Rabu, 26 Agustus 2015

Misteri Jarak


Yuhhuuuu …‼ Hari ini aku donor darah lagi. Bukan donor rutin, tapi donor karena ada permintaan.

Sambil ngobrol, tumben aku tanya-tanya berapa banyak darah yang diperlukan. Itu karena aku datang sendirian; teman sekantor yang suka-cita bila kuajak donor sedang tugas ke luar kota. Ternyata, dari sejumlah pendonor yang dihubungi, aku adalah yang pertama datang.

Tumben juga aku tanya-tanya tentang pasien yang memerlukan tambahan trombosit. Dan petugas di unit transfusi darah tidak tahu pasti. Hanya tahu pasien berasal dari kelurahan X … dan ternyata itu adalah kelurahan yang sama dengan tempat tinggalku.

Selagi kantong darah masih menyedot darah lewat jarum di lipatan sikuku, seseorang datang. Ternyata dia sama sepertiku, pendonor yang baru saja dihubungi. Kuajak ngobrol, ternyata dia juga dari kelurahan yang sama denganku, hanya beda RT. Dari dialah aku tahu lebih rinci tentang alamat pasien yang memerlukan sumbangan darah kami. Pendonor itu menyebutkan lokasi rumah tempat tinggal si pasien, yang ternyata berjarak hanya puluhan langkah dari kontrakanku—tapi memang kami tidak saling mengenal. Aku pernah ke rumah tetangga yang itu hanya dua kali. Dua-duanya untuk sekadar melayat karena ada yang meninggal dunia.

Jadi ingat pelajaran matematika jaman SMP. Jarak antara dua titik adalah panjang garis lurus yang menghubungkan kedua titik tersebut.

Di alam nyata, garis penghubung dua titik tidak selalu berupa garis lurus. Bisa jadi garis penghubungnya adalah garis lengkung, atau bahkan garis yang bertolak dari titik pertama tapi ngelantur ke mana-mana dulu sebelum menabrak titik kedua. Seperti jalan yang menghubungkan rumahmu dan taman kota yang ada wifi gratisnya: bukan seruas jalan yang benar-benar lurus.

Dan jadi ingat juga pada kajian fisika. Tepatnya, fisika kuantum—itukah namanya? Bahwa rute terdekat dari satu titik ke titik lain tidak selalu berupa garis lurus. Mungkin akan lebih dekat bila melalui sebuah lubang cacing (wormhole), lalu menjelajah dimensi lain dan keluar melalui sebuah lubang cacing lain di depan titik kedua.

Dimensi lain itu di mana?

Entahlah. Mungkin di ruang transfusi darah.

Selasa, 25 Agustus 2015

Aneh dan Menyebalkan


Dolar sedang mahal. Atau rupiah yang memang melemah?

Banyak yang kecewa karena rezim yang sedang memerintah negeri ini ternyata tidak memenuhi ramalan juru tenung ekonomi yang dulu mengatakan bahwa kalau si A jadi presiden maka nilai tukar rupiah akan sekian.
Banyak juga yang memberi alasan yang menjelaskan mengapa harga dolar menanjak. Tentu, alasan yang diberikan tidak sembarangan alias disortir dulu supaya tidak terkesan ngeles atau seperti alasan yang dicari-cari.

Para eksportir biasanya menyukai kenaikan harga dolar. Apalagi kalau kontrak penjualan mereka menggunakan mata uang berwarna suram itu. Saya sendiri pernah menjadi saksi sekaligus penikmat dari kombinasi mahalnya nilai dolar dan arus ekspor yang bagus.

Adalah Jepara di tahun 1998. Kabupaten di Jawa Tengah itu dikenal sebagai penghasil mebel kayu berkualitas ekspor. Dan memang, mebel kayu adalah salah satu tiang utama penyangga perekonomian Jepara—semoga sampai sekarang dan seterusnya. Ketika darah-daerah lain di Indonesia sengsara oleh hantaman krisis ekonomi (kita mengenalnya dengan sebutan krismon alias krisis moneter), Jepara justru mengalami masa kejayaan. Puluhan kontainer keluar dari Jepara setiap hari, menuju pelabuhan peti kemas. Ratusan angkutan umum dari daerah-daerah di sekitar Jepara setiap pagi penuh penumpang menuju Jepara. Yang memenuhi tak lain adalah orang-orang yang—karena berbagai faktor—rela bekerja sebagai buruh amplas atau pekerjaan-pekerjaan lain yang mengandalkan fisik di industri mebel kayu.

