Rabu, 24 Juni 2020

Pilkada [Kenapa Nggak] Online?


Aku pernah mengikuti survei online. Juga, ulangan anak sekolah edisi pandemi covid-19—yang dikerjakan di hp ibunya di rumah. Sekali mengirimkan isian/jawaban atas sejumlah pertanyaan, kita tidak bisa mengulanginya dengan identitas yang sama.

Aku jadi bertanya-tanya, kenapa pilkada 2020 tidak dilakukan dengan cara itu saja? Apakah itu terlalu mudah diganggu—dimanipulasi, di-hack atau sejenisnya? Ataukah karena datanya bisa masuk ke negara lain—via google atau siapa yang memfasilitasinya.

Terlepas dari kemungkinan kendala-kendala tersebut—yang pasti bisa saja diatasi atau dicarikan solusinya—penggunaan cara teknis pemberian suara itu sangat sederhana. Setiap warga negara bisa memilih melalui ponsel dengan akses internet masing-masing, dan cukup di rumah saja. Kecuali yang tidak punya ponsel semacam itu. Tinggal sebarkan link, tentukan kapan dan dari jam berapa sampai jam berapa link tersebut dapat diakses dan mengirimkan partisipasi suara, dan tetap kompori (kampanyekan) agar para pemilik hak suara berpartisipasi memilih pemimpian daerahnya.

Identitas yang digunakan untuk memilih adalah NIK (Nomor Induk Kewarganegaraan). Jika NIK yang digunakan tidak termasuk sebagai pemilik hak pilih dalam pilkada tersebut, maka otomatis tidak masuk hitungan, atau tidak dapat mengirimkan suara (pilihan politiknya). Seperti halnya jika seorang siswa kelas 3C tapi dalam ulangan online mencantumkan data dirinya sebagai warga kelas 3F; akan gagal kirim atau tidak masuk hitungan.

Bagi yang tidak memiliki ponsel dengan akses internet, atau tidak memiliki paket data, atau di desanya tidak ada koneksi internet, mereka bisa datang ke TPS. Dalam hal ini, TPS-nya juga lebih sederhana. Di sana, KPU cukup menyediakan ponsel dan koneksi internet untuk pemilih agar bisa mengakses link dan memberikan suaranya secara online.

Mungkin pilkada gaya ini lebih sederhana dan lebih hemat biaya. Atau?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

di sini boleh komen