Rabu, 03 Juni 2015

Mundur Kok Nunggu Terpilih Dulu


Saya bukan penggemar sepakbola. Hanya pernah sesekali selintas-lalu mendengar kalimat dari speaker tipi atau melihat judul berita di koran atau di situs entah-apa tentang sepakbola. Tepatnya, tentang dibekukannya PSSI dan berhentinya liga sepakbola negeri ini, tentang ngototnya Sepp Blatter untuk nggak mundur dari pencalonan presiden FIFA, dan juga tentang mundurnya si Sepp setelah terpilih.

Saya bukan warga yang terlalu peduli dengan nasib sepakbola, tetapi sekadar kasihan kepada para pemain yang nggak bisa bekerja selain bermain sepakbola. Saya kasihan mereka menjadi pengangguran.

Saya bukan orang yang paham organisasi sepakbola, tetapi sekadar tebersit ‘tuduhan’ pribadi saya kepada si presiden. Menjelang—hingga beberapa hari sebelum—pemilihan presiden FIFA, ada pihak-pihak yang memintanya untuk mundur. Mungkin bukan sekadar meminta, tetapi sudah sampai menuntut. Kabarnya, banyak korupsi di dalam organisasi sepakbola level planet itu.

Sependek yang saya tahu, saat itu Sepp menolak untuk mundur dari status kandidat. Penolakan itu bahkan mengandung penekanan, alias ada nada intensif dalam penolakan itu.

Lha kok setelah terpilih, hanya beberapa hari setelah terpilih, tahu-tahu dengar kabar dia mengundurkan diri? Merasa nggak mendapat dukungan, katanya.

Nah, itulah yang membuat saya berkomentar, “Ngajak nggak enak nih si Sepp.” Lha kalau memang mau mundur, kenapa nggak sebelum terpilih? Apa dia tengsin kalau saat itu mundur? Tengsin kalau dikatakan mundur karena tuntutan para haters? Kalau dia mundur setelah terpilih, kan jadi merepotkan orang untuk memilih presiden lagi. Memilihnya pun harus pakai kongres, jadi harus bikin kongres lagi. Kalaua dalam istilah negeri kita, namanya kongres luar biasa.

Well, saya bukan penggemar sepakbola. Bukan pula pemerhati sepakbola. Tidak pula paham organisasi sepakbola. Bahkan, tidak pernah menonton siaran pertandingan sepakbola dari menit nol sampai 90 kecuali beberapa pertandingan final Piala Dunia.

Mendengar kabar Sepp mengundurkan diri setelah beberapa hari saja terpilih, saya hanya teringat pada tindakan pak Harto pada suatu Kamis pagi 17 tahun lalu. Saat itu, pengunduran diri sang presiden diartikan sebagai kemenangan perjuangan para reformis. Tapi sampai sekarang tidak banyak yang bilang bahwa negeri ini lebih baik dibanding sebelum momen pengunduran diri itu.

Hanya saja, kita harus sadar dan jujur, jika saat itu sang presiden tidak mengundurkan diri, belum tentu kita bebas menuliskan opini pribadi, apalagi mengata-ngatai rezim seperti yang sehari-hari kita lakukan sejak awal abad ini.

Semoga nasib FIFA tidak seperti Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

di sini boleh komen