Pekan ini adalah pekan pertama anak-anak masuk sekolah
setelah libur lebaran. Tidak semua, sih, tapi lumayan banyak daerah yang iya.
Di media-media sosial banyak obrolan tentang MOS (Masa Orientasi Siswa)—atau
sejenisnya. Banyak yang mengeluhkan pelaksanaannya yang buruk, ketidakbergunaan
dan dampak buruknya.
Yah, gimana nggak mengeluh kalau anak-anak mereka
dikerjai teman-teman sealmamater yang hanya beda tingkat/kelas? Ada yang bilang
anaknya disuruh datang ke sekolah sambil menumpang matahari terbit. Ada yang
bilang anaknya disuruh pakai atribut yang aneh-aneh. Ada yang bilang anaknya
disuruh bawa barang-barang yang nggak jelas kegunaannya. Ada juga yang
mengaplod surat/pemberitahuan resmi dari panitia yang berisi peraturan atau
perintah yang enggak-enggak itu.
Saya sendiri tidak banyak mengalaminya secara
langsung. Hanya beberapa hari lalu, dalam perjalanan rutin ke tempat kerja
melewati sebuah sekolah, aku sempat melihat ada anak-anak berbaris di halaman
sebuah sekolah, mereka mengenakan atribut yang nggak biasa dipakai oleh murid
sekolah di bulan November.
Tapi, kemarin saya mendapat cerita tentang perploncoan
di tempat lain. Peserta yang diplonco bukan siswa baru, tapi anak-anak SMA/SMK yang
mengikuti latihan untuk menjadi pasukan pengibar bendera a.k.a calon petugas
upacara 17 Agustus depan. Latihan itu rutin digelar di halaman kantor saya, dan
saya mendapatkan ceritanya dari seorang petugas keamanan kantor saya itu. Om
petugas itu bilang, beberapa dari anak-anak itu mengalami kekerasan fisik.
Bukan ditampar. Bentuk kekerasannya misalnya disuruh push-up dulu sebelum
bersantap makan. Ada juga sangat dibatasi waktu makannya sehingga tak mungkin
makan tanpa terburu-buru. Ada juga disuruh beraktivitas fisik yang mengguncang
perut setelah makan—ditambah aturan nggak boleh muntah, dan kalau sampai muntah
diharuskan memakan muntahannya itu.
Saya hanya heran. Jika para orang tua tidak suka
anaknya diperlakukan atau disuruh seperti itu, kenapa mereka tidak bersikeras
melarang anak-anaknya mengikuti perploncoan itu? Beberapa tahun lalu, saya bahkan
berjumpa dengan orang tua yang bersusah payah mencarikan barang yang diminta
oleh panitia MOS yang diikuti oleh anaknya.
Saya jadi ingat tentang ospek yang pernah saya ikuti
dulu. (Entah apa namanya, tapi generasi kami lebih familiar dengan vocab ospek
daripada MOS, MOPD atau yang lebih jadul: mapras.) Dulu, di abad ke-20, waktu
perploncoan masih dianggap normal. Waktu setiap peserta didik baru di level
sekolah menengah dan perguruan tinggi masih harus mengikuti penataran P4.
Secara pribadi, saya sangat terkesan pada ospek yang
saya ikuti ketika saya menyandang predikat mahasiswa baru. Bukan karena saat
itu saya sedang puber-pubernya, bukan juga karena di perguruan tinggi terkenal.
Tapi, karena pelajaran yang diberikan oleh kakak-kakak panitia kepada kami.
Sampai sekarang saya masih sangat mensyukuri keikutsertaan saya dalam ospek
itu, terutama ospek fakultas. (PS. Saat itu ada dua ospek yang yang harus
diikuti oleh setiap mahasiswa baru: ospek universitas, dan ospek fakultas.)
Berikut adalah beberapa poin yang sangat berkesan bagi saya. Hingga saat ini.
Sejak awal mengikuti ospek, ada penekanan bahwa makan
adalah nikmat Tuhan yang harus disyukuri. Karena itu, saat makan harus dibuat
rileks—tapi tetap tertib. Dan, tidak boleh ada sisa alias makanan yang terbuang.
Untuk makan siang, kami (peserta ospek) tidak membawa
sendiri-sendiri, tetapi panitia menyediakan nasi bungkus. Ketika saatnya makan
siang, setiap perwakilan kelompok mengambil nasi bungkus sejumlah anggota
masing-masing kelompok. Sebelum makan, kami disuruh membuka dan melihat porsi
makanan di tangan kami masing-masing, kemudian memperkirakannya baik-baik: bisa
habiskan atau tidak? Jika sekiranya tidak bisa menghabiskan porsi yang ada,
kami diharuskan memberikan kelebihannya kepada teman-teman sesama peserta ospek,
panitia atau siapapun yang bisa dijumpai di tempat itu. Yup, cewek-cewek yang
makannya tidak banyak lalu sibuk menawar-nawarkan sebagian nasi, sayur dan lauk
dari bungkusan di tangannya. Yang menerima pun harus sanggup menghabiskan “transferan”
itu. Kalau tidak sanggup menghabiskan, ya jangan diterima. Ketika semua
transferan sudah diterima—oleh siapapun yang sanggup menerimanya—barulah kami mulai
makan bersama-sama.
