Nenek Asyani
diproses hukum komplet banget gara-gara menebang dan menjual pohon yang diklaim
oleh perhutani. Si nenek sih tahunya pohon itu ada di atas tanah dia sendiri. Sebelum
ke pengadilan, pernah ada seseorang (sebut saja oknum) yang menawari si nenek
alternatif menghindari pengadilan. Caranya, si nenek memberi oknum itu sejumlah
uang. Empat atau lima juta, gitu. Dari tampangnya saja jelas-jelas si nenek
bukan tipe orang yang punya duit sebanyak itu.
Pernah juga
seorang nenek lain harus berlelah-lelah menjalani proses pengadilan gara-gara
mengambil tiga buah kakao yang memang bukan miliknya. Nenek yang ini cukup
miskin untuk sekadar memenuhi kebutuhan pangannya pada garis standar umum.
Pernah juga
seorang PNS bernama Gayus
mengambil likuran milyar rupiah uang
yang bukan miliknya. Apa vonis hukumannya? Kurungan berapa tahun? Dua belas? Tiga puluh, itu totalnya untuk beberapa tindak kriminal yang dituduhkan kepadanya. Well, berapapun lama kurungan yang divoniskan, toh sempat dipotong masa tahanan,
dan sambil jalan-jalan entah ke mana, baik untuk piknik maupun untuk nonton
pertandingan tenis.
Dari
sejumlah orang yang kujumpai, kebanyakan berpendapat hukum berlaku tidak
adil—pada kasus-kasus tersebut. Sebagian lainnya tidak menyatakan pendapatnya
karena saya tidak bertanya, atau kami memang sedang tidak mengungkit-ungkit
topik itu.
Tentang
hukum yang terasa berbeda-beda itu, saya hanya punya satu keyakinan: semua
orang tahu di fakultas hukum tidak ada mata kuliah matematika. Kalau pencuri
tiga buah kakao atau apapun, misalnya senilai 100 ribu rupiah bisa dijatuhi hukuman
penjara selama satu tahun, bukan berarti yang mencuri 25 milyar rupiah harus
divonis 250.000 tahun penjara.
Mungkin
hukum memandang setiap orang itu unik. Setiap terdakwa kriminal itu unik,
sehingga vonisnya nggak harus sama. Mungkin hukum memandang vonis memang bukan
untuk dibanding-bandingkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
di sini boleh komen