Beberapa pekan
belakangan ini perhatian di negeri kita sedang disibukkan oleh kabut asap. Bencana?
Iya, bencana. Tapi kalau itu ditetapkan sebagai bencana nasional, saya pribadi
kurang setuju. Tidak perlu status atau kategori apa, kabut asap ya kabut asap.
Mengapa tidak
setuju? Karena saya khawatir tentang perpindahan tanggung jawabnya. Jika kabut
asap itu berasal dari ulah manusia, tidakkah sebaiknya kita tuntut tanggung
jawab si manusia itu?
Kasus penetapan
luapan lumpur di Sidoarjo sebagai bencana nasional mengubah nama aslinya:
lumpur lapindo. Dampaknya, bukannya lapindo yang harus bertanggung jawab, malah
duit negara yang digunakan untuk memberi santunan [atau ganti rugi atau apapun
namanya] kepada para korban. Jika lapindo yang mengebor/menggali hingga ke
sumber lumpur itu, maka dialah yang harus bertanggung jawab. Jika ada
perusahaan yang menyuruh pembakaran lahan, merekalah yang seharusnya
bertanggung jawab dan mendanai segala penanggulangan dampaknya.
Negara
sudah cukup banyak “diporoti” untuk memadamkan api. Jangan bebaskan pihak yang
seharusnya bertanggung jawab dengan menyatakan kabut asap sebagai bencana
nasional.
Dan … entah
berapa kali aku melihat di media sosial dan di media massa, mereka mudah sekali
berkomentar dan menghujat. Saya bukan penggemar Jokowi, dan saya juga berkali-kali
tidak sepaham dengan kebijakan pemerintah. Tapi, menghujat pemerintah atas
bencana kabut asap itu apa gunanya? Apakah hujatan itu bisa mengurangi
kepekatan asap?
Atau,
apakah mereka yang menghujat itu pernah membantu mengurangi atau mencegah
bertambahnya kabut asap yang melanda Kalimantan, sebagian Sumatra dan beberapa negara
tetangga itu?
Beberapa hari
lalu aku bertemu dengan seorang teman yang bekerja di sebuah rumah sakit. Dan tidak
jauh dari tempat kerjanya itu ada lahan (hutan) yang terbakar. Ia bilang, sejumlah
tim pemadam kebakaran memang mendatangi lokasi itu, tetapi 10 buah selang
pemadam yang disambung-sambung tidak berhasil mencapai semua titik api (berapa
panjang satu selang pemadam kebakaran? 30 meter? Lebih.). Beberapa titik tidak
terjangkau karena harus melewati jurang.
Temanku sempat
singgah di tepi jalan terdekat ke lokasi itu. Di sana, jumlah personel tidak
sebanding dengan peralatan yang tersedia—dan api yang ada. Jadi, siapapun yang
mau membantu, tidak hanya dipersilakan melainkan langsung ditunjukkan alat mana
yang bisa dibawa, apa yang harus dilakukan, ke arah mana, dan sebagainya. Yup! Siapapun
bisa merasakan serunya jadi relawan pemadam kebakaran hutan.
Apakah orang-orang
yang menghujat itu pernah berada di sana, di lokasi kebakaran, dan bergabung
membantu para relawan pemadam kebakaran hutan?
Hari ini
aku membaca berita di koran. Ini sedikit kutipannya:
Petugas yang siaga di posko sekitar 15 orang
setiap harinya. Namun saat ada kebakaran, semua relawan selalu siap siaga untuk
terjun ke lapangan memadamkan api.
Ketulusan para relawan dalam ikkut memadamkan api tampak saat mereka melupakan
kepentingan pribadi, yaitu makan dan minum, karena banyaknya titik api yang
harus dipadamkan berturut-turut.
“Mau bagaimana lagi, sementara kita makan dan
minum, api pasti tambah meluas dan kerugian bertambah. Paling kita curi-curi waktu
untuk makan saat berada di atas mobil yang melaju kencang mengejar lokasi
kebakaran,” kata Anuy, anggota BPK Balakar.
…
“Relawan yang turut membantu memadamkan
kebakaran atas dasar kemanusiaan, tanpa imbalan insentif. …”
Anda yang
menghujat, apa yang sudah anda lakukan untuk membantu memadamkan api dan
mengurangi asap kebakaran hutan dan lahan di negeri ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
di sini boleh komen