Hari bumi?
Tanggal 22 April telah ditetapkan dan diperingati
sebagai hari bumi. Menjelang dan pada tanggal itu, banyak orang berkoar-koar
tentang kerusakan di bumi, tentang kerusakan lingkungan hidup dan fungsinya,
tentang impian akan sebuah planet tempat tinggal yang nyaman. Tidak lupa,
ajakan untuk bersama-sama menyelamatkan bumi—so far, satu-satunya planet yang menampung kita untuk melanjutkan
hidup dan peradaban.
Semoga topik-topik lain juga banyak bergema. Tentang ajakan
menghemat sumber daya. Tentang ajakan menghabistuntaskan makanan yang
diambil/dipesan/dibeli. Tentang menekan produksi sampah. Tentang membuang
sampah pada tempatnya. Tentang bersabar mengantongi dulu sampah sendiri hingga
bertemu tempat sampah. Tentang menanam pohon dan/atau memelihara pohon yang
sudah ada. Tentang menghemat penggunaan styrofoam dan tidak sembarangan
membakarnya.
Memang, pasti banyak koar-koar ajakan untuk menyelamatkan
bumi. Menyelamatkan satu-satunya planet yang masih mau menampung kita. Karena planet
lain—bahkan Mars—masih belum cukup murah untuk dijadikan komplek RSS (rumah
sangat sederhana). Atau, karena jargon “bumi bukan warisan dari nenek moyang
kita, melainkan kita pinjam dari anak cucu kita.”
Tapi, benarkan kita perlu menyelamatkan bumi? Memangnya
kalau ekosistem rusak, bumi menderita apa? Memangnya kalau air laut naik terus
hingga menghabisi daratan, bumi mati kelelep?
Memangnya kalau suhu udara global menaik, bumi jadi ekstra berkeringat dan
ketiaknya bau? Memangnya kalau pohon habis dan hutan berganti rupa menjadi
gurun pasir, bumi jadi meriang panas-dingin? Memangnya kalau air bersih susah
didapat, bumi jadi menderita kehausan dan terpaksa jarang mandi sampai panuan?
Apapun yang manusia lakukan, apapun kerusakan yang
manusia buat, tidak akan mengganggu eksistensi bumi—kecuali jika manusia
meledakkannya menjadi serpihan-serpihan kecil.
Kerusakan apapun yang manusia ciptakan, sebenarnya
hanya mengancam kelangsungan hidup manusia. Jika ekosistem rusak, manusia yang
kesulitan memenuhi kebutuhan pangannya, air bersihnya dan udara segarnya.
Jadi, jargon “menyelamatkan bumi” itu bagi saya serasa
nggak jujur. Yang lebih tepat adalah “menyelamatkan manusia.” Bukan “save our
earth,” tetapi “save ourselves.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
di sini boleh komen