Selesai? Tidak. Bagi yang merasa kurang dan ingin
mengambil nasi bungkus lagi, dipersilakan mengambil lagi. Aturan mainnya tetap
sama: harus sanggup menghabiskan. Alhasil, teman di sebelahku mengambil
sebungkus lagi setelah bersepakat dengan dua orang lain untuk membagi dan
menghabiskannya bertiga. Lebih dari belasan orang lainnya melakukan hal yang
sama. Ada yang untuk nasi bungkus, maupun untuk teh hangat yang dikemas dalam
kantong plastik.
Selama makanpun kami tidak disuruh buru-buru. Tidak juga
disuruh mengambil seutas mie lalu disuruh menggigitnya satu sentimeter saja. Kami
dipersilakan makan pakai sendok atau tangan, tidak pernah disuruh makan pakai
garpu atau sendok teh. Pada hari-hari itu, hal-hal bodoh pada break makan siang
atau snack hanya kudengar dari teman kos dan beberapa teman lain yang beda
fakultas. Tidak kualami di fakultasku. (Oh, iya, kalau sessi snack, kami tidak
diijinkan minta tambah .. hehe ..)
Bagi yang tidak berhasil menghabiskan makanannya—bahkan
setelah mentransfer sebagiannya ke orang lain—tentu dikenai hukuman, yaitu
harus minta maaf kepada petani di seluruh Nusantara. Permintaan maaf itu
disampaikan di panggung di sudut halaman tempat kami makan bersama-sama, alias di
hadapan seluruh peserta ospek, panitia dan para mahasiswa atau siapapun yang
nonton ospek. “Beras itu dari padi. Petani yang menanam padinya. Kamu kira
gampang menanam padi? Petani bekerja keras tiga bulan lebih, setiap hari
kepanasan di sawah, lalu kamu buang sia-sia hasil jerih payahnya?” kira-kira begitu
‘makian’ [tepatnya, alasan untuk menghukum dari] raka-rakanita panitia ospek
kami kepada peserta yang tidak menghabis-tuntaskan makan siangnya.
Selain hal makan, poin penting lain adalah soal
senioritas. Seingatku, para panitia tidak pernah menyebut diri mereka senior,
dan tidak pula menyebut kami—para mahasiswa baru peserta ospek—sebagai junior. Singkatnya,
tidak pernah terucap istilah ‘senior’ dan ‘junior’ dalam ospek kami. Kami memanggil
para panitia dengan sebutan ‘raka’ dan ‘rakanita.’ Itupun gara-gara ada
mahasiswa cowok beretnis Batak berperawakan tinggi besar yang menolak sebutan ‘kakak’
bagi dirinya. Katanya, “Sejak kapan aku jadi perempuan?” (Karena dalam
keseharian orang Sumatra Utara, ‘kakak’ itu panggilan untuk perempuan; kalau
untuk laki-laki tuh ‘abang.’ Hahaha …)
Soal senioritas ini semakin terasa asiknya waktu kami mengikuti
sessi per jurusan. Mereka mengawali doktrin kepada kami dengan satu hal, yaitu
bahwa tidak ada senior atau junior. “Kita semua adalah teman,” kata salah
seorang dari mereka yang jadi juru bicara pertama. “Kebetulan saja kami masuk
ke kampus ini lebih dulu dari kalian, jadi kami tahu beberapa hal tentang
kampus ini yang kalian belum tahu. Nah, kami di sini untuk memberi tahu kalian,
dan menjawab pertanyaan kalian tentang itu.”
Adem banget, kan?
Dalam sessi itu, mereka memberitahu kami bukan hanya
tentang bagaimana mengisi KRS (Kartu Rencana Studi), aturan main kredit
semester, tips n trik mengikuti kuliah, unit-unit kegiatan mahasiswa, cara
menjadi anggota perpustakaan dan sebangsanya. Mereka juga memberitahu kami
tentang bangku beton berbentuk lingkaran di bawah pohon mangga di depan kantin.
“Kalau mau belajar tentang politik atau sekadar mendengar diskusi tentang apa
saja, antar jurusan, silakan sering-sering bergabung duduk-duduk di sana. Terbuka
untuk siapa saja.”
Alangkah asiknya kalau MOS atau MOPD [atau apapun nama
program orientasi siswa baru] bisa seperti itu.
PS. Bukannya tak ada bentakan dalam ospek yang
kuikuti, tapi saya hanya menceritakan yang baik-baiknya saja, yang saya
banggakan dari ospek itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
di sini boleh komen