Jumat, 03 Maret 2017

Shalawat dan Mimik Muka



Topik ini sudah lama kupikirkan, dan sekarang ini mungkin sedang lewat “peak season” atau kurang tepat momennya untuk menjadi trending topic. Tapi hari ini ada teman yang menulis status di facebook, dan itu mengingatkanku pada topik ini. Jadi, kutulis saja sekarang.

Ini tentang ekspresi wajah orang-orang muslim—setidaknya di kampungku—ketika mereka mengadakan acara maulidan atau acara-acara lainnya yang merupakan bagian dari tradisi keagamaan. Tepatnya, ketika mereka mengumandangkan shalawat.

Yaa rasul, salam alaika. Yaa habib, salam alaika. Yaa rasul, salam alaika. Shalawatullah wa salam.

Kira-kira begitu sedikit penggalan kalimat shalawat yang mereka lantunkan bersama-sama. Maaf, bila ada kata yang keliru atau kurang tepat penulisannya. Tetapi, arti dari kalimat itu kira-kira begini:

“Wahai rasul, semoga keselamatan tercurah atas dirimu. Wahai sang kekasih, semoga keselamatan tercurah atas dirimu. Wahai rasul, semoga keselamatan tercurah atas dirimu. Semoga shalawat dan keselataman dari Allah untukmu.”

Saya sadar terjemahan-tepatnya mungkin tidak demikian, tetapi sebagai saduran saya yakin itu sudah cukup memberi gambaran maksud dari kalimat shalawat tersebut—bahwa lantunan kalimat shalawat itu adalah sapaan yang sangat mesra yang juga merupakan doa untuk Sang Rasul.

Yang saya heran, ketika orang-orang itu bershalawat bersama-sama di sebuah majelis, di rumah salah seorang warga maupun di masjid/langgar, baik dengan posisi duduk maupun bersama-sama berdiri, tidak ada ekspresi gembira di wajah-wajah mereka. Tidakkah mereka mencintai Sang Rasul? Tidakkah mereka merindukan manusia yang juga kekasih Allah itu? Kenapa tak ada raut kegembiraan dalam sapaan mereka kepadanya?

Saya jadi teringat pengalaman saya ketika sempat beberapa bulan tinggal di Flores Timur. Mayoritas penduduknya beragama Katholik. Salah satu tradisi dalam kegiatan ibadah mereka, yaitu misa, adalah memberikan uang tunai saat ibadah. Entah itu sumbangan, atau persembahan, atau apa namanya. Tetapi saya pikir itu seperti halnya jamaah shalat jumat yang memasukkan uang tunai ke dalam kotak yang diedarkan ke setiap barisan jamaah di dalam masjid.

Dari obrolan dengan sebuah keluarga miskin di sana, saya mendapat pelajaran yang luar biasa. Sang ibu dari keluarga miskin itu dengan mata berbinar-binar menceritakan bahwa mereka selalu berusaha untuk memberikan barang seribu-dua ribu rupiah di setiap misa—betapapun terkadang begitu susahnya mereka mendapatkan itu.

Menceritakan perjuangan berat itu dengan mata berbinar-binar?

Ya! Absolutely yes! Saya sama sekali tidak salah tangkap tentang ekspresi wajah sang ibu yang bercerita itu. Sementara suami, anak dan beberapa kerabat atau tetangganya juga menunjukkan ekspresi wajah sama—atau setidaknya mendukung.

Ketika saya tanya mengapa harus memaksakan diri untuk memberikan uang pada setiap misa, jawaban mereka menjawab keheranan saya mengenai ekspresi wajah-wajah itu.

“Kami tetap usahakan itu,” jawab sang ibu, “karena kami yakin sebagian dari uang yang kami berikan itu akan sampai ke Vatikan.”

Wow …!! Mereka bangga bisa menyumbang sedikit uang untuk pemimpin tertinggi mereka! itu yang membuat mereka rela bersusah payah mencari uang untuk diberikan pada setiap misa. (Tentu saja, mereka sangat yakin kalau uang mereka tidak dikorupsi atau dipergunakan untuk keperluan yang di luar restu mereka)

Kembali kepada shalawat. Bukankan itu sapaan dan doa untuk teladan terbaik, panutan dan junjungan umat muslim di seluruh dunia? Tidakkah mendoakan itu artinya menyumbangkan doa untuk orang yang dituju/dicintai?

Jadi, kenapa shalawat dilantunkan dengan ekspresi wajah datar, atau bahkan tertunduk lesu? Tidakkah seharusnya shalawat diucapkan/dilantunkan dengan ekspresi yang melebihi kegembiraan yang mengiringi ucapan "Selamat pagi, pacarku ..."?