Buletin? Ya, ada kata ‘buletin’ di kalimat terakhir
postingan saya kemarin.
Ide tentang buletin itu sudah terkonsep dalam benak
saya sejak pertengahan 2013. Latar belakang atau fenomena yang mendorong saya adalah
kemampuan rendah dalam berbahasa Indonesia warga dan anak-anak muda di sekitar
tempat tinggal saya. Pernah terjadi beberapa tahun lalu, ketidaklulusan siswa
level SMP dan SLTA di daerah saya
sebagian besarnya karena nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia di bawah
standar.
Bagi saya pribadi, fenomena itu lumayan aneh. Karena,
sewaktu saya sekolah dulu, pelajaran Bahasa Indonesia itu sama sekali bukan momok.
Kalau esok pagi ulangan atau tes ujian mata pelajaran Bahasa Indonesia, artinya
malam ini saya—dan kebanyakan teman saya—tidak merasa harus menambah durasi
belajar. Beda halnya jika esok ujian Matematika, atau Biologi, atau Tata
Negara. Rasanya, kemampuan berbahasa Indonesia itu sudah melekat saja, sudah
sehari-hari terpraktekkan, sehingga tidak perlu begadang seperti halnya
menghadapi ulangan atau ujian mata pelajaran lain. (Maafkan kami, wahai para
guru Bahasa Indonesia, kami sama sekali tidak bermaksud menyepelekan pelajaran
dari anda sekalian.)
Karena berminat dan pernah berteman dengan orang-orang
yang secara mandiri bergerak menyebarluaskan kesadaran kewaspadaan terhadap
HIV/AIDS, buletin itu kukonsep untuk concern pada dua hal: kewaspadaan terhadap
HIV/AIDS, dan anti-narkoba.
Bentuknya sederhana, seperti buletin yang biasa
digratiskan di masjid-masjid tiap hari Jumat, satu warna saja, tanpa gambar—kecuali
grafik atau data bila diperlukan. Selembar dilipat begitu? Maunya sih dua
lembar. Jadi ada 8 halaman setiap edisinya. Pembagian halaman dan rubrik-rubriknya,
layout-nya, nama, banner dan logo buletin, semua sudah pernah kubuat. Dummy siap
dicetak.
Niatnya, saya ingin para pelajar di daerah saya
mempunyai bahan bacaan yang baik, bermanfaat, yang terbit secara rutin tiap
bulan atau tiap dua minggu, concern di anti-narkoba dan kewaspadaan terhadap
HIV/AIDS, bisa mereka dapatkan secara gratis dan teratur. Dari kalkulasi, saya
pribadi sebenarnya bisa saja mendanai sendiri untuk mencetak barang 1.000 – 2.000
eksemplar setiap bulannya. Tidak sulit juga rasanya untuk membuat kontennya. Tapi
jika itu saya lakukan, mungkin akan banyak waktu dan dana yang harus terlepas
dari dominasi anak saya. Lagian, bisa-bisa saya dikira akan mencalonkan diri
sebagai bupati. Hahaha ….
Pernah kutawarkan konsep itu ke teman di divisi
pencegahan BNN (Badan Narkotika
Nasional) terdekat. Itu akhir 2013 lalu, dan belum ada jawaban sampai sekarang.
Mungkin mereka lebih suka berkunjung ke sekolah-sekolah untuk mengajak para
remaja menjauhi narkoba. Sambil sesekali pasang baliho atau spanduk. Entah berapa
kali mereka bisa berkunjung ke sekolah yang sama dalam satu tahun. Atau berapa
banyak pesan yang dapat mereka sampaikan via baliho atau spanduk dalam setahun.
I think, jangkauan buletin gratisan yang kugagas lebih luas, dan rangkaian
pesan yang menyerbu mereka secara reguler tiap bulan atau tiap dua minggu akan lebih
intensif membentuk karakter anti-narkoba dalam diri mereka. Juga membentuk
kewaspadaan yang lebih mendarah daging terhadap HIV/AIDS. Saya tidak tahu
pendapat mereka tentang gagasan ini.
Sasaran lain adalah dinas kesehatan dan dinas
pendidikan. Atau KPA (Komisi
Penanggulangan AIDS). Sudah kutembak? Belum.
Lalu, apa hubungannya dengan kemampuan rendah
berbahasa Indonesia?
Saya kira, kemampuan berbahasa Indonesia itu
berbanding lurus dengan kebiasaan membaca. Buletin ini bukan hanya media
kampanye anti-narkoba dan kewaspadaan terhadap HIV/AIDS, tetapi juga media
untuk membangun budaya membaca, membangun kemampuan berbahasa Indonesia, bahkan
jelas-jelas saya maksudkan sebagai tempat untuk belajar menulis.
Iya, keinginan saya, para pelajar dan remaja harus
dipancing untuk aktif menulis dan mengirimkan artikel untuk dimuat di buletin
ini. Singkatnya, supaya kelak para pelajarlah yang menulis konten buletin tersebut.
Untuk mendukung hal ini, saya meminta kepada sponsor untuk menyediakan hadiah—terutama berupa kaos T-shirt—sebagai hadiah. T-shirt itu juga harus menjadi media kampanye; T-shirt harus bergrafis menarik, atau bahkan mencolok, misalnya dengan sablonan tulisan semacam ini:
Untuk mendukung hal ini, saya meminta kepada sponsor untuk menyediakan hadiah—terutama berupa kaos T-shirt—sebagai hadiah. T-shirt itu juga harus menjadi media kampanye; T-shirt harus bergrafis menarik, atau bahkan mencolok, misalnya dengan sablonan tulisan semacam ini:
- “Pakai narkoba? Cemen!”
- “Jauhi HIV, dekati ODHA”
- “Mau mati sengsara? Pakai narkoba!”
- "Narkoba = cara cepat untuk jadi bodoh."
Well, ada yang berminat mendanai? Atau minat
bergabung? Siap-siap saja dulu. Kalau ada sponsor, kita racuni para remaja
dengan racun anti-narkoba dan racun kewaspadaan terhadap HIV/AIDS. Mareee …!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
di sini boleh komen