Kamis, 30 April 2015

Gantung Saja!



Kapan maut menjemput, hanya Tuhan yang tahu. Kapan Mary Jane mati, ternyata kita pun tak tahu. Karena setelah kita repot-repot menjadwalkan kematiannya, ternyata ada interupsi yang membuat jadwal itu dibatalkan. Saya tidak cukup intens mengikuti perkembangan beritanya sehingga kurang tahu dia terlibat apa di negaranya yang membuat kita harus menunda jadwal eksekusi matinya. Yang jelas, yang mengajukan interupsi itu bukan Peter Parker.

Sudahlah. Itu nasib baik dia saja. Saya lebih tertarik pada kecaman para pemimpin negara-negara yang ada warganya ikut dimatikan kemarin malam.

Apanya yang menarik? Ah, susah mengatakan yang mana. Asiknya, seorang teman di facebook kemarin memasang status yang dia bilang hasil copas dari seorang warga Singapura. Saya ingin membagikannya di sini—karena membagikan status itu di facebook ternyata nggak benar-benar terbagi ke publik; teman saya itu membatasi siapa-siapa yang bisa melihatnya. Tetapi, karena versi aslinya pakai bahasa sana, saya ingin mencoba kemampuan penerjemahan saya. Let’s see!

*****
 
Ketika sebuah negara lemah, dia akan di-bully.

Jika anda mengikuti berita-berita tentang eksekusi mati Bali 9, saya yakin sebagai seorang Asia, dari negara manapun anda berasal, anda bisa melihat dengan dua mata terbuka lebar, betapa orang-orang Barat hanyalah sekumpulan bully.

Ini diarahkan kepada orang-orang Audtralia, Perancis dan Brazil yang tinggal di negara-negara Asia. Jika anda TIDAK MENGHORMATI hukum setempat, dan mengira anda bisa melakukan apapun sekehendak anda, maka janganlah datang! Sama sekali jangan datang! Kami tidak suka!

Kami orang Singapura, Malaysia dan Indonesia lebih suka wisatawan lain daripada kaum anda, orang Barat. Tolong, bawa racun anda ke tempat lain saja.

Hukum Singapura, Malaysia dan Indonesia sangat jelas, sejelas jernihnya kristal. Kami akan MENGGANTUNG pengedar narkotika. Apanya yang sulit dipahami di sini?

Sekarang, warga kalian telah tertangkap tangan, tapi kalian negara-negara besar nan arogan masih ingin mem-bully negara berkembang seperti Indonesia untuk tunduk pada tuntutan kalian.

USA menggantung dan membunuh ribuan pengedar narkotika, mengapa kalian tidak bersuara di sana? USA hampir memusnahkan Iraq, sebuah negara yang tidak pernah mengancam siapapun, mengapa kalian tidak bersuara di sana?

Orang-orang ini membawa racun dan menghancurkan aum muda kami, dan anda meminta kami memaafkan mereka? Mereka tahu risikonya, mereka ambil risiko itu, mau bilang apa lagi?

Brazil, sebuah negara korup yang tak mampu lagi melawan kartel narkotika, sebuah negara dengan tingkat kriminalitas sangat tinggi di kota-kotanya, mencoba mengajari negara lain cara menghukum kejahatan warga negara mereka sendiri? Sangat lucu!

Australia, negara yang juga tak mampu memerangi narkotika. Penyalahgunaan narkotika oleh remaja-remaja Australia adalah salah satu yang tertinggi di kalangan negara-negara maju. Cari saja di google, anda akan melihatnya sendiri. Dengan komplotan-komplotan kejahatan dan bandar narkotika menduduki kota-kota dan perguruan tinggi mereka, mereka pemerintahnya sekarang mencoba membela nyawa bandar narkotika? Pesan apa yang sedang anda coba sampaikan kepada kaum muda anda? Bahwa penggunaan narkotika itu sama sekali bukanlah kejahatan, sampai-sampai perdana menteri kalian membelanya? Sangat lucu!

Perancis dan seluruh Eropa, apa lagi yang bisa dikatakan? Pernah mengunjungi Amsterdam? Ibukota narkotika dunia. Pencandu/pemadat di mana-mana. Pemuda-pemuda pengangguran menghisap narkotika di kedai-kedai kopi. Sangat lucu!

