Kamis, 08 Desember 2016

Juara Bukan Sekadar Yang Paling Kencang



Ini tulisan yang semula hanya ingin mengungkap uneg-uneg, dan sempat saya batalkan untuk posting. Tapi kok sayang juga kalau nggak diposting. Hehe ...

Maaf, ternyata saya nggak tahan untuk nggak menuliskan ini. Tentang kejuaraan formula 1.

Tentang upaya Lewis untuk mempertahankan gelar juara dunia di balapan—yang kata orang—paling bergengsi itu. Ia sudah melakukan segala yang harus ia lakukan untuk menang, tetapi ternyata ia tidak bisa sendirian menentukan hasilnya. Apakah itu adil (fair)?

Well, Lewis sendiri meraih gelar juara dunia pertamanya di seri terakhir musim balap 2008 dengan Felipe Massa berada pada posisi seperti Lewis di seri terakhir 2016. Saat itu, Felipe datang berlomba dengan defisit beberapa poin saja dari Lewis. Dan Felipe berhasil mengatasi segala kendala (termasuk cuaca) dan memenangi balapan. Lewis sendiri—hingga tikungan terakhir pada lap terakhir di seri terakhir musim 2008 itu—(sebenarnya) hanya bisa finis di posisi yang tidak memberinya cukup poin untuk surplus dibanding Nico.

Momen Felipe 2008 itu bahkan jauh lebih menyakitkan dibanding Lewis 2016. Di 2016, Lewis gagal juara dunia karena sang pesaing, Nico Rosberg, memang cukup kencang untuk terus mengamankan perolehan poinnya. Sedangkan di 2008, Lewis tidak cukup kencang untuk mengejar Felipe, bahkan untuk sekadar mengekor di belakangnya pun tidak. Di akhir musim 2008, Lewis bisa meraih gelar juara dunia—salah satu faktor pentingya adalah—karena ada seseorang di depannya yang melintir sehingga ia naik satu posisi—dan itu memberinya keunggulan 1 (satu) poin atas Felipe. Kalau saja di tikungan terakhir lap terakhir seri terakhir musim 2008 itu tidak ada pembalap yang melintir, yang meraih gelar juara dunia pertama kali pada saat itu pastilah Felipe, bukan Lewis.

Jadi, Lewis sedang menerima balasan atas kemenangan dan gelar juara dunia pertamanya di akhir musim 2008. Hanya saja lebih ringan kadarnya.

Kemudian tentang taktik Lewis di lap-lap terakhir di balapan terakhir musim 2016 ini, di Yas Marina, ketika ia melambatkan mobilnya dengan harapan Sebastian dan Max bisa mengganggu kenyamanan Nico di posisi kedua. Kritikan yang pertama kali ditampilkan oleh media adalah yang berasal dari timnya sendiri. Perintah tim yang ditolaknya.

Terlepas dari pembelaan oleh bos tim Red Bull (Christian Horner), Lewis memang tidak sedikitpun melanggar aturan dengan tindakannya itu.

Lagipula, seorang juara bukanlah semata-mata siapa yang paling kencang lajunya, melainkan dia yang paling mampu mengatasi segala macam kendala. Termasuk menghindari kecelakaan, menjaga mesin atau gearbox agar tetap optimal saat balapan, menjaga diri dari kecelakaan di saat maupun luar balapan, dan sebagainya ... termasuk menempatkan pesaing pada posisi yang lebih menyulitkan--tanpa melanggar peraturan.

Itulah sebabnya Nico tetap bisa dinobatkan jadi juara dunia walaupun ia kalah jumlah podium maupun juara seri dari Lewis. Itulah sebabnya Nicky Hayden bisa menjadi juara motoGP 2006. Ayah Nico (Keke Rosberg) pun menjadi juara dunia 1982 dengan hanya satu juara seri di tangannya.

Dan seingatku tulisan inipun belum kuselesaikan. Tapi sudahlah, sudah telanjur posting. Mungkin memaksa posting ini karena tempo hari Nico mengumumkan dirinya pensiun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

di sini boleh komen