Sabtu, 25 Desember 2021

Merry Christmas

 

Masih seperti tahun-tahun kemarin, menjelang natal ini masih diwarnai dengan postingan-postingan yang menganjurkan—atau bahkan memperingatkan—para muslim untuk tidak mengucapkan selamat natal kepada para nasrani.

Aku memilih untuk tetap mengucapkan itu. Meskipun sekadar merry chistmas. Bagiku, atau setidaknya aku menerjemahkan untuk diriku sendiri, merry christmas itu frase untuk merasa senang atas keceriaan mereka terkait moment kelahiran Yesus. Intinya: senang melihat orang ceria.

Aku juga nggak setuju denga mereka yang bilang itu bukan sekadar ucapan ketika menyandingkan itu dengan ucapan syahadat—yang teman-teman nasrani tidak mau mengucapkannya. Karena syahadat itu memang bukan sekadar perkataan, melainkan kesaksian. Tentu saja sebuah kesaksian itu sangat berbeda dengan sebuah ungkapan perasaan. Meskipun sama-sama verbal. Dan, bukankah mereka juga membedakan level ucapan selamat pagi dan assalamu alaykum?

Beberapa hari belakangan bahkan muncul sindiran kepada kaum garis keras yang biasa melarang orang islam mengucapkan selamat natal kepada orang kristen. Sindiran itu berupa ucapan yang biasa diucapkan oleh orang-orang islam kepada temannya pada tanggal kelahiran sang teman. Hanya saja, ucapan ini ditujukan kepada Yesus—yang disebut lahir pada tanggal 25 desember. Ucapan itu jadi: barakallahu fii umrik yaa Yesus. :D

Merry Christmas, gaess ... untuk kalian yang merayakan keceriaannya.

Rabu, 22 Desember 2021

Indonesia Belum Punya Hari Ibu

Hari Ibu di Indonesia itu sejarahnya dari pergerakan kaum perempuan untuk turut berjuang merebut (dan kemudian mengisi) kemerdekaan. Tanggal 22 Desember itu diambil dari peristiwa Kongres Perempuan 22 Desember 1928 (di Yogyakarta?). Setelah para pemuda berkongres, lalu para perempuan juga tidak mau kalah.


Sedangkan Hari Ibu di negara-negara lain (Mother's Day) itu tentang jasa ibu kepada anak-anaknya. Konteksnya keluarga.


Soal ada Hari Kartini, itu memang mirip-mirip. Tapi Hari Kartini itu lebih tentang mendobrak tradisi yang mengungkung kaum perempuan. Hari Kartini itu untuk meneriakkan dengan lantang bahwa perempuan bukan warga kelas dua, melainkan sama-sama kelas satu, setara dengan laki-laki.


NB. ini entah opiniku saja, atau memang begitu.