Jumat, 21 Agustus 2015

Berjuang Kalah, Berdiam Lawan Tak Menang

(Asyem! Udah nulis mingu-minggu kemaren, ternyata lupa mem-posting ....)


 “Mengalah untuk menang.” Begitu bunyi pepatah atau kalimat bijak tempo dulu. Masihkah relevan?

Bukan hanya relevan, tapi tampaknya justru diterapkan untuk “bertarung” dalam konteks pemilihan kepala daerah (pilkada) di negeri kita.

Kita tahu, KPU mengambil langkah efisiensi yang sangat signifikan dengan menyerentakkan pilkada di negeri ini—pada ‘kesempatan pertama’ adalah untuk daerah-daerah yang masa tugas kepala daerahnya berakhir pada rentang entah bulan apa 2015 hingga entah bulan apa 2016 (tanggal dan bulan tepatnya nggak terlalu penting dalam obrolan ini, saya kira).

Masa pendaftaran bakal calon kepala daerah [berikut wakilnya] adalah tiga hari di pekan terakhir Juli lalu. Itu yang ‘masa normal’-nya. Saya bilang ‘normal’ karena ternyata ada beberapa daerah yang tidak mendapatkan apa-yang-diperlukan untuk melaksanakan pilkada.

Beberapa contoh daerah yang tidak mendapatkan itu misalnya Surabaya, Blitar, Timor Tengah Utara dan Tasikmalaya. Di daerah-daerah itu—dan beberapa lainnya—hanya ada sepasang bakal calon kepala daerah yang mendaftar ke KPU. Artinya, mereka tidak memiliki lawan tanding. Tak ada yang hendak melawan mereka berebut kursi pemimpin daerah.

(Membaca koran tadi pagi, Surabaya sudah memiliki satu lagi pasangan yang mendaftar ke KPU. Finally ….)

Apakah partai-partai yang tidak mengusung dan/atau tidak mendukung pasangan calon pemimpin daerah adalah partai-partai yang kalah? Tidak. Mereka belum kalah. Mereka yang memilih untuk tidak mengajukan pasangan calon pemimpin pasti bukan karena menyerah. Setidaknya, mereka tahu mereka akan sulit menang tetapi tetap berupaya untuk membuat kubu seberang tidak menang.

Surabaya adalah contoh paling mudah. Semua orang tahu betapa populernya bu Risma. Reputasi bu Risma adalah yang tidak mau tunduk kepada partai pengusungnya—yang pernah sok galak sambil sangat paham bahwa sang petahana adalah “jaminan mutu” untuk memenangi pilkada—dan terkenal ke mana-mana seantero Surabaya. Mengajukan diri sebagai tandingan bu Risma di pilkada—dalam logika dangkal saya—hampir bisa diterjemahkan sebagai tindakan bunuh diri.

Tampaknya hanya Tuhan sajalah yang mampu membendung popularitas bu Risma. Tapi, adalah peraturan dari KPU yang memberi celah untuk menggagalkan bu Risma jadi walikota periode berikutnya. Peraturan itu adalah klausul yang mengatakan bahwa pilkada tidak bisa dilaksanakan bila tidak ada lawan tanding alias hanya ada satu pasangan calon pemimpin.

Gampang, kan? Daripada mengajukan pasangan calon dan jelas-jelas akan kalah, mending tidak mengajukan dan lawan batal menang. Sebuah bentuk kreativitas dalam dunia politik. ^_^ *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

di sini boleh komen