Aku pernah mengikuti survei online. Juga, ulangan anak
sekolah edisi pandemi covid-19—yang dikerjakan di hp ibunya di rumah. Sekali mengirimkan
isian/jawaban atas sejumlah pertanyaan, kita tidak bisa mengulanginya dengan
identitas yang sama.
Aku jadi bertanya-tanya, kenapa pilkada 2020 tidak
dilakukan dengan cara itu saja? Apakah itu terlalu mudah diganggu—dimanipulasi,
di-hack atau sejenisnya? Ataukah karena datanya bisa masuk ke negara lain—via google
atau siapa yang memfasilitasinya.
Terlepas dari kemungkinan kendala-kendala tersebut—yang
pasti bisa saja diatasi atau dicarikan solusinya—penggunaan cara teknis pemberian
suara itu sangat sederhana. Setiap warga negara bisa memilih melalui ponsel dengan
akses internet masing-masing, dan cukup di rumah saja. Kecuali yang tidak punya
ponsel semacam itu. Tinggal sebarkan link, tentukan kapan dan dari jam berapa
sampai jam berapa link tersebut dapat diakses dan mengirimkan partisipasi
suara, dan tetap kompori (kampanyekan) agar para pemilik hak suara
berpartisipasi memilih pemimpian daerahnya.
Identitas yang digunakan untuk memilih adalah NIK
(Nomor Induk Kewarganegaraan). Jika NIK yang digunakan tidak termasuk sebagai
pemilik hak pilih dalam pilkada tersebut, maka otomatis tidak masuk hitungan,
atau tidak dapat mengirimkan suara (pilihan politiknya). Seperti halnya jika seorang
siswa kelas 3C tapi dalam ulangan online mencantumkan data dirinya sebagai
warga kelas 3F; akan gagal kirim atau tidak masuk hitungan.
Bagi yang tidak memiliki ponsel dengan akses internet,
atau tidak memiliki paket data, atau di desanya tidak ada koneksi internet,
mereka bisa datang ke TPS. Dalam hal ini, TPS-nya juga lebih sederhana. Di sana,
KPU cukup menyediakan ponsel dan koneksi internet untuk pemilih agar bisa
mengakses link dan memberikan suaranya secara online.
Mungkin pilkada gaya ini lebih sederhana dan lebih
hemat biaya. Atau?