Jadi, kepada semua orang Australia, tolong, jangan berkunjung ke Bali! Tolong, kami memohon kepada anda. Kami betul-betul tidak ingin kaum anda di sana.  Tolong, jangan datang ke Singapura, kami tidak ingin anda di sini. Silakan pergi ke negara-negara dimana anda dapat kebebasan menghirup kokain seperti Brazil atau Eropa.

Saya minta, dan mendesak, negara-negara Asia, terutama Thailand dan Filipina, untuk menggalang harga diri kalian sebagai orang Asia. Jangan biarkan orang-orang Barat menginvasi budaya kalian. Ketika saya mengunjungi pantai-pantai di Thailand dan Filipina, yang saya lihat di sana bukanlah wisatawan, melainkan komplotan-komplotan Eropa dan Eropa Timur menjual banyak barang, dari narkotika sampai pelacuran. Pelan tapi pasti, itu akan membunuh negara yang ditempati.

Kepada semua orang Barat, semua bangsa Barat, jika negara anda sedang ambruk dan hancur, tolong jangan seret kami.

Terima kasih.

*****

Rabu, 22 April 2015

Menyelamatkan Bumi?


Hari bumi?

Tanggal 22 April telah ditetapkan dan diperingati sebagai hari bumi. Menjelang dan pada tanggal itu, banyak orang berkoar-koar tentang kerusakan di bumi, tentang kerusakan lingkungan hidup dan fungsinya, tentang impian akan sebuah planet tempat tinggal yang nyaman. Tidak lupa, ajakan untuk bersama-sama menyelamatkan bumi—so far, satu-satunya planet yang menampung kita untuk melanjutkan hidup dan peradaban.

Semoga topik-topik lain juga banyak bergema. Tentang ajakan menghemat sumber daya. Tentang ajakan menghabistuntaskan makanan yang diambil/dipesan/dibeli. Tentang menekan produksi sampah. Tentang membuang sampah pada tempatnya. Tentang bersabar mengantongi dulu sampah sendiri hingga bertemu tempat sampah. Tentang menanam pohon dan/atau memelihara pohon yang sudah ada. Tentang menghemat penggunaan styrofoam dan tidak sembarangan membakarnya.

Memang, pasti banyak koar-koar ajakan untuk menyelamatkan bumi. Menyelamatkan satu-satunya planet yang masih mau menampung kita. Karena planet lain—bahkan Mars—masih belum cukup murah untuk dijadikan komplek RSS (rumah sangat sederhana). Atau, karena jargon “bumi bukan warisan dari nenek moyang kita, melainkan kita pinjam dari anak cucu kita.”

Tapi, benarkan kita perlu menyelamatkan bumi? Memangnya kalau ekosistem rusak, bumi menderita apa? Memangnya kalau air laut naik terus hingga menghabisi daratan, bumi mati kelelep? Memangnya kalau suhu udara global menaik, bumi jadi ekstra berkeringat dan ketiaknya bau? Memangnya kalau pohon habis dan hutan berganti rupa menjadi gurun pasir, bumi jadi meriang panas-dingin? Memangnya kalau air bersih susah didapat, bumi jadi menderita kehausan dan terpaksa jarang mandi sampai panuan?

Apapun yang manusia lakukan, apapun kerusakan yang manusia buat, tidak akan mengganggu eksistensi bumi—kecuali jika manusia meledakkannya menjadi serpihan-serpihan kecil.

Kerusakan apapun yang manusia ciptakan, sebenarnya hanya mengancam kelangsungan hidup manusia. Jika ekosistem rusak, manusia yang kesulitan memenuhi kebutuhan pangannya, air bersihnya dan udara segarnya.

Jadi, jargon “menyelamatkan bumi” itu bagi saya serasa nggak jujur. Yang lebih tepat adalah “menyelamatkan manusia.” Bukan “save our earth,” tetapi “save ourselves.”

Sabtu, 11 April 2015

Bersepeda Itu Tidak Mahal, Karena Banyak Sepeda Yang Memang Tidak Mahal



Masih banyak orang yang berpikir bahwa sepeda itu mahal. Terutama sepeda yang dari pabriknya gak pake keranjang.

