(2025-05-23)
(iya, ini kutulis pada 2025-05-23, dan tidak langsung kuposting. Jadi, daripada gak posting, mending ku posting walau terlambat; hitung-hitung menyimpannya di blog ini.)
___
Isu ijazah jokowi menang telak: membuat banyak media mengangkatnya sehingga menyingkirkan berita-berita tentang korupsi di pertamina, korupsi di perusahaan timah, akal-akalan peraturan perundang-undangan, krisis keuangan negara tapi justru memaksakan program yang seharusnya bukan kerjaan negara, dan sebagainya. Publik dibawa bersibuk dengan wacana keraguan terhadap keaslian ijazah si mantan presiden—yang pernah membutakan ratusan juta rakyat Indonesia dengan ilusi kesederhaan, kemudian membuat ratusan juta pasang mata terbelalak dan kegledhak ketika mewariskan banyak jabatan kepada anak-anak dan familinya itu.
Roy Suryo cs bukanlah orang-orang pertama yang mempertanyakan keaslian ijazah jokowi. Sebelumnya, di 2022, seseorang bernama Bambang Tri pernah melakukannya. Dan berujung dipenjara. Tanpa secuilpun si jokowi menunjukkan ijazahnya kepada publik. Seperti biasa, dia hanya meng-counter tuduhan itu dengan omongan. Jujur saja, aku memang sudah sejak 2012 (saat dia berbaju kotak-kotak) tidak mempercayai omongannya; dalam pilpres 2014 dan 2019 aku memberikan suaraku untuk lawannya. Sepertinya Prabowo bukan hanya keliru sasaran saat menciptakan kosakata omon-omon tahun kemarin itu, tetapi juga jauh lambat; orang yang sangat tepat menyandang predikat omon-omon itu sudah muncul di hadapan publik sejak 2012.
Dan melihat perkembangannya yang berlarut-larut, sangat sulit untuk mengatakan bahwa keberlarut-larutan itu tidak disengaja. Itu bahkan seperti dirancang dengan sangat teliti. Aku bahkan sempat berkhayal bahwa Roy Suryo sebenarnya berada di pihak jokowi, hanya saja kebagian peran sebagai penggugat. Seperti halnya seorang bocah yang sama sekali tidak dikenal oleh publik bangsa ini yang tiba-tiba mengajukan gugatan ke MK terkait aturan tentang usia minimum bagi calon presiden dan calon wakil presiden. Gugatan yang responnya kemudian membuat MK bukan lagi Mahkamah Konstitusi, tapi bertransformasi menjadi Mahkamah Koplak. Aku sempat berkhayal Roy Suryo berperan seperti itu. Hanya saja, karena dia adalah seorang public figure yang dikenal publik di level nasional, dan punya track record yang lebih dikenal oleh publik, maka risikonya jauh lebih besar daripada si bocah yang bukan siapa-siapa tadi itu. Siapa tahu bayarannya lebih besar, atau sekadar lebih dari cukup untuk menambah dan merawat koleksi mercy-nya. Itu khayalanku.
Terlepas dari khayalanku itu, pembodohan dan tipu-daya yang sangat kentara [bodohnya] dipertunjukkan dengan sangat jelas oleh para elit bangsa…t dalam kasus tuduhan terhadap ijazah itu. Orang paling bodoh pun tahu masalah itu bisa diselesaikan dengan sangat mudah, sangat murah, sangat cepat dan semudah membalikkan telapak tangan, yaitu dengan jokowi menunjukkan kepada publik ijazahnya yang dituduh palsu itu. Syaratnya hanya dua, tapi memang lumayan berat: (1) dia memang mau masalah ini cepat selesai dan tidak menyita perhatian publik dari masalah-masalah yang lebih besar dari bangsa ini, dan (2) dia memang punya ijazah yang asli.
Pekan terakhir Mei 2025 aku melihat di televisi berita tentang bareskrim yang mempublikasikan temuan-temuan hasil penyelidikannya terkait kasus tuduhan itu. Tapi jujur saja, secara pribadi, aku menganggap analisis-analisis bareskrim itu lebih kepada pembuktian bahwa jokowi pernah kuliah di Fakultas Kehutanan UGM. Dan sama sekali tidak menuju pada pembuktian ijazahnya asli atau tidak. Iya, bahkan bareskrim pun jadi sebodoh itu [ketika membela jokowi]. Dan mungkin, bagian paling bodohnya adalah bareskrim menyampaikan segala hasil analisa itu tanpa sedetikpun menunjukkan kepada publik lembar fisik ijazah yang—katanya—diselidiki di laboratorium forensik atau apa itu.
Aku tahu akalku tidak seberapa cerdas. Tapi terkadang sangat sulit untuk mengabaikannya dan memilih untuk lebih mempercayai informasi-informasi yang tidak relevan satu sama lain sebagai satu kesatuan.
Aku juga tidak percaya pada pihak UGM ketika—membaca berita bahwa mereka—memberi pernyataan bahwa ijazah jokowi itu asli. Bukan karena aku tidak percaya pada UGM, tapi aku tidak melihat sedikit pun informasi yang menyatakan bahwa pihak jokowi meminjamkan ijazahnya kepada pihak UGM untuk diteliti dan dicermati. Kalau pihak UGM tidak pernah memegang lembar fisik ijazah yang dituduh palsu itu, selama ada tuduhan itu, bagaimana bisa mereka menyatakan ijazah itu asli atau palsu? Lebih masuk akal kalau UGM—setelah memeriksa arsip-arsipnya—cukup menyatakan pernah atau tidak pernah menerbitkan ijazah atas nama si fulan, dan kalau pernah, menerbitkannya pada tanggal sekian tahun sekian.
Karena tidak semua yang pernah kuliah di UGM itu lulus dan punya ijazah. Bahkan, tidak semua yang lulus dari UGM itu kini masih punya ijazah. Ada yang ijazahnya dibakar (betulan, aku bisa sebutkan nama orangnya dan dari jurusan mana dia lulus). Mungkin ada juga yang ijazahnya hilang dan tidak dimintakan ijazah pengganti ataupun surat keterangan pengganti ijazah.
Dan ingat: tuduhannya itu ijazahnya palsu. Tuduhannya bukan jokowi tidak pernah kuliah di UGM. Tuduhannya bukan jokowi berbohong soal jurusan yang dia ambil atau siapa dosen pembimbingnya. Tuduhannya itu ijazahnya palsu. Lebih tepatnya, tuduhannya itu bahwa ijazah atas nama Joko Widodo yang fotonya beredar di internet—yang kabarnya pertama kali diunggah oleh seseorang bernama Sandi—itu palsu.