juga tentang mundurnya si Sepp setelah terpilih.

Saya bukan warga yang terlalu peduli dengan nasib sepakbola, tetapi sekadar kasihan kepada para pemain yang nggak bisa bekerja selain bermain sepakbola. Saya kasihan mereka menjadi pengangguran.

Saya bukan orang yang paham organisasi sepakbola, tetapi sekadar tebersit ‘tuduhan’ pribadi saya kepada si presiden. Menjelang—hingga beberapa hari sebelum—pemilihan presiden FIFA, ada pihak-pihak yang memintanya untuk mundur. Mungkin bukan sekadar meminta, tetapi sudah sampai menuntut. Kabarnya, banyak korupsi di dalam organisasi sepakbola level planet itu.

Sependek yang saya tahu, saat itu Sepp menolak untuk mundur dari status kandidat. Penolakan itu bahkan mengandung penekanan, alias ada nada intensif dalam penolakan itu.

Lha kok setelah terpilih, hanya beberapa hari setelah terpilih, tahu-tahu dengar kabar dia mengundurkan diri? Merasa nggak mendapat dukungan, katanya.

Nah, itulah yang membuat saya berkomentar, “Ngajak nggak enak nih si Sepp.” Lha kalau memang mau mundur, kenapa nggak sebelum terpilih? Apa dia tengsin kalau saat itu mundur? Tengsin kalau dikatakan mundur karena tuntutan para haters? Kalau dia mundur setelah terpilih, kan jadi merepotkan orang untuk memilih presiden lagi. Memilihnya pun harus pakai kongres, jadi harus bikin kongres lagi. Kalaua dalam istilah negeri kita, namanya kongres luar biasa.

Well, saya bukan penggemar sepakbola. Bukan pula pemerhati sepakbola. Tidak pula paham organisasi sepakbola. Bahkan, tidak pernah menonton siaran pertandingan sepakbola dari menit nol sampai 90 kecuali beberapa pertandingan final Piala Dunia.

Mendengar kabar Sepp mengundurkan diri setelah beberapa hari saja terpilih, saya hanya teringat pada tindakan pak Harto pada suatu Kamis pagi 17 tahun lalu. Saat itu, pengunduran diri sang presiden diartikan sebagai kemenangan perjuangan para reformis. Tapi sampai sekarang tidak banyak yang bilang bahwa negeri ini lebih baik dibanding sebelum momen pengunduran diri itu.

Hanya saja, kita harus sadar dan jujur, jika saat itu sang presiden tidak mengundurkan diri, belum tentu kita bebas menuliskan opini pribadi, apalagi mengata-ngatai rezim seperti yang sehari-hari kita lakukan sejak awal abad ini.

Semoga nasib FIFA tidak seperti Indonesia.

Senin, 01 Juni 2015

Harga-harga Naik? Emang Masalah?


Waktu memang cepat berlalu. Tahu-tahu sudah mau bulan puasa lagi. Tinggal menghitung hari saja. Tanda-tandanya pun sudah jelas: mulai gencar iklan sirup di TV. Pasti segera disusul iklan sarung dan iklan obat maag. Hahaha …

Dengan harga bensin yang fluktuatif akhir-akhir ini, kenaikan harga barang-barang kebutuhan akan semakin kuat momentumnya. Seperti biasa, kenaikan harga bensin selalu menjadi alasan tak terbantahkan untuk kenaikan harga berbagai macam barang, mulai dari hasil tanam-tanaman, pupuk sampai bahan bangunan.

Kebijakan harga bensin yang mengikuti harga minyak di pasar dunia berarti harga bensin bisa naik atau turun setiap beberapa hari; dua minggu atau satu bulan? Sialnya, semua orang juga tahu kalau harga bensin naik maka harga barang-barang bakal ikut naik, dan kalau harga bensin turun harga barang-barang tidak akan ikut-ikutan turun. Artinya, harga barang memiliki jauh lebih banyak kesempatan untuk naik dibanding masa-masa sebelumnya.

Bulan puasa juga akan mengangkat harga-harga itu. Bahwa Ramadhan itu bulan penuh berkah, itu hanya tertulis di kitab-kitab atau buku-buku agama saja. Kombinasi antara tulisan itu dan kenyataan yang kita lihat setiap kali datang bulan Ramadhan adalah sebentuk dogma yang sangat efisien untuk mengajarkan kepada kita bahwa ajaran agama tidak selalu sesuai untuk kehidupan sehari-hari. Atau setidaknya, bahwa ilmu agama itu untuk akhirat saja, bukan untuk di dunia.

Mayoritas negeri ini adalah muslim. Tetapi, mayoritas negeri ini pula berpikir bahwa kebutuhan selama Ramadhan hingga hari raya idul fithri melebihi kebutuhan pada hari-hari selainnya. Mayoritas negeri ini adalah muslim yang oleh Tuhannya disuruh berpuasa selama sebulan penuh. Mungkin sebagian besar muslim di negeri ini pun melaksanakan perintah tersebut. Tapi sangat jelas terlihat di setiap tahun, ‘partisipasi’ puluhan—atau mencapai ratusan?—juta penduduk negeri ini sama sekali tidak membuat angka demand (permintaan akan komoditas) menurun. Yang selalu terjadi pada angka demand justru adalah sebaliknya: meningkat [tajam] menjelang dan selama bulan puasa, hingga selepas hari raya. Betapa ajaibnya negeri ini!

Mengeluh atas kenaikan harga-harga? Buat apa? Untuk mengisi waktu? Untuk sekadar jadi status di media sosial? Toh, ikut belanja lebih juga.

Berharap harga-harga nggak usah naik menjelang bulan puasa dan hari raya? Seliar itukan impianmu?

Berharap tidak terjadi peningkatan demand secara besar-besaran supaya harga barang kebutuhan tidak terdongkrak naik? Bersedia/berminat tidak ikut-ikutan belanja lebih menjelang dan selama bulan puasa? Jangan! Jangan tidak berpartisipasi! Saya khawatir anda akan dikenai tuduhan tidak melestarikan budaya bangsa.

Sudahlah. Semua itu tidak merepotkan, kok. Buktinya, dengan sengaja diulang-ulang setiap tahunnya. Nikmati saja.