Jumat, 18 Juli 2025

Membodohi Masyarakat dengan Cara Bodoh

 (2025-05-23)

(iya, ini kutulis pada 2025-05-23, dan tidak langsung kuposting. Jadi, daripada gak posting, mending ku posting walau terlambat; hitung-hitung menyimpannya di blog ini.)

___

 

Isu ijazah jokowi menang telak: membuat banyak media mengangkatnya sehingga menyingkirkan berita-berita tentang korupsi di pertamina, korupsi di perusahaan timah, akal-akalan peraturan perundang-undangan, krisis keuangan negara tapi justru memaksakan program yang seharusnya bukan kerjaan negara, dan sebagainya. Publik dibawa bersibuk dengan wacana keraguan terhadap keaslian ijazah si mantan presiden—yang pernah membutakan ratusan juta rakyat Indonesia dengan ilusi kesederhaan, kemudian membuat ratusan juta pasang mata terbelalak dan kegledhak ketika mewariskan banyak jabatan kepada anak-anak dan familinya itu.

Roy Suryo cs bukanlah orang-orang pertama yang mempertanyakan keaslian ijazah jokowi. Sebelumnya, di 2022, seseorang bernama Bambang Tri pernah melakukannya. Dan berujung dipenjara. Tanpa secuilpun si jokowi menunjukkan ijazahnya kepada publik. Seperti biasa, dia hanya meng-counter tuduhan itu dengan omongan. Jujur saja, aku memang sudah sejak 2012 (saat dia berbaju kotak-kotak) tidak mempercayai omongannya; dalam pilpres 2014 dan 2019 aku memberikan suaraku untuk lawannya. Sepertinya Prabowo bukan hanya keliru sasaran saat menciptakan kosakata omon-omon tahun kemarin itu, tetapi juga jauh lambat; orang yang sangat tepat menyandang predikat omon-omon itu sudah muncul di hadapan publik sejak 2012.

Dan melihat perkembangannya yang berlarut-larut, sangat sulit untuk mengatakan bahwa keberlarut-larutan itu tidak disengaja. Itu bahkan seperti dirancang dengan sangat teliti. Aku bahkan sempat berkhayal bahwa Roy Suryo sebenarnya berada di pihak jokowi, hanya saja kebagian peran sebagai penggugat. Seperti halnya seorang bocah yang sama sekali tidak dikenal oleh publik bangsa ini yang tiba-tiba mengajukan gugatan ke MK terkait aturan tentang usia minimum bagi calon presiden dan calon wakil presiden. Gugatan yang responnya kemudian membuat MK bukan lagi Mahkamah Konstitusi, tapi bertransformasi menjadi Mahkamah Koplak. Aku sempat berkhayal Roy Suryo berperan seperti itu. Hanya saja, karena dia adalah seorang public figure yang dikenal publik di level nasional, dan punya track record yang lebih dikenal oleh publik, maka risikonya jauh lebih besar daripada si bocah yang bukan siapa-siapa tadi itu. Siapa tahu bayarannya lebih besar, atau sekadar lebih dari cukup untuk menambah dan merawat koleksi mercy-nya. Itu khayalanku.

Terlepas dari khayalanku itu, pembodohan dan tipu-daya yang sangat kentara [bodohnya] dipertunjukkan dengan sangat jelas oleh para elit bangsa…t dalam kasus tuduhan terhadap ijazah itu. Orang paling bodoh pun tahu masalah itu bisa diselesaikan dengan sangat mudah, sangat murah, sangat cepat dan semudah membalikkan telapak tangan, yaitu dengan jokowi menunjukkan kepada publik ijazahnya yang dituduh palsu itu. Syaratnya hanya dua, tapi memang lumayan berat: (1) dia memang mau masalah ini cepat selesai dan tidak menyita perhatian publik dari masalah-masalah yang lebih besar dari bangsa ini, dan (2) dia memang punya ijazah yang asli.

