Sudah menjadi kebiasaan orang di mana-mana, setiap
event besar menggunakan maskot untuk publikasinya. Walopun gak harus binatang,
tapi memang banyak yang mengamanahkan binatang jadi maskot. Ayam jago pernah
jadi maskot Piala Dunia 1998 di Perancis. Trenggiling dapat giliran di Brazil. Bekantan
jadi maskot Dufan di Ancol. Ikan lumba-lumba dan orangutan jadi maskot
sekaligus presenter di acara tipi siang-siang. Tikus juga jadi maskot antagonis
di kalangan aktivis dan pendukung gerakan anti-korupsi.
Di Kalsel, sebagian orang protes kalau bekantan—primata
yang asli berasal dari Pulau Kalimantan—dijadikan maskot pilkada (pemilihan
kepala daerah). Alasannya ada beberapa. Misalnya, di dunia teater, bekantan biasa
‘digunakan’ sebagai sosok tokoh berkarakter curang atau culas, dan munafik. Alasan
lain pun memperkuat, (sekali lagi, ini menurut beberapa orang yang concern di bidang kesenian, entah penilaian ini berlaku di dunia seni, teater atau di alam betulan) yaitu karakter bekantan dinilai sulit
dipercaya dan selalu memusuhi orang yang bukan anggota keluarga atau kelompoknya.
Dufan mungkin tidak pernah mengenal dunia teater di
Kalsel sehingga tenang-tenang saja menggunakannya sebagai maskot. Seperti halnya
Disney yang dengan cuek menggunakan tikus sebagai tokoh berkarakter ceria,
penyabar dan jauh dari kesan trouble-maker. Mereka jalan terus saja walaupun di jaman kini tikus banyak dipakai untuk menggambarkan koruptor. Dan mereka berhasil. Mickey memang
tikus, tapi siapa di dunia ini yang membencinya?
Ketidaktahuan—dan sesekali sikap tidak mempersoalkan—kadang
memang menjadikan hidup lebih nyaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
di sini boleh komen