Tulisan ini kutulis sesaat setelah menonton siaran
langsung MotoGP dari sirkuit Assen, Belanda. Sekali ini Valentino Rossi start
dari pole. Tidak kurang dari 18 lap berikutnya ia bertahan dari tekanan pebalap
muda luar biasa, Marc Marques. Vale membuat kesalahan ketika balapan menyisakan
7 (atau 6?) lap untuk ditempuh. Marc berhasil memanfaatkan momen kesalahan
seniornya itu untuk mengambil alih pimpinan lomba.
Tetapi, semua orang juga tahu kalau Vale adalah
maestro dalam hal menyalip di tikungan. Di semua tikungan yang pernah digunakan
untuk balapan. Mungkin gelar the doctor
(il dottore) yang media sandangkan
padanya itu juga untuk bidang menyalip di tikungan.
Nggak lama-lama juga Marc bisa menjaga Vale
di belakangnya. Kecolongan di tiga lap menjelang finish jelas bukan hal yang
tidak membuat gusar, kan? Tapi Marc memang bukan pebalap yang suka main aman.
Pokoknya, sebelum janur melengkung … eh, sebelum garis finish terlindas,
kompetisi tetap berlangsung—dan perjuangan wajib dijalankan, kalau perlu hingga
melampaui titik maksimum. Dan di chicane terakhir—yang hanya sepelemparan batu
dari garis finish—Marc menyusup ke sisi dalam untuk memasuki chicane tersebut. Vale
tampaknya tidak ingin mengubah racing line yang sudah dia incar. Hasilnya, keduanya
sempat bersentuhan. Sentuhan yang membuat tunggangan Marc goyah, sedangkan Vale
terpaksa keluar dari aspal. Tapi, begitu Vale menapak ke aspal lagi, posisinya
masih di depan Marc yang belum bisa tancap gas lagi karena harus menstabilkan
tunggangannya sembari menyelesaikan tikungan chicane itu.
Tapi, saya ingin melihat hal lain tentang Assen. Seri
MotoGP di negeri meneer ini adalah seri yang tak pernah absen sejak balapan
jenis ini ada di planet kita. Sejak bernama GP500 sampai bermutasi jadi MotoGP,
Assen selalu menjadi salah satu seri paling menarik di setiap musim balapan.
Salah satu kemenarikannya terceritakan di paragraf berikutnya.
Tentang sirkuitnya, ini sirkuit yang dirancang untuk
balapan motor. Tidak seperti sirkuit-sirkuit lain yang digunakan MotoGP yang
biasa dipakai juga untuk balapan formula one atau balapan mobil lainnya. Assen
tidak pernah dirancang atau direncanakan untuk balapan selain sepeda motor.
Boleh dibilang, sirkuit Assen adalah sirkuit yang tidak memberi kesempatan
kepada para pebalap untuk bernapas longgar sedetikpun. Assen tidak memiliki
trek lurus yang cukup panjang untuk bisa pamer kekuatan mesin pacuan. Top gear
motor-motor MotoGP jarang-jarang terpakai di sana karena motor sudah keburu
sampai di tikungan lagi. Dari sudut pandang penonton, balapan di Assen jadi
seru banget. Makin asiknya, jenis tikungan di Assen itu komplit banget, dari
tikungan pelan, sedang, cepat sampai tikungan beruntun, ada semua.
Yang unik juga dari sirkuit Assen adalah jumlah
tikungannya yang tidak berimbang antara ke kanan dan ke kiri. Tikungan ke kanan
hampir dua kali lipat dibanding tikungan ke kiri. Kalau balapan jaman dulu,
pebalap harus pintar-pintar menggunakan ban—sambil menerima konsekuensi bannya
‘habis’ sebelah. Terutama ban belakang. Sekarang? Masih begitu sih, hanya saja
mungkin tidak seberat jaman dulu, karena produsen ban sekarang mau saja bikin
ban khusus untuk dipakai di balapan di Assen.
Waktu balapan di Assen juga lain dari yang lain. Di
mana-mana balapan dihelat di hari Minggu, tapi di Assen balapannya hari Sabtu.
Dengar-dengar, dulu sewaktu balapan mau diadakan di sana, para pendeta meminta
balapannya jangan pada hari Minggu supaya tidak mengganggu orang yang mau ke
gereja. Entah sampai kapan ada pendeta yang konsisten meminta itu kepada
penyelenggara, tapi tradisi balapan di hari Sabtu itu terus berjalan—walau anda
boleh saja bertanya-tanya soal tingkat kerelijiusan orang Belanda.
Kasus hari balapan MotoGP di Assen mungkin adalah
sebuah simbol pengutamaan urusan agama atau ibadah di atas urusan ramai-ramaian,
pertunjukan olahraga, komersil atau apapun yang terkait balapan roda dua paling
bergengsi sedunia itu.
Sayangnya, tradisi balapan di hari Sabtu itu akan
segera diakhiri. Sudah ada berita tentang balapan di Assen tahun 2016 dan
selanjutnya akan digelar di hari Minggu, seperti di tempat-tempat lain. Alasan
yang sudah dikemukakan semata-mata urusan komersil, yaitu bahwa balapan di hari
Minggu lebih mudah mendapatkan perhatian dan penonton dibanding pada hari
Sabtu.
Apakah para pendeta (Kristen) tidak lagi meminta
balapannya jangan di hari Minggu? Atau, karena kalangan Yahudi keberatan
balapan digelar di hari sabat mereka? (FYI: hari sabat itu hari ibadah. Hari
Sabtu bagi Yahudi itu setara hari Minggu bagi Kristen dan Jumat bagi Islam.)
Halah! Lha kok sampai ke konspirasi wahyudi segala? Wikikkikkik …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
di sini boleh komen