Saya bukan
penggemar sepakbola. Hanya pernah sesekali selintas-lalu mendengar kalimat dari
speaker tipi atau melihat judul berita di koran atau di situs entah-apa tentang
sepakbola. Tepatnya, tentang dibekukannya PSSI
dan berhentinya liga sepakbola negeri ini, tentang ngototnya Sepp Blatter untuk
nggak mundur dari pencalonan presiden FIFA, dan juga tentang mundurnya si Sepp
setelah terpilih.
Saya bukan
warga yang terlalu peduli dengan nasib sepakbola, tetapi sekadar kasihan kepada
para pemain yang nggak bisa bekerja selain bermain sepakbola. Saya kasihan
mereka menjadi pengangguran.
Saya bukan
orang yang paham organisasi sepakbola, tetapi sekadar tebersit ‘tuduhan’ pribadi
saya kepada si presiden. Menjelang—hingga beberapa hari sebelum—pemilihan presiden
FIFA, ada pihak-pihak yang memintanya untuk mundur. Mungkin bukan sekadar
meminta, tetapi sudah sampai menuntut. Kabarnya, banyak korupsi di dalam
organisasi sepakbola level planet itu.
Sependek yang
saya tahu, saat itu Sepp menolak untuk mundur dari status kandidat. Penolakan itu
bahkan mengandung penekanan, alias ada nada intensif dalam penolakan itu.
Lha kok
setelah terpilih, hanya beberapa hari setelah terpilih, tahu-tahu dengar kabar
dia mengundurkan diri? Merasa nggak mendapat dukungan, katanya.
Nah, itulah
yang membuat saya berkomentar, “Ngajak nggak enak nih si Sepp.” Lha kalau
memang mau mundur, kenapa nggak sebelum terpilih? Apa dia tengsin kalau saat
itu mundur? Tengsin kalau dikatakan mundur karena tuntutan para haters? Kalau dia mundur setelah
terpilih, kan jadi merepotkan orang untuk memilih presiden lagi. Memilihnya pun
harus pakai kongres, jadi harus bikin kongres lagi. Kalaua dalam istilah negeri
kita, namanya kongres luar biasa.
Well, saya
bukan penggemar sepakbola. Bukan pula pemerhati sepakbola. Tidak pula paham
organisasi sepakbola. Bahkan, tidak pernah menonton siaran pertandingan
sepakbola dari menit nol sampai 90 kecuali beberapa pertandingan final Piala
Dunia.
Mendengar kabar
Sepp mengundurkan diri setelah beberapa hari saja terpilih, saya hanya teringat
pada tindakan pak Harto pada suatu Kamis pagi 17 tahun lalu. Saat itu,
pengunduran diri sang presiden diartikan sebagai kemenangan perjuangan para
reformis. Tapi sampai sekarang tidak banyak yang bilang bahwa negeri ini lebih
baik dibanding sebelum momen pengunduran diri itu.
Hanya saja,
kita harus sadar dan jujur, jika saat itu sang presiden tidak mengundurkan
diri, belum tentu kita bebas menuliskan opini pribadi, apalagi mengata-ngatai
rezim seperti yang sehari-hari kita lakukan sejak awal abad ini.
Semoga nasib
FIFA tidak seperti Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
di sini boleh komen