Selasa, 07 April 2015

Tokoh Penting Buat Siapa



Akhir pekan lalu adalah liburan yang lumayan panjang—bagi sebagian orang. Sempat melihat ada tayangan di televisi tentang banyaknya masyarakat yang memanfaatkan long weekend itu untuk berpiknik. Salah satu indikator yang menunjukkan banyaknya orang yang berlibur di akhir pekan kemarin adalah kemacetan ekstra di Bandung dan ruas-ruas jalan dari Jakarta menuju Bogor dan Anyer.

Tapi bukan itu yang paling berkesan dari tayangan televisi di akhir pekan lalu. Yang jauh lebih berkesan bagiku adalah tayangan tentang komedian yang sudah seminggu meninggal. Sangat berkesan karena tayangan tentangnya nggak pernah absen sepanjang pekan kemarin. Kalau sedang pindah-pindah saluran televisi—di rumah maupun di tempat kerja—selalu saja ketemu tayangan bertopik itu. Well, jadi sangat berkesan bagiku. Tepatnya, kesan sangat menjengkelkan. Kalau beberapa waktu lalu sebuah saluran televisi pernah didominasi oleh tayangan tentang seseorang yang melahirkan bayinya, dan di hari lain juga tayangan pesta pernikahan seseorang, pekan kemarin bukan satu saluran televisi yang menayangkan perihal meninggalnya seseorang. Pekan kemarin ada beberapa stasiun sekaligus yang melakukan hal serupa. (Memangnya saya bisa bilang apa selain “Betapa menjengkelkan!”?)

Berita meninggalnya komedian lain di akhir pekan kemarin sama sekali nggak sebanding intensitasnya dibanding berita serupa tentang komedian yang meninggal seminggu sebelumnya. 

Well, jangankan Mpok Nori. Akhir pekan kemarin milyaran orang di seluruh penjuru planet ini juga memperingati meninggalnya seorang tokoh super-terkenal. Tapi, seperti yang kita lihat, tayangan televisi kita tentang tokoh itu tidak seberapa dibanding tayangan tentang si komedian yang meninggal seminggu lalu.
Biasanya, seberapa intens suatu media menampilkan suatu isu, itu tergantung dari seberapa pentingnya isu tersebut menurut media—atau orang-orang yang mendalangi media tersebut. Saya sebut biasanya, karena ada juga faktor lain yang menentukan intensitas penayangan suatu isu oleh media. Faktor lain itu secara singkat saja saya sebut uang: siapa bayar [lebih], dia bisa tentukan isi tayangan.

Acak saja tanya orang, di saluran televisi mana dia melihat Olga. Bukan hanya satu. Itupun di acara-acara yang lumayan digemari alias rating tinggi—terlepas dari berguna tidaknya tayangan itu untuk hal-hal muluk-muluk semacam pencerdasan bangsa atau pembangunan akhlak bangsa. Olga itu mendatangkan penonton. Penonton itu mendatangkan iklan. Iklan itu datangnya bawa duit. Sederhana, kan?

Sedangkan tokoh satunya, maksud saya yang bukan komedian, yang kematiannya juga diperingati di akhir pekan lalu, pengaruhnya tidak terlalu signifikan ke televisi—mungkin terkecuali saluran-saluran tertentu yang khalayaknya cukup spesifik. Televisi yang maunya meraup khalayak seluas-luasnya, sebisa mungkin menyasar semua kalangan, mungkin tidak mendapat profit yang signifikan dari mengekspos tokoh yang satu ini, yang kematiannya diperingati oleh milyaran orang di seluruh dunia.

Padahal, si Olga itu seberapa terkenal dan berpengaruhnya sih dibanding Jesus?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

di sini boleh komen