“Mengalah untuk
menang.” Begitu bunyi pepatah atau kalimat bijak tempo dulu. Masihkah relevan?
Bukan hanya relevan, tapi tampaknya justru diterapkan
untuk “bertarung” dalam konteks pemilihan kepala daerah (pilkada) di negeri
kita.
Kita tahu, KPU mengambil langkah efisiensi yang sangat
signifikan dengan menyerentakkan pilkada di negeri ini—pada ‘kesempatan
pertama’ adalah untuk daerah-daerah yang masa tugas kepala daerahnya berakhir
pada rentang entah bulan apa 2015 hingga entah bulan apa 2016 (tanggal dan
bulan tepatnya nggak terlalu penting dalam obrolan ini, saya kira).
Masa pendaftaran bakal calon kepala daerah [berikut
wakilnya] adalah tiga hari di pekan terakhir Juli lalu. Itu yang ‘masa normal’-nya.
Saya bilang ‘normal’ karena ternyata ada beberapa daerah yang tidak mendapatkan
apa-yang-diperlukan untuk melaksanakan pilkada.
Beberapa contoh daerah yang tidak mendapatkan itu
misalnya Surabaya, Blitar, Timor Tengah Utara dan Tasikmalaya. Di daerah-daerah
itu—dan beberapa lainnya—hanya ada sepasang bakal calon kepala daerah yang
mendaftar ke KPU. Artinya, mereka tidak memiliki lawan tanding. Tak ada yang
hendak melawan mereka berebut kursi pemimpin daerah.
(Membaca koran tadi pagi, Surabaya sudah memiliki satu
lagi pasangan yang mendaftar ke KPU. Finally ….)
Apakah partai-partai yang tidak mengusung dan/atau
tidak mendukung pasangan calon pemimpin daerah adalah partai-partai yang kalah?
Tidak. Mereka belum kalah. Mereka yang memilih untuk tidak mengajukan pasangan
calon pemimpin pasti bukan karena menyerah. Setidaknya, mereka tahu mereka akan
sulit menang tetapi tetap berupaya untuk membuat kubu seberang tidak menang.
Surabaya adalah contoh paling mudah. Semua orang tahu
betapa populernya bu Risma. Reputasi bu Risma adalah yang tidak mau tunduk
kepada partai pengusungnya—yang pernah sok galak sambil sangat paham bahwa sang
petahana adalah “jaminan mutu” untuk memenangi pilkada—dan terkenal ke
mana-mana seantero Surabaya. Mengajukan diri sebagai tandingan bu Risma di pilkada—dalam
logika dangkal saya—hampir bisa diterjemahkan sebagai tindakan bunuh diri.
Tampaknya hanya Tuhan sajalah yang mampu membendung
popularitas bu Risma. Tapi, adalah peraturan dari KPU yang memberi celah untuk
menggagalkan bu Risma jadi walikota periode berikutnya. Peraturan itu adalah
klausul yang mengatakan bahwa pilkada tidak bisa dilaksanakan bila tidak ada
lawan tanding alias hanya ada satu pasangan calon pemimpin.
Gampang, kan? Daripada mengajukan pasangan calon dan
jelas-jelas akan kalah, mending tidak mengajukan dan lawan batal menang. Sebuah
bentuk kreativitas dalam dunia politik. ^_^ *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
di sini boleh komen