Hari Selasa lalu, seorang teman merasa heran karena
ternyata betis saya lembek, tidak terkesan berotot. Karena menurutnya, orang
yang tiap hari bersepeda—apalagi rute saya naik turun walau tidak securam rute Ninja
Hatori—betisnya pasti keras kayak betis atlet. Atau, minimal seperti betis orang
yang sedang butuh pijat karena kecapekan.
Teman saya itu punya sebuah sepeda lipat tetapi tidak
banyak digunakan dalam aktivitas sehari-hari. Jangankan ke kantor, untuk
mengantar anak sekolah saja tidak. Ngakunya, kalau bersepeda dia merasa sudah
mengayuh dengan cepat tapi lajunya tidak seberapa. Apalagi kalau di tanjakan,
tenaga serasa sudah habis dikerahkan tetapi sepeda tidak lekas menyelesaikan
tanjakan itu. Sedangkan dia melihat kayuhanku tetap santai di tanjakan-tanjakan.
Well, di situ kadang saya merasa sedih. Eh …, maksud
saya, tidak setiap pemilik sepeda paham dengan karakter sepedanya. Misalnya,
kalau diameter roda berbeda ukuran, tentu saja dengan jumlah putaran kayuhan
yang sama, diameter yang besar menempuh jarak lebih jauh. Dengan sepeda
hibritku, contohnya, aku hanya perlu 100 kayuhan untuk melewati sebuah tanjakan.
Dengan sepeda beroda 16 inchi, mungkin perlu 250 putaran kayuhan untuk jarak,
arah dan tanjakan yang sama. Artinya, kalau menggunakan sepeda lipat atau
sepeda-sepeda lain yang berdiameter roda lebih kecil, kenapa maunya menandingi
sepeda hibrit di jalan aspal? Sepeda gunung saja harus kerja keras untuk itu. (Biasanya,
diameter roda sepeda gunung maksimal 26”, sedangkan sepeda hibrit 28”.)
Saya belum ingin memberi pelajaran tentang bersepeda
sekarang. Yang ingin saya ungkapkan di sini adalah, betapa sulitnya memberi
penjelasan kepada orang yang minder duluan sebelum benar-benar bersepeda dengan
teknik yang benar. Mereka yang berpikir bahwa bersepeda itu melelahkan, atau
mereka yang sudah telanjur pernah kelelahan bersepeda—karena tekniknya keliru. Saya
selalu merasa harus pilih-pilih kata yang tepat supaya mereka tidak makin
minder. Juga, harus mengatakan dengan sedemikian rupa sehingga tidak terkesan
seperti sok tahu. Sebenarnya akan lebih mudah kalau mengajari mereka sambil
praktek. Tapi menemukan waktu untuk gowes bersama-sama itu tidak begitu mudah. Bahkan,
ketika waktunya ditemukan pun belum tentu kemauan itu benar-benar ada.
Iya, kadang saya nggak habis pikir tentang sebagian
orang yang mempunya sepeda. Dulunya niat banget beli sepeda kok jarang dipakai.
Mereka beli sepeda buat apa, sih? Buat disedekahkan kepada laba-laba untuk
dijadikan komplek perumahan? Atau, dimaksudkan untuk jadi media menumbuhkan
jamur untuk dipepes, mungkin?
Yang nggak kalah begonya, mereka membeli sepeda dengan
7 – 9 gear di belakang, tetapi menyerah kalau harus menanjak. Lha sebegitu
banyaknya gear yang menempel di as roda belakang itu sebelumnya ditebus dari
toko mau buat apa ya?
Kalau soal keheranan saya pada para pemilik dan
orang-orang yang jiper duluan sebelum bersepeda, disambung lain kali saja, deh.
Lagi nggak sempat, neh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
di sini boleh komen