Sebetulnya aku nggak ingin mempublikasikan komentar atau opiniku
terkait kasus Ahok. Karena kukira itu tak pantas jadi kasus dan menguras energi
kita. Aku tak melihat ada penistaan agama dalam kejadian Ahok di Pulau Seribu
tahun lalu itu. Entah karena aku nggak peka, atau karena urusan agama otakku
cetek.
Dan kemarin siang, di tipi ada siaran langsung sidang pengadilan
yang di dalamnya ada pembacaan vonis untuk terdakwa tindak penistaan agama. Ahok
divonis dua tahun penjara—dan langsung ditahan.
Siang itu juga beredar kabar tentang dibubarkannya sebuah
organisasi berasas Islam, HTI. Dibubarkan dengan alasan tidak sesuai dengan Pancasila.
Rupanya kedua vonis itu adalah kue yang dibagi rata bagi kubu
pro dan kubu kontra kasus Ahok. Itu saja yang ada di dalam kepalaku.
Ya, dalam benakku, peradilan sudah tidak lagi murni
peradilan. Ia tidak mampu menutup mata dan telinga, menutup semua pintu,
jendela dan ventilasi yang memungkinkan suara-suara dari luar mengganggunya. Aku
mengira desakan dari beberapa pihak terlihat dari angin yang berhembus di
peradilan.
Dalam benakku, Ahok adalah korban. Kalau dia tidak divonis
bersalah, mungkin ada yang melihat kemungkinan terjadinya kerusuhan ala 1998. Apakah
umat Islam dimenangkan dengan vonis itu? Tidak. Justru umat Islam dijadikan
kambing hitam—sebagai pihak yang memenjarakan seorang pemimpin yang tidak
korup.
Di sisi lain, umat Islam jelas dikalahkan dengan
dibubarkannya HTI.