Rabu, 08 November 2023

From The River To The Sea itu Wilayah Negara Palestina

Nusantara abad 15 terdiri dari beberapa negara (berbentuk kerajaan). Belanda datang: awalnya untuk berdagang, lama-lama ingin berkuasa. Awalnya perusahaan dagang (VOC) dengan barisan centeng terorganisir. Lalu diganti dengan pemerintahan sebagai perpanjangan tangan pemerintah Belanda. Yang cabang Nusantara ini diberi nama tersendiri: Oost Indische (dalam buku sejarah kita: Hindia Belanda). Memiliki barisan/kekuatan militer. Sampai masuk abad 20.

Sepanjang beberapa abad itu, jika sekumpulan warga asli Nusantara menyerang kantor/fasilitas Hindia Belanda, apakah kita menyebut mereka terroris? Apakah kita menyalahkan mereka? Apakah kita membenarkan tindakan Hindia Belanda menumpas perlawanan warga asli Nusantara jika para-pendatang-nggak-sopan itu beralasan sekadar membalas serangan sekelompok warga Nusantara itu?

Apakah kau mengakui dan membenarkan keberadaan negara Hindia Belanda (yang berdiri di atas tanah bertuan di wilayah negara/kerajaan lain) itu?

Palestina mengalami seperti yang dialami negara-negara di Nusantara saat itu. Itu sebabnya tak sepantasnya israel itu diakui sebagai negara. Mereka hanya sekumpulan penganut paham zionisme yang memaksakan kehendak mereka. Seperti orang-orang Belanda yang memaksakan kekuasaan di Nusantara saat itu? Pantaskah dibiarkan? Pantaskah tidak dilawan?

Dari dulu ya begitu saja pendapatku tentang israel. Dan bagiku itu tuh alasan kuat untuk mendukung kemerdekaan Palestina. Dan bagiku, itu tuh alasan yang lebih kuat untuk mengatakan bahwa israel tak pantas disebut sebagai negara. Karena mereka tidak memiliki wilayahnya sendiri. Mereka mengklaim tanah Palestina sebagai wilayah mereka ketika Palestina sendiri adalah sebuah negara.

From the river [Jordan] to the [Mediterannian] sea, Palestine will be free.

Rabu, 11 Oktober 2023

Agama dan Akal

 

"Mengapa dalam beragama tidak boleh menggunakan akal? Hanya iman dan kepercayaan yang utama. Itu pernah saya dengar dalam ceramah."


Itu 👆🏼 sebuah pertanyaan yang kudapati di suatu forum. Dan aku menjawabnya ... dengan substsnsi seperti ini 👇🏻

Pernah mendengar ini: dalam beragama GUNAKAN KEYAKINAN, JANGAN AKAL.

Kamu pernah dengar hal semacam itu?

Aku ingin menuliskan opiniku tentang itu.

Akal adalah pembeda utama manusia dari spesies lainnya (di dunia tampak ini). Kalau betul manusia adalah ciptaan Tuhan, pasti akal itu bagian dari desain Tuhan; Tuhan berikan itu kepada manusia. Lalu apa iya Tuhan melarang makhluk ciptaan-Nya itu menggunakan pemberian-Nya?

Tentang diutamakannya iman (dan kepercayaan, katamu) itu bagiku bisa dipahami. Tapi akal juga harus digunakan.

Tapi aku punya ide tentang kenapa akal tidak bisa digunakan sebagai patokan yang utama dan mutlak.

Teknologi semakin canggih. Nggak pernah berhenti berkembang. Karena ilmu pengetahuan manusia terus berkembang. Nonstop. Tiap hari, bahkan mungkin tiap menit, manusia menemukan ilmu baru atau hasil pengembangan baru dari yang sudah ada. Betulkah begitu?

Well, kalau betul begitu, berarti akal juga [masih bisa] terus berkembang. Kan? Artinya, belum final. Belum sempurna. Belum menjawab semua masalah. Belum mengungkap semua misteri. Belum mahatahu. Kan?

Akalku berkembang dari hari ke hari. Itu yang aku lihat/rasakan selama ini. Semoga benar begitu. Sayangnya aku sama sekali tidak tahu masih ada berapa juta atau triliun hari di dunia dan peradaban manusia ini yang masih akan terjadi. Itu membuatku benar-benar mengakui bahwa sampai saat ini [daya] akalku masih sangat-sangat-sangat terbatas … karena baru berkembang beberapa ribu hari saja—dibanding entah berapa juta atau triliun hari yang masih akan ada.

Itulah alasan aku tidak menuhankan akal, meskipun aku selalu berusaha mencari penjelasan yang masuk akal. Meskipun mencari penjelasan yang masuk akal itu kuyakini sebagai sesuatu yang dikehendaki oleh Tuhan untuk dilakukan oleh manusia (jika memang manusia itu ciptaan Tuhan).

Kalau ada sesuatu yang bagiku tak masuk akal, aku memilih berpikir bahwa akalku memang belum sampai ke level itu berkembangnya. Termasuk ketika melihat emak-emak naik metic sein kanan tapi belok kiri. 

Selasa, 13 September 2022

Pembatasan Pembelian Pertalite; KENAPA TIDAK DIDAFTAR SENDIRI SAJA?

Apakah membatasi konsumsi BBM memang pilihan bagus? Well, membatasi konsumsi, apapun itu, sepertinya memang bagus. Karena boros itu tidak baik.