Saat itu, saya tinggal di daerah lain dengan dukungan biaya hidup yang dihasilkan dan dikirim dari Jepara. Saya bisa melihat betapa sengsaranya masyarakat di kota tempat tinggal saya saat itu akibat krismon, dan pada saat yang sama, merasakan betapa orang tua saya memiliki kemampuan pembiayaan yang lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Itulah yang membuat saya tidak menyukai melemahnya nilai tukar rupiah saat ini. Karena bisnis mebel di Jepara tidak lantas melambung tinggi. Dolar mahal kok orang mebel nggak jadi kaya? Ini aneh. Aneh tapi menyebalkan.

Baiklah. Dolar mahal, rupiah terpuruk. Lalu apa yang berani kita lakukan? Maukah kita membeli tempe yang dibuat dari kedelai hasil panen petani kita sendiri? Maukah para pengrajin tempe berkompak untuk keukeuh menggunakan kedelai dalam negeri—walaupun butirannya tidak sejumbo kedelai dari amrik—dan “memaksa” kita tetap membelinya? Maukah kita menggunakan ponsel yang dirakit di dalam negeri saja daripada ponsel top-brand yang masuk ke negeri kita dalam kondisi siap pakai? Maukah kita tidak makan gandum dan produk olahannya? … karena gandum tidak tumbuh di negeri tropis—yang berarti segala macam gandum dan hasil olahannya berasal dari impor. Maukah kita membeli buah pisang dari pedesaan kita, alih-alih buah-buahan impor?

Kalau tidak mau, ya sudahlah. Tidak usah berkeluh kesah dolar mahal atau ponsel android dan tempe naik harga. Cuma bikin capek.

Jumat, 21 Agustus 2015

Berjuang Kalah, Berdiam Lawan Tak Menang

(Asyem! Udah nulis mingu-minggu kemaren, ternyata lupa mem-posting ....)


 “Mengalah untuk menang.” Begitu bunyi pepatah atau kalimat bijak tempo dulu. Masihkah relevan?

Bukan hanya relevan, tapi tampaknya justru diterapkan untuk “bertarung” dalam konteks pemilihan kepala daerah (pilkada) di negeri kita.

Kita tahu, KPU mengambil langkah efisiensi yang sangat signifikan dengan menyerentakkan pilkada di negeri ini—pada ‘kesempatan pertama’ adalah untuk daerah-daerah yang masa tugas kepala daerahnya berakhir pada rentang entah bulan apa 2015 hingga entah bulan apa 2016 (tanggal dan bulan tepatnya nggak terlalu penting dalam obrolan ini, saya kira).

Masa pendaftaran bakal calon kepala daerah [berikut wakilnya] adalah tiga hari di pekan terakhir Juli lalu. Itu yang ‘masa normal’-nya. Saya bilang ‘normal’ karena ternyata ada beberapa daerah yang tidak mendapatkan apa-yang-diperlukan untuk melaksanakan pilkada.

Beberapa contoh daerah yang tidak mendapatkan itu misalnya Surabaya, Blitar, Timor Tengah Utara dan Tasikmalaya. Di daerah-daerah itu—dan beberapa lainnya—hanya ada sepasang bakal calon kepala daerah yang mendaftar ke KPU. Artinya, mereka tidak memiliki lawan tanding. Tak ada yang hendak melawan mereka berebut kursi pemimpin daerah.

(Membaca koran tadi pagi, Surabaya sudah memiliki satu lagi pasangan yang mendaftar ke KPU. Finally ….)

Apakah partai-partai yang tidak mengusung dan/atau tidak mendukung pasangan calon pemimpin daerah adalah partai-partai yang kalah? Tidak. Mereka belum kalah. Mereka yang memilih untuk tidak mengajukan pasangan calon pemimpin pasti bukan karena menyerah. Setidaknya, mereka tahu mereka akan sulit menang tetapi tetap berupaya untuk membuat kubu seberang tidak menang.

Surabaya adalah contoh paling mudah. Semua orang tahu betapa populernya bu Risma. Reputasi bu Risma adalah yang tidak mau tunduk kepada partai pengusungnya—yang pernah sok galak sambil sangat paham bahwa sang petahana adalah “jaminan mutu” untuk memenangi pilkada—dan terkenal ke mana-mana seantero Surabaya. Mengajukan diri sebagai tandingan bu Risma di pilkada—dalam logika dangkal saya—hampir bisa diterjemahkan sebagai tindakan bunuh diri.

Tampaknya hanya Tuhan sajalah yang mampu membendung popularitas bu Risma. Tapi, adalah peraturan dari KPU yang memberi celah untuk menggagalkan bu Risma jadi walikota periode berikutnya. Peraturan itu adalah klausul yang mengatakan bahwa pilkada tidak bisa dilaksanakan bila tidak ada lawan tanding alias hanya ada satu pasangan calon pemimpin.

Gampang, kan? Daripada mengajukan pasangan calon dan jelas-jelas akan kalah, mending tidak mengajukan dan lawan batal menang. Sebuah bentuk kreativitas dalam dunia politik. ^_^ *****