Rabu, 29 Juli 2015

Ospekku Masih Mewarnaiku


Pekan ini adalah pekan pertama anak-anak masuk sekolah setelah libur lebaran. Tidak semua, sih, tapi lumayan banyak daerah yang iya. Di media-media sosial banyak obrolan tentang MOS (Masa Orientasi Siswa)—atau sejenisnya. Banyak yang mengeluhkan pelaksanaannya yang buruk, ketidakbergunaan dan dampak buruknya.

Yah, gimana nggak mengeluh kalau anak-anak mereka dikerjai teman-teman sealmamater yang hanya beda tingkat/kelas? Ada yang bilang anaknya disuruh datang ke sekolah sambil menumpang matahari terbit. Ada yang bilang anaknya disuruh pakai atribut yang aneh-aneh. Ada yang bilang anaknya disuruh bawa barang-barang yang nggak jelas kegunaannya. Ada juga yang mengaplod surat/pemberitahuan resmi dari panitia yang berisi peraturan atau perintah yang enggak-enggak itu.

Saya sendiri tidak banyak mengalaminya secara langsung. Hanya beberapa hari lalu, dalam perjalanan rutin ke tempat kerja melewati sebuah sekolah, aku sempat melihat ada anak-anak berbaris di halaman sebuah sekolah, mereka mengenakan atribut yang nggak biasa dipakai oleh murid sekolah di bulan November.

Tapi, kemarin saya mendapat cerita tentang perploncoan di tempat lain. Peserta yang diplonco bukan siswa baru, tapi anak-anak SMA/SMK yang mengikuti latihan untuk menjadi pasukan pengibar bendera a.k.a calon petugas upacara 17 Agustus depan. Latihan itu rutin digelar di halaman kantor saya, dan saya mendapatkan ceritanya dari seorang petugas keamanan kantor saya itu. Om petugas itu bilang, beberapa dari anak-anak itu mengalami kekerasan fisik. Bukan ditampar. Bentuk kekerasannya misalnya disuruh push-up dulu sebelum bersantap makan. Ada juga sangat dibatasi waktu makannya sehingga tak mungkin makan tanpa terburu-buru. Ada juga disuruh beraktivitas fisik yang mengguncang perut setelah makan—ditambah aturan nggak boleh muntah, dan kalau sampai muntah diharuskan memakan muntahannya itu.

Saya hanya heran. Jika para orang tua tidak suka anaknya diperlakukan atau disuruh seperti itu, kenapa mereka tidak bersikeras melarang anak-anaknya mengikuti perploncoan itu? Beberapa tahun lalu, saya bahkan berjumpa dengan orang tua yang bersusah payah mencarikan barang yang diminta oleh panitia MOS yang diikuti oleh anaknya.

Saya jadi ingat tentang ospek yang pernah saya ikuti dulu. (Entah apa namanya, tapi generasi kami lebih familiar dengan vocab ospek daripada MOS, MOPD atau yang lebih jadul: mapras.) Dulu, di abad ke-20, waktu perploncoan masih dianggap normal. Waktu setiap peserta didik baru di level sekolah menengah dan perguruan tinggi masih harus mengikuti penataran P4.

Secara pribadi, saya sangat terkesan pada ospek yang saya ikuti ketika saya menyandang predikat mahasiswa baru. Bukan karena saat itu saya sedang puber-pubernya, bukan juga karena di perguruan tinggi terkenal. Tapi, karena pelajaran yang diberikan oleh kakak-kakak panitia kepada kami. Sampai sekarang saya masih sangat mensyukuri keikutsertaan saya dalam ospek itu, terutama ospek fakultas. (PS. Saat itu ada dua ospek yang yang harus diikuti oleh setiap mahasiswa baru: ospek universitas, dan ospek fakultas.)

Berikut adalah beberapa poin yang sangat berkesan bagi saya. Hingga saat ini.

Sejak awal mengikuti ospek, ada penekanan bahwa makan adalah nikmat Tuhan yang harus disyukuri. Karena itu, saat makan harus dibuat rileks—tapi tetap tertib. Dan, tidak boleh ada sisa alias makanan yang terbuang.

Untuk makan siang, kami (peserta ospek) tidak membawa sendiri-sendiri, tetapi panitia menyediakan nasi bungkus. Ketika saatnya makan siang, setiap perwakilan kelompok mengambil nasi bungkus sejumlah anggota masing-masing kelompok. Sebelum makan, kami disuruh membuka dan melihat porsi makanan di tangan kami masing-masing, kemudian memperkirakannya baik-baik: bisa habiskan atau tidak? Jika sekiranya tidak bisa menghabiskan porsi yang ada, kami diharuskan memberikan kelebihannya kepada teman-teman sesama peserta ospek, panitia atau siapapun yang bisa dijumpai di tempat itu. Yup, cewek-cewek yang makannya tidak banyak lalu sibuk menawar-nawarkan sebagian nasi, sayur dan lauk dari bungkusan di tangannya. Yang menerima pun harus sanggup menghabiskan “transferan” itu. Kalau tidak sanggup menghabiskan, ya jangan diterima. Ketika semua transferan sudah diterima—oleh siapapun yang sanggup menerimanya—barulah kami mulai makan bersama-sama.

