Memiliki anak
bukan sesuatu yang biasa bagi saya. Karena saya seorang muslim, dan semenjak
kecil saya diberitahu bahwa salah satu pahala yang tak ada putus-putusnya
adalah anak yang shaleh, yang mendoakan kedua orangtuanya, maka saya menganggap
anak sebagai tiket saya untuk kelak ke surga.
Ya, sebaik
apapun saya, bila saya punya anak tetapi tidak mendidiknya dengan baik, dia
akan menggagalkan upaya saya meraih surga. Karena anak adalah tanggung jawab. Menikah
adalah pilihan saya. Berhubungan intim dengan istri adalah pilihan saya. Memiliki anak
adalah konsekuensinya—sekaligus pilihan saya juga. Jadi, bagaimana mungkin bila
anak berbuat kurang baik lalu itu bukan tanggung jawab saya?
Lalu,
bagaimana cara terbaik mendidik anak?
Well, pada
intinya satu hal saja: ajarkan yang baik-baik pada anak.
Masalahnya,
kemampuan anak (verbal, mendengar, fokus, menganalisa, berjalan, melompat,
apapun …) tidak sebaik kita yang sudah dewasa. Kita ngomel-ngomel atau memberi
nasehat sampai berbusa-busa tidak akan memberi banyak hasil.
Yang paling
efektif adalah membiarkannya belajar sendiri. Yup, anak akan mengamati
semampunya, menganalisa semampunya, menirukan semampunya. Kabar buruknya,
sesuatu yang negatif selalu lebih mudah dan lebih cepat dia tirukan.
Jadi, cara
terbaik mendidik anak adalah: jadilah contoh yang baik.
Ketika anak
marah dan ngomel-ngomel, dengarkanlah baik-baik dan ingat-ingatlah siapa orang
di sekitarnya yang ngomel seperti itu.
Ketika anak
pilih-pilih makanan—dan lebih menyukai makanan bergizi buruk—maka ingat-ingatlah
siapa yang sejak kecil biasa memberinya akses pada makanan.
Maaf jika
kalimat-kalimat itu seakan-akan menembak pada sosok ibu. Karena memang—dalam situasi
normal alias ceteris paribus—ibu adalah
madrasah pertama bagi anak. Ibu adalah orang yang paling banyak dan paling intens
berinteraksi dengan anak pada usia emas (usia 0 – 6 tahun).
Tetapi tentu
saja, kalimat-kalimat itu sebenarnya untuk ayah juga. Meskipun “jam tayang”
ayah bersama anak tidak sebanyak ibu, seharusnya ayah juga berperan besar. Tidak
hanya dalam hal menjadi contoh yang baik bagi si anak, tetapi juga dalam “mengendalikan”
materi contoh dari ibu untuk anak—bila diperlukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
di sini boleh komen