Hampir dua
pekan ini, ada sebuah fenomena lucu di kampung facebook chapter Hulu Sungai
Kalimantan Selatan. Kalau mau lebih spesifik, wilayahnya sekitar Balangan … dan
sangat mungkin hulu sungai tengah, karena ada sebuah lembaga yang disebut-sebut
dalam teks-teks menggelikan di chapter facebook tersebut.
Adalah
sebuah akun facebook bernama R**a*su****I yang mengirimkan friend request ke
akunku. Seperti biasa, kuterima saja. Biasanya, setelah ku-confirm dan aku ada
waktu, kulihat-lihat dulu profil, postingan dan teman-teman akun tersebut.
Kalau alay dan aku merasa tidak akan mendapat manfaat apa-apa dari pertemanan
kami, biasanya aku tidak follow … atau kublokir.
Tak lama
setelah friend request itu ku-confirm, postingan statusnya mulai nongol di
wall-ku. (Eh, namanya masih wall atau
sudah ganti jadi timeline? Whatever
it is, you know what I mean, don’t you?)
Pada
awalnya, aku mengira asumsiku benar: dia adalah newbie alias anak baru di
facebook. Masih lugunya terlihat dari nama yang dia gunakan sebagai akun:
[terkesan] seperti nama betulan, tidak diubah sedikitpun; tidak seperti nama
akun anak-anak alay yang boros karakter dan sulit dibaca. Dengan
postingan-postingan nggak pentingnya, ia menceritakan bahwa ia akan menikah.
Nama calon suaminya disebut dengan sangat jelas, bukan dengan ejaan alay.
Tidak alay?
Enggak juga. Ia tidak alay dalam menyebut nama orang dan nama desa/tempat. Tapi
kata-kata lain lumayan alay. Khas [buruk] anak-anak usia ABG yang mengenal komunikasi via gadget elektronik.
Baik,
kembali ke lugunya. Selain nama calon suaminya, ia juga menyebutkan dengan
sangat jelas nama dirinya, nama adiknya, nama desa tempat tinggalnya, lokasi rumahnya,
nama almamaternya. Semuanya dengan ejaan yang jelas, tidak alay. Well, keluguan
ini sudah mengarah ke kecerobohan, bukan?
Beberapa jam
menjelang pernikahannya, ia juga pasang status tentang itu. Ia informasikan via
facebook. Apa tanggapan teman-teman di facebook? Seperti biasa: ucapan selamat.
Kemudian, lugu
dan corobohnya itu mulai berubah menjadi bodoh. Ia mempost status yang
menceritakan tentang perasaan pribadinya, tentang perasaannya menunggu malam
pertama ‘menjamu’ suaminya. Tidak dengan kalimat seperti yang saya tuliskan
ini, tetapi dengan pilihan kata yang vulgar. Beberapa temannya menangkap kesan murahan.
Beberapa menyayangkan karena mereka tahu almamater si R**a*su****I itu mencakup
pula dua buah pondok pesantren. Anak pesantren macam apa yang di media sosial
mengatakan pukinya gatal sudah ingin bermalam pertama? Lalu pula menceritakan
menginformasikan suara ah uh ah uh yang mereka buat dan situasi kamar-kamar saudara
mereka yang berdekatan? Juga rasa sakit di puki yang ia masih rasakan setelah
diperawani suaminya? (Hadeh, kok aku jadi ikut-ikutan vulgar?)
Beberapa temannya,
mungkin yang memang mengenalnya, atau minimal yang berbaik sangka, mengomentari
tidak percaya dan berharap itu ulah hacker.
Lucunya
kemudian, si pemilik akun lantas berkali-kali menuliskan bantahan. Berkali-kali
ia mengklarifikasi bahwa semua status itu memang dia yang bikin. Bahwa akun
facebooknya tidak sedang dibajak oleh siapapun. Juga, bahwa memang begitulah
kelakuannya—dan minta dimaklumi. Bahkan, ia menyebut teman-teman yang
mengatakan akunnya dibajak itu sebagai berburuk sangka.
Bagitu, itu
berarti dia tidak lagi bodoh. Itu lebih tepat dikategorikan sebagai “nggak
punya otak” atau minimal idiot. Betapa malunya teman-teman sealmamaternya [dan
juga institusi pondok pesantren yang pernah menerimanya] mengetahui ada sesama
mereka yang seidiot itu. Sangat mudah dibayangkan, menurutku.
Baiklah. Tidak
usah lagi kusebut-sebut akun itu. Aku sudah memblokirnya.
Yang aku
heran, tidakkah sekolah atau pondok pesantren atau lembaga pendidikan apapun
mendidik murid-muridnya untuk memiliki rasa malu? Saya yakin, semua melakukan
itu. Sayangnya, tidak semua murid memahami apa itu media sosial, apa itu rasa
malu, apa itu berbaik sangka.
Yang aku
heran, hari gini masih ada anak perempuan [alumni pondok pesantren pula] seidiot
itu?
Aku sejak
awal mau menegurnya. Tapi kuputuskan kutunda dulu. Kuikuti perkembangannya,
ternyata semakin parah. Dan itu tadi, teman-teman yang mengingatkannya, bahkan
yang mencoba melindungi nama baiknya, ia katakan sebagai berburuk sangka, tidak
berakal, dan sejenis itu.
So, what
else can I say or do? Daripada aku menegurnya—pasti dengan kosakata yang sangat
tidak sopan atau menusuk hati—lalu kuputuskan untuk memblokirnya saja. Mudah-mudahan
‘ketidakpedulianku’ kali ini tidak berakibat semakin buruknya dunia ini.
However,
aku sedih banget. Jika masih ada pemuda-pemudi kita yang selugu ini (lugu =
luarrrbiasa guobloknya), mau jadi apa bangsa ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
di sini boleh komen