Selasa, 25 Agustus 2015

Aneh dan Menyebalkan


Dolar sedang mahal. Atau rupiah yang memang melemah?

Banyak yang kecewa karena rezim yang sedang memerintah negeri ini ternyata tidak memenuhi ramalan juru tenung ekonomi yang dulu mengatakan bahwa kalau si A jadi presiden maka nilai tukar rupiah akan sekian.
Banyak juga yang memberi alasan yang menjelaskan mengapa harga dolar menanjak. Tentu, alasan yang diberikan tidak sembarangan alias disortir dulu supaya tidak terkesan ngeles atau seperti alasan yang dicari-cari.

Para eksportir biasanya menyukai kenaikan harga dolar. Apalagi kalau kontrak penjualan mereka menggunakan mata uang berwarna suram itu. Saya sendiri pernah menjadi saksi sekaligus penikmat dari kombinasi mahalnya nilai dolar dan arus ekspor yang bagus.

Adalah Jepara di tahun 1998. Kabupaten di Jawa Tengah itu dikenal sebagai penghasil mebel kayu berkualitas ekspor. Dan memang, mebel kayu adalah salah satu tiang utama penyangga perekonomian Jepara—semoga sampai sekarang dan seterusnya. Ketika darah-daerah lain di Indonesia sengsara oleh hantaman krisis ekonomi (kita mengenalnya dengan sebutan krismon alias krisis moneter), Jepara justru mengalami masa kejayaan. Puluhan kontainer keluar dari Jepara setiap hari, menuju pelabuhan peti kemas. Ratusan angkutan umum dari daerah-daerah di sekitar Jepara setiap pagi penuh penumpang menuju Jepara. Yang memenuhi tak lain adalah orang-orang yang—karena berbagai faktor—rela bekerja sebagai buruh amplas atau pekerjaan-pekerjaan lain yang mengandalkan fisik di industri mebel kayu.

Saat itu, saya tinggal di daerah lain dengan dukungan biaya hidup yang dihasilkan dan dikirim dari Jepara. Saya bisa melihat betapa sengsaranya masyarakat di kota tempat tinggal saya saat itu akibat krismon, dan pada saat yang sama, merasakan betapa orang tua saya memiliki kemampuan pembiayaan yang lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Itulah yang membuat saya tidak menyukai melemahnya nilai tukar rupiah saat ini. Karena bisnis mebel di Jepara tidak lantas melambung tinggi. Dolar mahal kok orang mebel nggak jadi kaya? Ini aneh. Aneh tapi menyebalkan.

Baiklah. Dolar mahal, rupiah terpuruk. Lalu apa yang berani kita lakukan? Maukah kita membeli tempe yang dibuat dari kedelai hasil panen petani kita sendiri? Maukah para pengrajin tempe berkompak untuk keukeuh menggunakan kedelai dalam negeri—walaupun butirannya tidak sejumbo kedelai dari amrik—dan “memaksa” kita tetap membelinya? Maukah kita menggunakan ponsel yang dirakit di dalam negeri saja daripada ponsel top-brand yang masuk ke negeri kita dalam kondisi siap pakai? Maukah kita tidak makan gandum dan produk olahannya? … karena gandum tidak tumbuh di negeri tropis—yang berarti segala macam gandum dan hasil olahannya berasal dari impor. Maukah kita membeli buah pisang dari pedesaan kita, alih-alih buah-buahan impor?

Kalau tidak mau, ya sudahlah. Tidak usah berkeluh kesah dolar mahal atau ponsel android dan tempe naik harga. Cuma bikin capek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

di sini boleh komen