Akhir pekan lalu adalah liburan yang lumayan
panjang—bagi sebagian orang. Sempat melihat ada tayangan di televisi tentang banyaknya
masyarakat yang memanfaatkan long weekend
itu untuk berpiknik. Salah satu indikator yang menunjukkan banyaknya orang yang
berlibur di akhir pekan kemarin adalah kemacetan ekstra di Bandung dan
ruas-ruas jalan dari Jakarta menuju Bogor dan Anyer.
Tapi bukan itu yang paling berkesan dari tayangan
televisi di akhir pekan lalu. Yang jauh lebih berkesan bagiku adalah tayangan
tentang komedian yang sudah seminggu meninggal. Sangat berkesan karena tayangan
tentangnya nggak pernah absen sepanjang pekan kemarin. Kalau sedang
pindah-pindah saluran televisi—di rumah maupun di tempat kerja—selalu saja
ketemu tayangan bertopik itu. Well, jadi sangat berkesan bagiku. Tepatnya,
kesan sangat menjengkelkan. Kalau beberapa waktu lalu sebuah saluran televisi
pernah didominasi oleh tayangan tentang seseorang yang melahirkan bayinya, dan
di hari lain juga tayangan pesta pernikahan seseorang, pekan kemarin bukan satu
saluran televisi yang menayangkan perihal meninggalnya seseorang. Pekan kemarin
ada beberapa stasiun sekaligus yang melakukan hal serupa. (Memangnya saya bisa
bilang apa selain “Betapa menjengkelkan!”?)
Berita meninggalnya komedian lain di akhir pekan
kemarin sama sekali nggak sebanding intensitasnya dibanding berita serupa
tentang komedian yang meninggal seminggu sebelumnya.
Well, jangankan Mpok Nori. Akhir pekan kemarin milyaran
orang di seluruh penjuru planet ini juga memperingati meninggalnya seorang
tokoh super-terkenal. Tapi, seperti yang kita lihat, tayangan televisi kita
tentang tokoh itu tidak seberapa dibanding tayangan tentang si komedian yang
meninggal seminggu lalu.
Biasanya, seberapa intens suatu media menampilkan
suatu isu, itu tergantung dari seberapa pentingnya isu tersebut menurut
media—atau orang-orang yang mendalangi media tersebut. Saya sebut biasanya,
karena ada juga faktor lain yang menentukan intensitas penayangan suatu isu
oleh media. Faktor lain itu secara singkat saja saya sebut uang: siapa bayar
[lebih], dia bisa tentukan isi tayangan.
Acak saja tanya orang, di saluran televisi mana dia
melihat Olga. Bukan hanya satu. Itupun di acara-acara yang lumayan digemari
alias rating tinggi—terlepas dari berguna tidaknya tayangan itu untuk hal-hal muluk-muluk
semacam pencerdasan bangsa atau pembangunan akhlak bangsa. Olga itu
mendatangkan penonton. Penonton itu mendatangkan iklan. Iklan itu datangnya
bawa duit. Sederhana, kan?
Sedangkan tokoh satunya, maksud saya yang bukan
komedian, yang kematiannya juga diperingati di akhir pekan lalu, pengaruhnya
tidak terlalu signifikan ke televisi—mungkin terkecuali saluran-saluran
tertentu yang khalayaknya cukup spesifik. Televisi yang maunya meraup khalayak
seluas-luasnya, sebisa mungkin menyasar semua kalangan, mungkin tidak mendapat
profit yang signifikan dari mengekspos tokoh yang satu ini, yang kematiannya
diperingati oleh milyaran orang di seluruh dunia.
Padahal, si Olga itu seberapa terkenal dan
berpengaruhnya sih dibanding Jesus?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
di sini boleh komen