Topik ini sudah lama kupikirkan, dan sekarang ini mungkin
sedang lewat “peak season” atau kurang tepat momennya untuk menjadi trending
topic. Tapi hari ini ada teman yang menulis status di facebook, dan itu
mengingatkanku pada topik ini. Jadi, kutulis saja sekarang.
Ini tentang ekspresi wajah orang-orang muslim—setidaknya di
kampungku—ketika mereka mengadakan acara maulidan atau acara-acara lainnya yang
merupakan bagian dari tradisi keagamaan. Tepatnya, ketika mereka
mengumandangkan shalawat.
“Yaa rasul, salam alaika. Yaa habib, salam alaika. Yaa rasul,
salam alaika. Shalawatullah wa salam.”
Kira-kira begitu sedikit penggalan kalimat shalawat yang
mereka lantunkan bersama-sama. Maaf, bila ada kata yang keliru atau kurang
tepat penulisannya. Tetapi, arti dari kalimat itu kira-kira begini:
“Wahai rasul, semoga keselamatan tercurah atas dirimu. Wahai
sang kekasih, semoga keselamatan tercurah atas dirimu. Wahai rasul, semoga
keselamatan tercurah atas dirimu. Semoga shalawat dan keselataman dari Allah untukmu.”
Saya sadar terjemahan-tepatnya mungkin tidak demikian, tetapi
sebagai saduran saya yakin itu sudah cukup memberi gambaran maksud dari kalimat
shalawat tersebut—bahwa lantunan kalimat shalawat itu adalah sapaan yang sangat
mesra yang juga merupakan doa untuk Sang Rasul.
Yang saya heran, ketika orang-orang itu bershalawat
bersama-sama di sebuah majelis, di rumah salah seorang warga maupun di masjid/langgar,
baik dengan posisi duduk maupun bersama-sama berdiri, tidak ada ekspresi
gembira di wajah-wajah mereka. Tidakkah mereka mencintai Sang Rasul? Tidakkah
mereka merindukan manusia yang juga kekasih Allah itu? Kenapa tak ada raut
kegembiraan dalam sapaan mereka kepadanya?
Saya jadi teringat pengalaman saya ketika sempat beberapa
bulan tinggal di Flores Timur. Mayoritas penduduknya beragama Katholik. Salah satu
tradisi dalam kegiatan ibadah mereka, yaitu misa, adalah memberikan uang tunai
saat ibadah. Entah itu sumbangan, atau persembahan, atau apa namanya. Tetapi saya
pikir itu seperti halnya jamaah shalat jumat yang memasukkan uang tunai ke
dalam kotak yang diedarkan ke setiap barisan jamaah di dalam masjid.
Dari obrolan dengan sebuah keluarga miskin di sana, saya
mendapat pelajaran yang luar biasa. Sang ibu dari keluarga miskin itu dengan mata
berbinar-binar menceritakan bahwa mereka selalu berusaha untuk memberikan barang
seribu-dua ribu rupiah di setiap misa—betapapun terkadang begitu susahnya
mereka mendapatkan itu.
Menceritakan perjuangan berat itu dengan mata
berbinar-binar?
Ya! Absolutely yes!
Saya sama sekali tidak salah tangkap tentang ekspresi wajah sang ibu yang
bercerita itu. Sementara suami, anak dan beberapa kerabat atau tetangganya juga
menunjukkan ekspresi wajah sama—atau setidaknya mendukung.
Ketika saya tanya mengapa harus memaksakan diri untuk
memberikan uang pada setiap misa, jawaban mereka menjawab keheranan saya
mengenai ekspresi wajah-wajah itu.
“Kami tetap usahakan itu,” jawab sang ibu, “karena kami
yakin sebagian dari uang yang kami berikan itu akan sampai ke Vatikan.”
Wow …!! Mereka bangga bisa menyumbang sedikit uang untuk pemimpin
tertinggi mereka! itu yang membuat mereka rela bersusah payah mencari uang
untuk diberikan pada setiap misa. (Tentu saja, mereka sangat yakin kalau uang
mereka tidak dikorupsi atau dipergunakan untuk keperluan yang di luar restu
mereka)
Kembali kepada shalawat. Bukankan itu sapaan dan doa untuk teladan
terbaik, panutan dan junjungan umat muslim di seluruh dunia? Tidakkah mendoakan
itu artinya menyumbangkan doa untuk orang yang dituju/dicintai?
Jadi, kenapa shalawat dilantunkan dengan ekspresi wajah
datar, atau bahkan tertunduk lesu? Tidakkah seharusnya shalawat diucapkan/dilantunkan dengan ekspresi yang melebihi kegembiraan yang mengiringi ucapan "Selamat pagi, pacarku ..."?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
di sini boleh komen