Pekan terakhir Mei 2025 aku melihat di televisi berita tentang bareskrim yang mempublikasikan temuan-temuan hasil penyelidikannya terkait kasus tuduhan itu. Tapi jujur saja, secara pribadi, aku menganggap analisis-analisis bareskrim itu lebih kepada pembuktian bahwa jokowi pernah kuliah di Fakultas Kehutanan UGM. Dan sama sekali tidak menuju pada pembuktian ijazahnya asli atau tidak. Iya, bahkan bareskrim pun jadi sebodoh itu [ketika membela jokowi]. Dan mungkin, bagian paling bodohnya adalah bareskrim menyampaikan segala hasil analisa itu tanpa sedetikpun menunjukkan kepada publik lembar fisik ijazah yang—katanya—diselidiki di laboratorium forensik atau apa itu.

Aku tahu akalku tidak seberapa cerdas. Tapi terkadang sangat sulit untuk mengabaikannya dan memilih untuk lebih mempercayai informasi-informasi yang tidak relevan satu sama lain sebagai satu kesatuan.

Aku juga tidak percaya pada pihak UGM ketika—membaca berita bahwa mereka—memberi pernyataan bahwa ijazah jokowi itu asli. Bukan karena aku tidak percaya pada UGM, tapi aku tidak melihat sedikit pun informasi yang menyatakan bahwa pihak jokowi meminjamkan ijazahnya kepada pihak UGM untuk diteliti dan dicermati. Kalau pihak UGM tidak pernah memegang lembar fisik ijazah yang dituduh palsu itu, selama ada tuduhan itu, bagaimana bisa mereka menyatakan ijazah itu asli atau palsu? Lebih masuk akal kalau UGM—setelah memeriksa arsip-arsipnya—cukup menyatakan pernah atau tidak pernah menerbitkan ijazah atas nama si fulan, dan kalau pernah, menerbitkannya pada tanggal sekian tahun sekian.

Karena tidak semua yang pernah kuliah di UGM itu lulus dan punya ijazah. Bahkan, tidak semua yang lulus dari UGM itu kini masih punya ijazah. Ada yang ijazahnya dibakar (betulan, aku bisa sebutkan nama orangnya dan dari jurusan mana dia lulus). Mungkin ada juga yang ijazahnya hilang dan tidak dimintakan ijazah pengganti ataupun surat keterangan pengganti ijazah.

Dan ingat: tuduhannya itu ijazahnya palsu. Tuduhannya bukan jokowi tidak pernah kuliah di UGM. Tuduhannya bukan jokowi berbohong soal jurusan yang dia ambil atau siapa dosen pembimbingnya. Tuduhannya itu ijazahnya palsu. Lebih tepatnya, tuduhannya itu bahwa ijazah atas nama Joko Widodo yang fotonya beredar di internet—yang kabarnya pertama kali diunggah oleh seseorang bernama Sandi—itu palsu.

Rabu, 08 November 2023

From The River To The Sea itu Wilayah Negara Palestina

Nusantara abad 15 terdiri dari beberapa negara (berbentuk kerajaan). Belanda datang: awalnya untuk berdagang, lama-lama ingin berkuasa. Awalnya perusahaan dagang (VOC) dengan barisan centeng terorganisir. Lalu diganti dengan pemerintahan sebagai perpanjangan tangan pemerintah Belanda. Yang cabang Nusantara ini diberi nama tersendiri: Oost Indische (dalam buku sejarah kita: Hindia Belanda). Memiliki barisan/kekuatan militer. Sampai masuk abad 20.

Sepanjang beberapa abad itu, jika sekumpulan warga asli Nusantara menyerang kantor/fasilitas Hindia Belanda, apakah kita menyebut mereka terroris? Apakah kita menyalahkan mereka? Apakah kita membenarkan tindakan Hindia Belanda menumpas perlawanan warga asli Nusantara jika para-pendatang-nggak-sopan itu beralasan sekadar membalas serangan sekelompok warga Nusantara itu?

Apakah kau mengakui dan membenarkan keberadaan negara Hindia Belanda (yang berdiri di atas tanah bertuan di wilayah negara/kerajaan lain) itu?

Palestina mengalami seperti yang dialami negara-negara di Nusantara saat itu. Itu sebabnya tak sepantasnya israel itu diakui sebagai negara. Mereka hanya sekumpulan penganut paham zionisme yang memaksakan kehendak mereka. Seperti orang-orang Belanda yang memaksakan kekuasaan di Nusantara saat itu? Pantaskah dibiarkan? Pantaskah tidak dilawan?