Tapi, daripada mengharuskan orang untuk mendaftarkan [diri dan] kendaraannya sebagai syarat untuk membeli pertalite, kenapa nggak Pertamina saja yang menginventarisir sendiri konsumen pertalite-nya?

Yang sudah terjadi, Pertamina membuat aplikasi—dan menyediakan laman internet—bagi konsumen untuk mendaftarkan mobil mereka sebagai syarat untuk bisa membeli pertalite kelak. Hasilnya, dengan sosialisasi yang entah bagaimana, dalam dua bulan pertama hanya satu jutaan pemilik kendaraan mendaftar—dari populasi sekitar 33 jutaan.

Cara itu memang tidak praktis. Masih banyak pemilik mobil atau sopir yang gaptek. Atau fakir paket internet. Atau tidak semua wilayah negeri ini terjangkau oleh koneksi internet yang tidak menjengkelkan. Atau ogah ribet—tapi tetap mau pertalite. Atau entah faktor apa.

Kenapa tidak Pertamina sendiri saja yang mendata konsumennya? Tentu saja, kalau negara ini memberlakukan integrasi data. Atau setidaknya interkoneksi data. Atau entah apa namanya.

Begini Cara Kerjanya (dalam khayalanku):

Aku bawa mobil ke pom bensin. Di sana ada petugas yang standby dengan gadget atau scanner atau sejenisnya, yang membuat nomor plat mobilku langsung ter-entry di sistem mereka, dan langsung memunculkan data-data terkait mobilku itu. Entah data dari korlantas atau dari mana, bersambung dengan data [dan profil pemilik yang “ditarik”] dari dukcapil dan lain-lain yang relevan. Sekali lagi, itu kalau negara ini memberlakukan integrasi data. Atau setidaknya interkoneksi data. Atau entah apa namanya.

Lalu, dengan sejumlah data itu, sistem mereka langsung mengkategorikan mobilku itu berhak membeli pertalite atau tidak.

Atau, setidaknya diterbitkan QR code dulu untuk disematkan di mobilku. Mungkin sistem Pertamina perlu menganalisa profilku dulu, dan itu makan waktu beberapa jam atau beberapa hari yang tidak mungkin ditunggu atau berpotensi membuat antrean berkepanjangan. Mungkin pada kunjungan berikutnya [ke pom bensin manapun di wilayah NKRI yang ber-merk Pertamina] baru aku memperoleh kepastian boleh tidaknya aku membeli pertalite. Tetapi, hari itu aku tetap dapat dan dilayani membeli pertalite dulu—sebelum ada keputusan boleh atau tidaknya.

Kalau saja ...

Sabtu, 25 Desember 2021

Merry Christmas

 

Masih seperti tahun-tahun kemarin, menjelang natal ini masih diwarnai dengan postingan-postingan yang menganjurkan—atau bahkan memperingatkan—para muslim untuk tidak mengucapkan selamat natal kepada para nasrani.

Aku memilih untuk tetap mengucapkan itu. Meskipun sekadar merry chistmas. Bagiku, atau setidaknya aku menerjemahkan untuk diriku sendiri, merry christmas itu frase untuk merasa senang atas keceriaan mereka terkait moment kelahiran Yesus. Intinya: senang melihat orang ceria.

Aku juga nggak setuju denga mereka yang bilang itu bukan sekadar ucapan ketika menyandingkan itu dengan ucapan syahadat—yang teman-teman nasrani tidak mau mengucapkannya. Karena syahadat itu memang bukan sekadar perkataan, melainkan kesaksian. Tentu saja sebuah kesaksian itu sangat berbeda dengan sebuah ungkapan perasaan. Meskipun sama-sama verbal. Dan, bukankah mereka juga membedakan level ucapan selamat pagi dan assalamu alaykum?

Beberapa hari belakangan bahkan muncul sindiran kepada kaum garis keras yang biasa melarang orang islam mengucapkan selamat natal kepada orang kristen. Sindiran itu berupa ucapan yang biasa diucapkan oleh orang-orang islam kepada temannya pada tanggal kelahiran sang teman. Hanya saja, ucapan ini ditujukan kepada Yesus—yang disebut lahir pada tanggal 25 desember. Ucapan itu jadi: barakallahu fii umrik yaa Yesus. :D

Merry Christmas, gaess ... untuk kalian yang merayakan keceriaannya.

Rabu, 22 Desember 2021

Indonesia Belum Punya Hari Ibu

Hari Ibu di Indonesia itu sejarahnya dari pergerakan kaum perempuan untuk turut berjuang merebut (dan kemudian mengisi) kemerdekaan. Tanggal 22 Desember itu diambil dari peristiwa Kongres Perempuan 22 Desember 1928 (di Yogyakarta?). Setelah para pemuda berkongres, lalu para perempuan juga tidak mau kalah.


Sedangkan Hari Ibu di negara-negara lain (Mother's Day) itu tentang jasa ibu kepada anak-anaknya. Konteksnya keluarga.


Soal ada Hari Kartini, itu memang mirip-mirip. Tapi Hari Kartini itu lebih tentang mendobrak tradisi yang mengungkung kaum perempuan. Hari Kartini itu untuk meneriakkan dengan lantang bahwa perempuan bukan warga kelas dua, melainkan sama-sama kelas satu, setara dengan laki-laki.


NB. ini entah opiniku saja, atau memang begitu.