Jumat, 10 Januari 2020

Ketika Aku Tidak Setuju Rehab Langgar


Semenjak natal kemarin, ada pekerjaan fisik terhadap langgar di Komplek Maritam. Dibuat beberapa tiang utama untuk bangunan baru di beberapa titik di sekeliling bangunan lama; mepet betul karena memang sudah tak ada lahan untuk perluasan bangunan. Shalat berjamaah tetap jalan …


Sampai tak lagi kudengar kumandang adzan maghrib pada Rabu senja 8 Januari. Anakku bilang, “Bagian dalamnya langgar sudah dihancur. Aku lihat waktu ngaji tadi siang.” Jadi nggak bisa lagi digunakan untuk shalat berjamaah.


Beberapa bulan yang lalu, warga Komplek Maritam diundang untuk musyawarah tentang rehab/renovasi langgar. Bertempat di langgar, suatu malam selepas isya’. Kepada forum, panitia yang mengundang tidak bertanya perlu/tidaknya merehab langgar. Juga tidak bertanya bagian mananya yang direhab. Kepada forum, panitia memberitahukan rencana rehab, plus RAB yang memerlukan dana 700 sekian juta rupiah. Berarti sudah lama ada rencana untuk merehab itu.


Disampaikan juga, bahwa panitia telah mengajukan proposal permintaan bantuan kepada pemda, dan mendapat bantuan 35 juta. Mungkin, yang menjadi masalah bagi mereka adalah, dana 35 juta yang telah diterima itu harus ada pertanggungjawabannya, harus ada wujud pekerjaannya.


Apakah gara-gara menerima 35 juta itu pekerjaan yang sedang berjalan ini dilaksanakan? Entahlah.


Aku sudah mengetahui adanya usulan itu sebelum malam musyawarah itu, yaitu sewaktu proposal permintaan bantuan masuk ke kantor pemda. Dan sudah sejak itu pula aku tidak setuju.


Dalam pandanganku, langgar itu masih dalam kondisi baik. Dinding, kayu-kayu, kaca, peralatan, semua baik. Tidak ada juga atap bocor. Dan kapasitasnya cukup saja—mengingat untuk shalat sehari-hari jamaahnya tidak penuh juga; rata-rata 2-3 shaf saja terisi (dari kapasitas total 7 shaf yang dibagi 4 shaf untuk laki-laki, 2 shaf untuk perempuan, dan 1 shaf untuk pembatas). Jamaah perempuan untuk shalat berjamaah sehari-hari hanya terisi tak lebih dari 5 orang—bahkan tak jarang kosong, terutama waktu dhuhur dan ashar.


Bagiku, langgar di Komplek Maritam itu sangat sederhana, namun sudah sangat memadai untuk menampung warga melakukan kegiatan sebagaimana mestinya. Lebar langgar itu hanya muat 11 orang dewasa per shaf, memanjang ke belakang 7 shaf. Di bagian depan, tempat berdirinya imam cukup longgar, dan di sebelahnya ada ruangan kecil untuk menyimpang peralatan. Tempat wudhu juga cukup memadai dengan 4 kran wudhu. Cukup memadai, mengingat tampaknya kebanyakan warga lebih suka wudhu di rumah sebelum berangkat ke langgar—kecuali anak-anak.


Dan, langgar itu juga bukan bangunan tua. Memang, sejak lama langgar Komplek Maritam ada di lokasi itu. Tetapi bangunan lama yang terbuat dari kayu sudah tak ada lagi. Yang kunikmati selama dua tahun aku tinggal di sana adalah bangunan permanen. Aku sempat bertanya kepada seseorang yang sudah lebih dari 15 tahun tinggal di lingkungan itu mengenai usia bangunan permanen langgar itu. Jawabnya, lebih dahulu cucunya lahir daripada bangunan itu. Si cucu belum lebih dari 10 tahun usianya. Saat ini kelas 3 SD.


Aku juga melihat dari sudut pandang yang sedikit berbeda. Kemakmuran rumah ibadah sepenuhnya diukur dari aktivitasnya, bukan dari nilai fisik bangunannya. Kalau dengan anggaran minim, sehingga bangunannya bergaya minimalis, tetapi setiap waktu shalat selalu dihadiri jamaah dalam jumlah yang cukup (syukur-syukur banyak), maka itu lebih utama dibanding aktivitas dan jumlah jamaah yang sama pada langgar yang berbiaya mahal. Buat apa bangga memiliki rumah ibadah mahal kalau shafnya tak pernah terisi penuh?


Itu semua hanya opiniku. Sama sekali tidak mencari referensi dalam kitab apapun. Asal mangap aja.


Malam itu, para peserta musyawarah tidak bersamaan pulangnya seusai forum. Aku bersama 2-3 orang berjalan beriringan. Kepadaku, mereka menyatakan ketidaksetujuannya terhadap rencana rehab itu. Alasan mereka, semua bagian bangunan langgar itu masih baik, masih kuat, dan ceteris paribus tak akan terjadi apa-apa hingga setidaknya lima ke depan.


“Tapi siapalah kita ini? Mereka tidak akan mendengarkan kita. Ya, sudahlah, terserah mereka saja mau diapakan langgar itu,” ucap salah satu dari mereka.

However, sisi baiknya adalah munculnya kesempatan untuk berwakaf dan mengharap pahala jariyah di depan hidungku.