Selesai? Tidak. Bagi yang merasa kurang dan ingin mengambil nasi bungkus lagi, dipersilakan mengambil lagi. Aturan mainnya tetap sama: harus sanggup menghabiskan. Alhasil, teman di sebelahku mengambil sebungkus lagi setelah bersepakat dengan dua orang lain untuk membagi dan menghabiskannya bertiga. Lebih dari belasan orang lainnya melakukan hal yang sama. Ada yang untuk nasi bungkus, maupun untuk teh hangat yang dikemas dalam kantong plastik.

Selama makanpun kami tidak disuruh buru-buru. Tidak juga disuruh mengambil seutas mie lalu disuruh menggigitnya satu sentimeter saja. Kami dipersilakan makan pakai sendok atau tangan, tidak pernah disuruh makan pakai garpu atau sendok teh. Pada hari-hari itu, hal-hal bodoh pada break makan siang atau snack hanya kudengar dari teman kos dan beberapa teman lain yang beda fakultas. Tidak kualami di fakultasku. (Oh, iya, kalau sessi snack, kami tidak diijinkan minta tambah .. hehe ..)

Bagi yang tidak berhasil menghabiskan makanannya—bahkan setelah mentransfer sebagiannya ke orang lain—tentu dikenai hukuman, yaitu harus minta maaf kepada petani di seluruh Nusantara. Permintaan maaf itu disampaikan di panggung di sudut halaman tempat kami makan bersama-sama, alias di hadapan seluruh peserta ospek, panitia dan para mahasiswa atau siapapun yang nonton ospek. “Beras itu dari padi. Petani yang menanam padinya. Kamu kira gampang menanam padi? Petani bekerja keras tiga bulan lebih, setiap hari kepanasan di sawah, lalu kamu buang sia-sia hasil jerih payahnya?” kira-kira begitu ‘makian’ [tepatnya, alasan untuk menghukum dari] raka-rakanita panitia ospek kami kepada peserta yang tidak menghabis-tuntaskan makan siangnya.

Selain hal makan, poin penting lain adalah soal senioritas. Seingatku, para panitia tidak pernah menyebut diri mereka senior, dan tidak pula menyebut kami—para mahasiswa baru peserta ospek—sebagai junior. Singkatnya, tidak pernah terucap istilah ‘senior’ dan ‘junior’ dalam ospek kami. Kami memanggil para panitia dengan sebutan ‘raka’ dan ‘rakanita.’ Itupun gara-gara ada mahasiswa cowok beretnis Batak berperawakan tinggi besar yang menolak sebutan ‘kakak’ bagi dirinya. Katanya, “Sejak kapan aku jadi perempuan?” (Karena dalam keseharian orang Sumatra Utara, ‘kakak’ itu panggilan untuk perempuan; kalau untuk laki-laki tuh ‘abang.’ Hahaha …)

Soal senioritas ini semakin terasa asiknya waktu kami mengikuti sessi per jurusan. Mereka mengawali doktrin kepada kami dengan satu hal, yaitu bahwa tidak ada senior atau junior. “Kita semua adalah teman,” kata salah seorang dari mereka yang jadi juru bicara pertama. “Kebetulan saja kami masuk ke kampus ini lebih dulu dari kalian, jadi kami tahu beberapa hal tentang kampus ini yang kalian belum tahu. Nah, kami di sini untuk memberi tahu kalian, dan menjawab pertanyaan kalian tentang itu.”

Adem banget, kan?

Dalam sessi itu, mereka memberitahu kami bukan hanya tentang bagaimana mengisi KRS (Kartu Rencana Studi), aturan main kredit semester, tips n trik mengikuti kuliah, unit-unit kegiatan mahasiswa, cara menjadi anggota perpustakaan dan sebangsanya. Mereka juga memberitahu kami tentang bangku beton berbentuk lingkaran di bawah pohon mangga di depan kantin. “Kalau mau belajar tentang politik atau sekadar mendengar diskusi tentang apa saja, antar jurusan, silakan sering-sering bergabung duduk-duduk di sana. Terbuka untuk siapa saja.”

Alangkah asiknya kalau MOS atau MOPD [atau apapun nama program orientasi siswa baru] bisa seperti itu.

PS. Bukannya tak ada bentakan dalam ospek yang kuikuti, tapi saya hanya menceritakan yang baik-baiknya saja, yang saya banggakan dari ospek itu.

Sabtu, 18 Juli 2015

Tahun yang Patut Dikenang


Kalau kita pandai bersyukur, mungkin sekarang maupun di masa depan sebaiknya kita mengingat-ingat tahun ini sebagai tahun yang baik bagi bangsa kita, terutama bagi umat muslimnya. Bukan karena mereka berhasil nggak-berboros-ria menjelang lebaran. Bukan juga karena mereka nggak saling menyalahkan antar sekte/kelompok.

Tapi karena tahun ini sekte-sekte/kelompok-kelompok besar mereka memulai puasa pada hari yang sama, dan merayakan hari raya idul fitri juga pada hari yang sama.

Setidaknya, tahun ini media sosial kita terhindar dari debat kusir atau adu argumen yang nggak selalu bermutu tentang kapan dan cara penetapan hari raya.