Suatu pagi, saat aku mandi, kulihat shampo hanya
tersisa beberapa tetes. Sudah waktunya beli.
Sorenya, aku ke warung tetangga untuk beli shampo dan beberapa
keperluan lain. Sabun, sikat gigi, pasta gigi, kapas pembersih telinga. Juga minyak
goreng titipan istri.
Ambil barang-barang itu, bawa ke penjaga tokonya untuk
dihitung berapa harus kubayar. Tapi tidak perlu aku membayar tunai. Karena aku
masih punya saldo (deposit) untuk keperluan belanja.
Saldo apa?
Well, aku bekerja di salah satu kantor pemerintahan
setempat. Sebagian gajiku sudah dipotong oleh kantor untuk dikonversikan jadi
voucher belanja di warung-warung di seantero wilayah, dari kota sampai
kampung-kampung. Jadi, di manapun aku berada, asal masih di daerah ini, aku
bisa beli wafer untuk anak-anak, atau air minum. Tapi bukan milagros, karena untuk
milagros di daerahku aku sendiri stokisnya … hahahaa…
Itu memang kebijakan pemerintah setempat, supaya uang
yang keluar dari kas daerah sebagai gaji pegawainya tidak terlalu banyak lari
ke luar daerah. Apalagi, banyak pegawai pemerintahan sini adalah orang daerah
lain. Lumayan banyak yang tetap tinggal di kota sebelah, dan tiap hari
berangkat-pulang untuk bekerja di kotaku.
Tak banyak yang dialihkan jadi voucher—dan tak bisa
diuangkan—itu. Hanya sekitar 27 persen aja. Nggak masalah. Toh belanja bulanan
rumah tangga dan makan-makan di akhir pekan pun sekitar segitu juga. Bahkan
lebih.
Asiknya, warung-warung di mana voucher belanja itu
berlaku bukan hanya di warung-warung kelontong, toko bangunan, warung makan dan
lain-lain yang tempatnya menetap. Tapi juga berlaku di pedagang keliling
semacam tukang pentol dan bakso gerobak dorong. Karena untuk operasionalnya nggak
usah pakai mesin gesek ATM yang dari bank. Cukup dengan app di ponsel android
milik si pedagang. Plus PIN transaksi dari pembeli—seperti halnya kalau aku
kasih PIN saat belanja pakai kartu debit. Tidak seperti belanja pakai kartu kredit,
belanja pakai voucher ini tidak dikenai biaya, dan tidak dibebani pajak. Jadi, antara
pembeli yang pakai voucher pegawai dan pembeli yang bayar pakai uang tunai,
tidak ada perbedaan harga dan biaya.
Para pedagang yang ingin bekerjasama dengan pemkab,
dalam arti menerima pemakaian voucher belanja para pegawai pemerintahan, mereka
cukup menginstal app yang disediakan oleh pemerintah setempat, lalu mendaftar
secara online. Syarat-syaratnya gampang, dan cukup diselesaikan secara online
juga. Sebangsa isi form dan unggah-unggah foto gitu lah. Omset via voucher itu
direkap tiap pekan, dan ditransfer tiap malam minggu ke rekening mereka.
Semua itu dikerjakan by system aja. Seperti halnya bonus milagros yang ditransfer ke
rekeningku setiap senin pagi.
Jadi, kalau di suatu akhir pekan aku terlalu
bersemangat jalan-jalan ke pedesaan sampai-sampai lupa bawa duit, aku tetap
bisa beli wafer dan bensin di banyak tempat di wilayah daerahku ini. Belinya tanpa
harus meninggalkan KTP. Asal saldo voucherku masih ada … hehehe…
Well, ini khayalanku saja. ^_^
Tapi aku tidak mengijinkan siapapun menggunakannya tanpa seijinku. ^_-