Tiap pagi aku sampai di parkiran kantor, hampir selalu ada orang yang sedang mengobrol di sana. Biasanya mas-mas cleaning service (mereka sudah selesai bersih-bersih waktu jam kerja kantor mulai), penjaga malam yang mau pulang, atau para pegawai yang lebih banyak menggunakan ototnya untuk bekerja. Yeah, teman-teman yang banyak pake otaknya juga sih.

Orang-orang itu selalu saja mengira sepedaku berbandrol mahal. Ada yang mengira 6 jutaan, di atas 4 juta, dan perkiraan terendah yang pernah terlontar—sepanjang satu tahun aku bike-to-work—adalah 3,5 jutaan.
Ungkapan-ungkapan “Iyakah?”, “Wah, tidak terlalu mahal ya?”, “Bukannya 6 jutaan ya?” itu yang bikin aku sedih. Sedih karena mereka tidak tanya ke toko, tapi mengira harga sepeda itu mahal.

Aku melihat, dalam benak mereka sudah bercokol ide bahwa bersepeda itu mahal.

Di Paringin tidak ada restoran atau tempat makan yang mulus atau berkelas. Semuanya masih sangat cukup untuk disebut warung makan. Pada hari kerja, Rp 15.000 tidak akan cukup bikin pemiliknya percaya diri untuk pergi ke warung. Kampungku bukan kampung yang murah biaya makannya. Harga-harga dipatok sesuai pendapatan karyawan perusahaan tambang batubara. Aku dan puluhan ribu orang lain yang tidak kecipratan duit tambang terpaksa ikut menanggung beban harga itu jika tidak hengkang dari kampung itu. Damn it!

Jadi, sepedaku yang cuman seharga dua jutaan itu tidak mahal. Begitulah, setiap kali ada pertanyaan tentang harga sepedaku, sekalian kusebutkan harga semua barang tambahan yang menempel di sepedaku. Sepeda kubeli cuman Rp 2.150.000, pesan dulu karena gak ada stok di tokonya. Lima hari barang sudah datang. Botol minum plus tempatnya 50rebu, beli di pasar Paringin. Trus, tanduk stang 50rebu, bel 20rebu, beli di Jawa. *
 


*artikel ini pernah tayang di situs b2w-indonesia.

Selasa, 07 April 2015

Tokoh Penting Buat Siapa



Akhir pekan lalu adalah liburan yang lumayan panjang—bagi sebagian orang. Sempat melihat ada tayangan di televisi tentang banyaknya masyarakat yang memanfaatkan long weekend itu untuk berpiknik. Salah satu indikator yang menunjukkan banyaknya orang yang berlibur di akhir pekan kemarin adalah kemacetan ekstra di Bandung dan ruas-ruas jalan dari Jakarta menuju Bogor dan Anyer.

Tapi bukan itu yang paling berkesan dari tayangan televisi di akhir pekan lalu. Yang jauh lebih berkesan bagiku adalah tayangan tentang komedian yang sudah seminggu meninggal. Sangat berkesan karena tayangan tentangnya nggak pernah absen sepanjang pekan kemarin. Kalau sedang pindah-pindah saluran televisi—di rumah maupun di tempat kerja—selalu saja ketemu tayangan bertopik itu. Well, jadi sangat berkesan bagiku. Tepatnya, kesan sangat menjengkelkan. Kalau beberapa waktu lalu sebuah saluran televisi pernah didominasi oleh tayangan tentang seseorang yang melahirkan bayinya, dan di hari lain juga tayangan pesta pernikahan seseorang, pekan kemarin bukan satu saluran televisi yang menayangkan perihal meninggalnya seseorang. Pekan kemarin ada beberapa stasiun sekaligus yang melakukan hal serupa. (Memangnya saya bisa bilang apa selain “Betapa menjengkelkan!”?)

Berita meninggalnya komedian lain di akhir pekan kemarin sama sekali nggak sebanding intensitasnya dibanding berita serupa tentang komedian yang meninggal seminggu sebelumnya. 

