Aku masih saja mendapati “curhat” tentang hutang dari teman-teman di
facebook. Entah berupa postingan status, meme, kisah yang dibagikan, apapun. Intinya,
yang bertopik sengsaranya orang yang mau menagih hutang, kurang ajarnya debitur
(orang yang hars bayar hutang) dan
semacam-semacam itu.
Mulai dari dalil agama, permintaan untuk berempati, kebutuhan, dan banyak argumen
ditampilkan. Semua bertujuan sama: mengingatkan atau menyuruh si peminjam untuk
segera melunasi hutangnya.
Aku sendiri terhitung jarang berkomentar di postingan-postingan semacam
itu. Kalaupun komen ya isinya tertawa aja. Bukan karena aku tidak mengalami
derita yang sama. Bukan.
Dari dulu duitku juga banyak yang tersangkut di teman-temanku. Waktu pinjamnya
selalu ada alasan atau keperluan mereka. Ada yang bilang untuk beli kayu untuk
dibawa pulang dan nanti kita jual sama-sama. Ada yang kasihan pada anaknya yang
mau ulang tahun tapi papa-mamanya sedang bokek. Ada yang untuk perbaiki AC
mobil karena sedang dalam perjalanan untuk menagih hutang ke pembeli yang macet
pembayarannya. Ada yang untuk membeli beras. Ada yang untuk menalangi pembelian
barang kantor dan akan dikembalikan setelah pencairan di bendahara. Ada yang
untuk membeli obat. Macam-macam.
Apakah aku gigih menagih? Tidak. Bahkan, ada yang sama sekali tidak
kutanyakan—meskipun kami tetap bertegur sapa setiap kali bertemu. Ada yang
sesekali aja kutanyai soal kapan mau bayar hutangnya. Tapi tidak satupun yang
kutagih terus-terusan. Aku hanya yakin kalau mereka ingat pernah meminjam duit
dariku dan belum mengembalikannya.
Kenapa aku nggak gigih menagih hutang? Apakah karena aku sudah berkecukupan
dalam perkara duit? Mungkin.
Tapi yang lebih tepatnya, sikapku tidak menagih hutang itu karena aku
nggak mau membebani diri sendiri. Bagiku, perihal hutang itu mereka yang
berkewajiban membayarnya. Aku tidak ada kewajiban apa-apa. Kalau hutang itu
tidak dibayar—padahal mereka pernah ingat dan sengaja tidak membayarkan ketika
mereka sedang punya duit—maka segala konsekuensinya (dosa, azab, reputasi
buruk, apapun) itu bukan aku yang menanggungnya.
Beberapa orang berpendapat, bahwa si pemilik duit juga wajib mengingatkan si
peminjam untuk membayar hutangnya. Well, kalau itu mungkin iya. Dalam kasusku,
aku sekadar menjaga mereka tetap ingat. Kalau bertemu, dengan mengangkat alis
sedikit aja sudah mengingatkan mereka tentang hutang yang belum dibayar.
Bagi mereka yang menghilang dan sama sekali hilang kontak, jelas kewajibanku
sudah beres. Jadi, aku nggak merasa perlu membebani diriku sendiri lebih banyak.