Dari dulu ya begitu saja pendapatku tentang israel. Dan bagiku itu tuh alasan kuat untuk mendukung kemerdekaan Palestina. Dan bagiku, itu tuh alasan yang lebih kuat untuk mengatakan bahwa israel tak pantas disebut sebagai negara. Karena mereka tidak memiliki wilayahnya sendiri. Mereka mengklaim tanah Palestina sebagai wilayah mereka ketika Palestina sendiri adalah sebuah negara.

From the river [Jordan] to the [Mediterannian] sea, Palestine will be free.

Rabu, 11 Oktober 2023

Agama dan Akal

 

"Mengapa dalam beragama tidak boleh menggunakan akal? Hanya iman dan kepercayaan yang utama. Itu pernah saya dengar dalam ceramah."


Itu 👆🏼 sebuah pertanyaan yang kudapati di suatu forum. Dan aku menjawabnya ... dengan substsnsi seperti ini 👇🏻

Pernah mendengar ini: dalam beragama GUNAKAN KEYAKINAN, JANGAN AKAL.

Kamu pernah dengar hal semacam itu?

Aku ingin menuliskan opiniku tentang itu.

Akal adalah pembeda utama manusia dari spesies lainnya (di dunia tampak ini). Kalau betul manusia adalah ciptaan Tuhan, pasti akal itu bagian dari desain Tuhan; Tuhan berikan itu kepada manusia. Lalu apa iya Tuhan melarang makhluk ciptaan-Nya itu menggunakan pemberian-Nya?

Tentang diutamakannya iman (dan kepercayaan, katamu) itu bagiku bisa dipahami. Tapi akal juga harus digunakan.

Tapi aku punya ide tentang kenapa akal tidak bisa digunakan sebagai patokan yang utama dan mutlak.

Teknologi semakin canggih. Nggak pernah berhenti berkembang. Karena ilmu pengetahuan manusia terus berkembang. Nonstop. Tiap hari, bahkan mungkin tiap menit, manusia menemukan ilmu baru atau hasil pengembangan baru dari yang sudah ada. Betulkah begitu?

Well, kalau betul begitu, berarti akal juga [masih bisa] terus berkembang. Kan? Artinya, belum final. Belum sempurna. Belum menjawab semua masalah. Belum mengungkap semua misteri. Belum mahatahu. Kan?

Akalku berkembang dari hari ke hari. Itu yang aku lihat/rasakan selama ini. Semoga benar begitu. Sayangnya aku sama sekali tidak tahu masih ada berapa juta atau triliun hari di dunia dan peradaban manusia ini yang masih akan terjadi. Itu membuatku benar-benar mengakui bahwa sampai saat ini [daya] akalku masih sangat-sangat-sangat terbatas … karena baru berkembang beberapa ribu hari saja—dibanding entah berapa juta atau triliun hari yang masih akan ada.

Itulah alasan aku tidak menuhankan akal, meskipun aku selalu berusaha mencari penjelasan yang masuk akal. Meskipun mencari penjelasan yang masuk akal itu kuyakini sebagai sesuatu yang dikehendaki oleh Tuhan untuk dilakukan oleh manusia (jika memang manusia itu ciptaan Tuhan).

Kalau ada sesuatu yang bagiku tak masuk akal, aku memilih berpikir bahwa akalku memang belum sampai ke level itu berkembangnya. Termasuk ketika melihat emak-emak naik metic sein kanan tapi belok kiri. 

Selasa, 13 September 2022

Pembatasan Pembelian Pertalite; KENAPA TIDAK DIDAFTAR SENDIRI SAJA?

Apakah membatasi konsumsi BBM memang pilihan bagus? Well, membatasi konsumsi, apapun itu, sepertinya memang bagus. Karena boros itu tidak baik.

Tapi, daripada mengharuskan orang untuk mendaftarkan [diri dan] kendaraannya sebagai syarat untuk membeli pertalite, kenapa nggak Pertamina saja yang menginventarisir sendiri konsumen pertalite-nya?