Well, jangankan Mpok Nori. Akhir pekan kemarin milyaran orang di seluruh penjuru planet ini juga memperingati meninggalnya seorang tokoh super-terkenal. Tapi, seperti yang kita lihat, tayangan televisi kita tentang tokoh itu tidak seberapa dibanding tayangan tentang si komedian yang meninggal seminggu lalu.
Biasanya, seberapa intens suatu media menampilkan suatu isu, itu tergantung dari seberapa pentingnya isu tersebut menurut media—atau orang-orang yang mendalangi media tersebut. Saya sebut biasanya, karena ada juga faktor lain yang menentukan intensitas penayangan suatu isu oleh media. Faktor lain itu secara singkat saja saya sebut uang: siapa bayar [lebih], dia bisa tentukan isi tayangan.

Acak saja tanya orang, di saluran televisi mana dia melihat Olga. Bukan hanya satu. Itupun di acara-acara yang lumayan digemari alias rating tinggi—terlepas dari berguna tidaknya tayangan itu untuk hal-hal muluk-muluk semacam pencerdasan bangsa atau pembangunan akhlak bangsa. Olga itu mendatangkan penonton. Penonton itu mendatangkan iklan. Iklan itu datangnya bawa duit. Sederhana, kan?

Sedangkan tokoh satunya, maksud saya yang bukan komedian, yang kematiannya juga diperingati di akhir pekan lalu, pengaruhnya tidak terlalu signifikan ke televisi—mungkin terkecuali saluran-saluran tertentu yang khalayaknya cukup spesifik. Televisi yang maunya meraup khalayak seluas-luasnya, sebisa mungkin menyasar semua kalangan, mungkin tidak mendapat profit yang signifikan dari mengekspos tokoh yang satu ini, yang kematiannya diperingati oleh milyaran orang di seluruh dunia.

Padahal, si Olga itu seberapa terkenal dan berpengaruhnya sih dibanding Jesus?

Kamis, 02 April 2015

Balangan Sejak 1963



Kabupaten Balangan, tempat tinggalku saat ini, akan menggenapkan usia 12 tahunnya. Berdiri 8 April 2003, keinginan untuk berdiri sendiri alias berpisah dari kabupaten induknya bukanlah pemaksaan euforia reformasi yang sedang marak di tahun-tahun itu.

Beberapa hari lalu ada yang minta padaku untuk membuatkan ringkasan sejarah berdirinya kabupaten ini. Jadi, sekalian saja kupajang di sini. Hehe …

Keinginan untuk menjadi kabupaten sendiri itu sudah ada sejak tahun 1963. Di tahun itu, tepatnya 22 September, ada sesuatu aktivitas yang dinamai Musywarah Warga Balangan. Forum itu bersepakat menyuarakan keinginan agar Kawedanan Balangan (status daerah itu saat itu) menjadi Daerah Swatantra Tingkat II a.k.a kabupaten bernama Balangan.

Dari forum itu juga terbentuk PPKB (Panitia Penuntutan Kabupaten Balangan). Bertempat di SMP N Paringin (wah, ternyata sekolahan itu udah lama banget adanya, ya!), 13 Desember 1963, PPKB berunding-runding dan menghasilkan resolusi yang berisi tuntutan kepada pemerintah pusat agar Kawedanan Balangan dijadikan daerah otonom tingkat II. Belakangan, resolusi itu disebut Resolusi Pertama. Hasilnya? Nothing. Pemerintah pusat tidak memberi respon positif. Well, kita mungkin bisa membayangkan bahwa saat itu pemerintah pusat memang masih sibuk untuk menstabilkan situasi politik dan sosial negeri ini.

Berselang lima tahun dari kegagalan resolusi pertama, PPKB menggelar Musyawarah Besar Warga Balangan. 29 Juli 1968 di Balai Umum Paringin, makin banyak unsur masyarakat yang mengikuti aktivitas ini. Mereka mencetuskan Resolusi Kedua. Kali ini tidak langsung ditujukan ke pemerintah pusat, tetapi pakai strategi berjenjang. Mereka menuntut dan mendesak Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) dan DPRD-nya agar sesegeranya mengabulkan tuntutan pendirian Balangan sebagai daerah otonomi tingkat II a.k.a kabupaten.

