Rabu, 10 Mei 2017

Sekali Kalah Dua Poin



Sebetulnya aku nggak ingin mempublikasikan komentar atau opiniku terkait kasus Ahok. Karena kukira itu tak pantas jadi kasus dan menguras energi kita. Aku tak melihat ada penistaan agama dalam kejadian Ahok di Pulau Seribu tahun lalu itu. Entah karena aku nggak peka, atau karena urusan agama otakku cetek.

Dan kemarin siang, di tipi ada siaran langsung sidang pengadilan yang di dalamnya ada pembacaan vonis untuk terdakwa tindak penistaan agama. Ahok divonis dua tahun penjara—dan langsung ditahan.

Siang itu juga beredar kabar tentang dibubarkannya sebuah organisasi berasas Islam, HTI. Dibubarkan dengan alasan tidak sesuai dengan Pancasila.

Rupanya kedua vonis itu adalah kue yang dibagi rata bagi kubu pro dan kubu kontra kasus Ahok. Itu saja yang ada di dalam kepalaku.

Ya, dalam benakku, peradilan sudah tidak lagi murni peradilan. Ia tidak mampu menutup mata dan telinga, menutup semua pintu, jendela dan ventilasi yang memungkinkan suara-suara dari luar mengganggunya. Aku mengira desakan dari beberapa pihak terlihat dari angin yang berhembus di peradilan.

Dalam benakku, Ahok adalah korban. Kalau dia tidak divonis bersalah, mungkin ada yang melihat kemungkinan terjadinya kerusuhan ala 1998. Apakah umat Islam dimenangkan dengan vonis itu? Tidak. Justru umat Islam dijadikan kambing hitam—sebagai pihak yang memenjarakan seorang pemimpin yang tidak korup.

Di sisi lain, umat Islam jelas dikalahkan dengan dibubarkannya HTI.