Rabu, 22 April 2015

Menyelamatkan Bumi?


Hari bumi?

Tanggal 22 April telah ditetapkan dan diperingati sebagai hari bumi. Menjelang dan pada tanggal itu, banyak orang berkoar-koar tentang kerusakan di bumi, tentang kerusakan lingkungan hidup dan fungsinya, tentang impian akan sebuah planet tempat tinggal yang nyaman. Tidak lupa, ajakan untuk bersama-sama menyelamatkan bumi—so far, satu-satunya planet yang menampung kita untuk melanjutkan hidup dan peradaban.

Semoga topik-topik lain juga banyak bergema. Tentang ajakan menghemat sumber daya. Tentang ajakan menghabistuntaskan makanan yang diambil/dipesan/dibeli. Tentang menekan produksi sampah. Tentang membuang sampah pada tempatnya. Tentang bersabar mengantongi dulu sampah sendiri hingga bertemu tempat sampah. Tentang menanam pohon dan/atau memelihara pohon yang sudah ada. Tentang menghemat penggunaan styrofoam dan tidak sembarangan membakarnya.

Memang, pasti banyak koar-koar ajakan untuk menyelamatkan bumi. Menyelamatkan satu-satunya planet yang masih mau menampung kita. Karena planet lain—bahkan Mars—masih belum cukup murah untuk dijadikan komplek RSS (rumah sangat sederhana). Atau, karena jargon “bumi bukan warisan dari nenek moyang kita, melainkan kita pinjam dari anak cucu kita.”

Tapi, benarkan kita perlu menyelamatkan bumi? Memangnya kalau ekosistem rusak, bumi menderita apa? Memangnya kalau air laut naik terus hingga menghabisi daratan, bumi mati kelelep? Memangnya kalau suhu udara global menaik, bumi jadi ekstra berkeringat dan ketiaknya bau? Memangnya kalau pohon habis dan hutan berganti rupa menjadi gurun pasir, bumi jadi meriang panas-dingin? Memangnya kalau air bersih susah didapat, bumi jadi menderita kehausan dan terpaksa jarang mandi sampai panuan?

Apapun yang manusia lakukan, apapun kerusakan yang manusia buat, tidak akan mengganggu eksistensi bumi—kecuali jika manusia meledakkannya menjadi serpihan-serpihan kecil.

Kerusakan apapun yang manusia ciptakan, sebenarnya hanya mengancam kelangsungan hidup manusia. Jika ekosistem rusak, manusia yang kesulitan memenuhi kebutuhan pangannya, air bersihnya dan udara segarnya.

Jadi, jargon “menyelamatkan bumi” itu bagi saya serasa nggak jujur. Yang lebih tepat adalah “menyelamatkan manusia.” Bukan “save our earth,” tetapi “save ourselves.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

di sini boleh komen