Yang sudah terjadi, Pertamina membuat aplikasi—dan menyediakan laman internet—bagi konsumen untuk mendaftarkan mobil mereka sebagai syarat untuk bisa membeli pertalite kelak. Hasilnya, dengan sosialisasi yang entah bagaimana, dalam dua bulan pertama hanya satu jutaan pemilik kendaraan mendaftar—dari populasi sekitar 33 jutaan.

Cara itu memang tidak praktis. Masih banyak pemilik mobil atau sopir yang gaptek. Atau fakir paket internet. Atau tidak semua wilayah negeri ini terjangkau oleh koneksi internet yang tidak menjengkelkan. Atau ogah ribet—tapi tetap mau pertalite. Atau entah faktor apa.

Kenapa tidak Pertamina sendiri saja yang mendata konsumennya? Tentu saja, kalau negara ini memberlakukan integrasi data. Atau setidaknya interkoneksi data. Atau entah apa namanya.

Begini Cara Kerjanya (dalam khayalanku):

Aku bawa mobil ke pom bensin. Di sana ada petugas yang standby dengan gadget atau scanner atau sejenisnya, yang membuat nomor plat mobilku langsung ter-entry di sistem mereka, dan langsung memunculkan data-data terkait mobilku itu. Entah data dari korlantas atau dari mana, bersambung dengan data [dan profil pemilik yang “ditarik”] dari dukcapil dan lain-lain yang relevan. Sekali lagi, itu kalau negara ini memberlakukan integrasi data. Atau setidaknya interkoneksi data. Atau entah apa namanya.

Lalu, dengan sejumlah data itu, sistem mereka langsung mengkategorikan mobilku itu berhak membeli pertalite atau tidak.

Atau, setidaknya diterbitkan QR code dulu untuk disematkan di mobilku. Mungkin sistem Pertamina perlu menganalisa profilku dulu, dan itu makan waktu beberapa jam atau beberapa hari yang tidak mungkin ditunggu atau berpotensi membuat antrean berkepanjangan. Mungkin pada kunjungan berikutnya [ke pom bensin manapun di wilayah NKRI yang ber-merk Pertamina] baru aku memperoleh kepastian boleh tidaknya aku membeli pertalite. Tetapi, hari itu aku tetap dapat dan dilayani membeli pertalite dulu—sebelum ada keputusan boleh atau tidaknya.

Kalau saja ...

Sabtu, 25 Desember 2021

Merry Christmas

 

Masih seperti tahun-tahun kemarin, menjelang natal ini masih diwarnai dengan postingan-postingan yang menganjurkan—atau bahkan memperingatkan—para muslim untuk tidak mengucapkan selamat natal kepada para nasrani.

Aku memilih untuk tetap mengucapkan itu. Meskipun sekadar merry chistmas. Bagiku, atau setidaknya aku menerjemahkan untuk diriku sendiri, merry christmas itu frase untuk merasa senang atas keceriaan mereka terkait moment kelahiran Yesus. Intinya: senang melihat orang ceria.

Aku juga nggak setuju denga mereka yang bilang itu bukan sekadar ucapan ketika menyandingkan itu dengan ucapan syahadat—yang teman-teman nasrani tidak mau mengucapkannya. Karena syahadat itu memang bukan sekadar perkataan, melainkan kesaksian. Tentu saja sebuah kesaksian itu sangat berbeda dengan sebuah ungkapan perasaan. Meskipun sama-sama verbal. Dan, bukankah mereka juga membedakan level ucapan selamat pagi dan assalamu alaykum?

Beberapa hari belakangan bahkan muncul sindiran kepada kaum garis keras yang biasa melarang orang islam mengucapkan selamat natal kepada orang kristen. Sindiran itu berupa ucapan yang biasa diucapkan oleh orang-orang islam kepada temannya pada tanggal kelahiran sang teman. Hanya saja, ucapan ini ditujukan kepada Yesus—yang disebut lahir pada tanggal 25 desember. Ucapan itu jadi: barakallahu fii umrik yaa Yesus. :D

Merry Christmas, gaess ... untuk kalian yang merayakan keceriaannya.