Berhasil? Tidak. Saat itu, negara kita masih menganut pola sentralistik. Apa-apa yang datangnya dari bawah sangat sulit mendapatkan respon pemerintah pusat.

Kukuhnya pola sentralistik itu cukup manjur untuk meredam tuntutan orang Balangan untuk memiliki daerah otonom sendiri. Hingga sedikit perkembangan menjadi sedikit pelipur lara mereka, yaitu saat pemerintah pusat menetapkan Wilayah Balangan (yang semula kawedanan) sebagai Wilayah Kerja Pembantu Bupati. Ini semacam naik status, walau tidak banyak.

Puas dengan status itu? Entahlah. Tapi bergantinya orde baru menjadi orde reformasi adalah momentum dan kesempatan yang sangat besar untuk urusan perjuangan mendirikan daerah otonom baru di negeri ini.
13 Mei 1999, lagi-lagi PPKB dan orang-orang Balangan menggelar Musyawarah Besar Warga Balangan. Dari forum itulah lahir Resolusi Ketiga, berisi pernyataan sikap masyarakat Balangan untuk mewujudkan berdirinya kabupaten Balangan.

1963 ke 1999 itu 36 tahun. Selama itu pula wacana dan keinginan untuk berpisah dari Kabupaten HSU tidak pernah benar-benar hilang dari benak warga Balangan.

DPRD HSU, yang merasa sebagai wakil rakyat, akhirnya membuat pernyataan resmi memberikan dukungan penuh secara politik dan dana. Surat pernyataan itu tertanggal 4 Juli 2000. Dana? Ya, mereka mendukung proses berikutnya dari penuntutan itu melalui APBD. Berselang dua hari, 6 Juli 2000, terbit SK DPRD Kabupaten HSU tentang persetujuan menyalurkan aspirasi masyarakat Balangan untuk mendirikan kabupaten Balangan. Esoknya, gantian Pemkab HSU memberikan rekomendasi dan dukungan terhadap aspirasi tersebut.

Melalui penelitian dan beberapa pertimbangan (entah apa aja), wilayah Balangan layak dijadikan kabupaten dan tidak akan saling mematikan antara kabupaten induk dengan kabupaten barunya. Itu membuat Bupati HSU berkirim surat ke DPRD setempat. Isinya, oke aja. Maka bersidanglah DPRD. Itu 11 Februari 2002, dan keputusannya adalah menyetujui pembentukan Kabupaten Balangan.

Bermodal persetujuan bupati dan DPRD, usul pembentukan Kabupaten Balangan dititipkan ke Gubernur Kalimantan Selatan untuk dibawa ke pemerintah pusat. Titip resminya pada 2 Maret 2002, diserahkan di Lapangan Martasura, Paringin.

Langsung dibawa oleh Gubernur ke Menteri Dalam Negeri? Enggak, dong! Gubernur membawanya pulang dulu, untuk di-forward ke DPRD Kalsel. Setelah DPRD Kalsel berunding alias bersidang paripurna dan menyetujui usulan Balangan, barulah Gubernur benar-benar membawanya kepada Mendagri.

Untung mendagrinya nggak cuek. Salah satu responnya adalah menunjuk ditjen otonomi daerah untuk bekerjasama dengan DPR RI, melakukan penelitian dan peninjauan langsung. Tim itu blusukan di Balangan 22 Juli 2002. Entah berapa lama mereka di sana, yang jelas hasilnya menyetujui.

Entah apa lagi prosesnya, kemudian terbitlah UU no. 2 tahun 2003. Itu UU yang menandai lahirnya Kabupaten Balangan—dan Kabupaten Tanah Bumbu—di Kalimantan Selatan. Peresmian berdirinya oleh Menteri Dalam Negeri yang bertindak atas nama Presiden RI, sekalian melantik penjabat bupati. Itu terjadinya 8 April 2003. Lokasinya di Kabupaten Tanah Bumbu. Untuk Balangan, pejabat bupati pertamanya adalah Drs. HM. Arsyad. Beliau adalah seorang putra Balangan.

Baru 12 tahun. Ibarat bocah, baru kelas 7. Itupun kalau konsisten naik kelasnya. Gitu kata pak wabup dan pak wagub kemarin.