Senin, 25 Mei 2015

Kalau-Kalau Saya Jadi Sipir Penjara Narkoba


Kalau aku seorang sipir penjara yang bertugas di penjara penjahat narkoba, hal yang paling ingin kulakukan adalah memastikan tidak ada alat komunikasi yang bisa menjembatani para narapidana dengan siapapun di luar selnya. Apalagi, sudah banyak kasus terpidana narkoba yang masih saja mengendalikan peredaran narkoba dari dalam jeruji besi.

Kalau saya jadi sipir di penjara semacam itu, saya akan rajin-rajin melakukan razia di sel-sel narapidana. Sambil membawa penggalan botol plastik berisi air. Kalau menemukan ponsel atau alat komunikasi elektronik apapun, saya akan merendamnya dalam air di penggalan botol plastik itu. Cukup beberapa detik saja sambil sedikit ngobrol dengan penghuni sel, lalu mengangkatnya gedget itu, meletakkannya di lantai, dan menjadikannya sasaran ayunan palu besi saya.

Kalau saya menemukan narkoba dalam razia itu, saya akan kumpulkan dulu. Jika kira-kira jumlahnya cukup untuk membuat orang mati overdosis dalam sekali tenggak, saya akan jejalkan barang itu ke dalam mulut pemiliknya, memaksanya menelan narkoba milik mereka sendiri. Tidak perlu sedikit demi sedikit. Sekaligus saja. Kalau mereka mati overdosis, ya syukurlah.  Mereka mana bisa memahami bahayanya narkoba kalau mereka sendiri tidak merasakannya, kan?

Soal menjejalkan kepada pemiliknya itu juga akan saya lakukan kalau saya jadi petugas anti-narkoba di manapun. Kalau merazia di bandara dapat, ya jejalkan juga. Ngapain harus menunggu si empunya masuk penjara? Kelamaan. Keburu nggak kebagian nasi pecel di warung sebelah.

Lagian, apa sih untungnya memenjarakan pengedar narkoba? Satu orang mengedarkan narkoba, bisa puluhan atau ratusan orang yang seharusnya produktif jadi mati kreasi. Satu orang mengedarkan narkoba, bisa puluhan atau ratusan anak muda kehilangan kemampuan memajukan bangsa. Satu orang mengedarkan narkoba, bisa puluhan atau ratusan orang jadi bego. Apa susahnya mematikan satu orang demi mencegah puluhan atau ratusan lainnya jadi bego?

Tidak perlu juga membuang-buang duit negara untuk memberi makan pengedar narkoba. Hukum mati saja mereka. Dengan cara sesederhana mungkin. Hemat uang negara, selamatkan masa depan bangsa. Sederhana.

Jumat, 08 Mei 2015

Jangan Sia-Siakan Masa Bujangmu


Status ‘bujang’—masih atau sudah—adalah anugrah. Baik bujang-dengan-pasangan maupun bujang-jomblo, tetap saja itu anugrah. Ketika masih berstatus bujang, sangat banyak hal yang bisa dilakukan tanpa harus memikirkan berkompromi dengan orang lain. Setidaknya, tidak sebanyak ketika tidak lagi bujang. Terutama terkait orang-orang terdekat.

Memang benar kata pepatah: gunakan masa mudamu sebelum datang masa tuamu. Gunakan untuk apa? Untuk bekerja mencari penghasilan? Ya, iyalah! Yang halal, tentunya. Lalu, untuk apa penghasilan itu? Ditabung? Untuk cadangan masa tua?

Nggak harus. Kenapa bukan untuk senang-senang saja? Kenapa nggak untuk mewujudkan impian-impian tentang petualangan masa muda?

Berbahagialah seorang bujang yang sudah bekerja dan mampu menafkahi diri sendiri. Apalagi kalau bisa menabung atau memiliki kelebihan pendapatan di luar kebutuhan. Kalau memiliki itu tetapi tidak dimanfaatkan, bisa-bisa menyesal di kemudiah hari, lho! Misalnya, ketika masih bujang ingin memiliki kamera DSLR tetapi tidak segera membeli ketika punya cukup uang. Setelah menikah, belum tentu kamera itu bisa dibeli meskipun isi rekening menunjukkan nominal yang cukup atau lebih. Kalimat “Ditabung buat mudik nanti” dari pasangan bisa membuat kesempatan itu hanya menjadi eutopia atau iming-iming di depan mata.

Kalau semasa bujang ingin bisa bepergian ke mana-mana, melihat tempat-tempat di sisi lain dunia yang belum pernah kalian kunjungi, sambarlah kesempatan pertama. Ketika sudah menikah, kesempatan bisa saja datang, tetapi pasangan atau anak bisa saja menjadi pemberat.

Selagi belum harus memikirkan pasangan [dan anak], dakilah puncak-puncak tertinggi di sepanjang nusantara—kalau memang hobi mendaki gunung. Pergilah ke sirkuit-sirkuit top dunia untuk menonton dengan mata kepala sendiri mobil-mobil formula-1 berkejar-kejaran. Ketika sudah menikah, biaya untuk aktivitas traveling yang sama nggak cukup dua kali lipatnya.

Selagi belum harus memikirkan pasangan [dan anak], pergilah naik haji—walaupun masih tinggal di kos-kosan. Nggak banyak, lho, anak kos naik haji.

Jadi ingat lirik sebuah nasyid: muda sebelum tua, kaya sebelum miskin, lapang sebelum sempit.