Selasa, 13 Oktober 2015

Kukira Lugu, Ternyata LUarrrbiasa GUobloknya



Hampir dua pekan ini, ada sebuah fenomena lucu di kampung facebook chapter Hulu Sungai Kalimantan Selatan. Kalau mau lebih spesifik, wilayahnya sekitar Balangan … dan sangat mungkin hulu sungai tengah, karena ada sebuah lembaga yang disebut-sebut dalam teks-teks menggelikan di chapter facebook tersebut.

Adalah sebuah akun facebook bernama R**a*su****I yang mengirimkan friend request ke akunku. Seperti biasa, kuterima saja. Biasanya, setelah ku-confirm dan aku ada waktu, kulihat-lihat dulu profil, postingan dan teman-teman akun tersebut. Kalau alay dan aku merasa tidak akan mendapat manfaat apa-apa dari pertemanan kami, biasanya aku tidak follow … atau kublokir.

Tak lama setelah friend request itu ku-confirm, postingan statusnya mulai nongol di wall-ku. (Eh, namanya masih wall atau sudah ganti jadi timeline? Whatever it is, you know what I mean, don’t you?)

Pada awalnya, aku mengira asumsiku benar: dia adalah newbie alias anak baru di facebook. Masih lugunya terlihat dari nama yang dia gunakan sebagai akun: [terkesan] seperti nama betulan, tidak diubah sedikitpun; tidak seperti nama akun anak-anak alay yang boros karakter dan sulit dibaca. Dengan postingan-postingan nggak pentingnya, ia menceritakan bahwa ia akan menikah. Nama calon suaminya disebut dengan sangat jelas, bukan dengan ejaan alay. 

Tidak alay? Enggak juga. Ia tidak alay dalam menyebut nama orang dan nama desa/tempat. Tapi kata-kata lain lumayan alay. Khas [buruk] anak-anak usia ABG yang mengenal komunikasi via gadget elektronik.
Baik, kembali ke lugunya. Selain nama calon suaminya, ia juga menyebutkan dengan sangat jelas nama dirinya, nama adiknya, nama desa tempat tinggalnya, lokasi rumahnya, nama almamaternya. Semuanya dengan ejaan yang jelas, tidak alay. Well, keluguan ini sudah mengarah ke kecerobohan, bukan?

Beberapa jam menjelang pernikahannya, ia juga pasang status tentang itu. Ia informasikan via facebook. Apa tanggapan teman-teman di facebook? Seperti biasa: ucapan selamat.

Kemudian, lugu dan corobohnya itu mulai berubah menjadi bodoh. Ia mempost status yang menceritakan tentang perasaan pribadinya, tentang perasaannya menunggu malam pertama ‘menjamu’ suaminya. Tidak dengan kalimat seperti yang saya tuliskan ini, tetapi dengan pilihan kata yang vulgar. Beberapa temannya menangkap kesan murahan. Beberapa menyayangkan karena mereka tahu almamater si R**a*su****I itu mencakup pula dua buah pondok pesantren. Anak pesantren macam apa yang di media sosial mengatakan pukinya gatal sudah ingin bermalam pertama? Lalu pula menceritakan menginformasikan suara ah uh ah uh yang mereka buat dan situasi kamar-kamar saudara mereka yang berdekatan? Juga rasa sakit di puki yang ia masih rasakan setelah diperawani suaminya? (Hadeh, kok aku jadi ikut-ikutan vulgar?)

Beberapa temannya, mungkin yang memang mengenalnya, atau minimal yang berbaik sangka, mengomentari tidak percaya dan berharap itu ulah hacker.

Lucunya kemudian, si pemilik akun lantas berkali-kali menuliskan bantahan. Berkali-kali ia mengklarifikasi bahwa semua status itu memang dia yang bikin. Bahwa akun facebooknya tidak sedang dibajak oleh siapapun. Juga, bahwa memang begitulah kelakuannya—dan minta dimaklumi. Bahkan, ia menyebut teman-teman yang mengatakan akunnya dibajak itu sebagai berburuk sangka.

Bagitu, itu berarti dia tidak lagi bodoh. Itu lebih tepat dikategorikan sebagai “nggak punya otak” atau minimal idiot. Betapa malunya teman-teman sealmamaternya [dan juga institusi pondok pesantren yang pernah menerimanya] mengetahui ada sesama mereka yang seidiot itu. Sangat mudah dibayangkan, menurutku.
Baiklah. Tidak usah lagi kusebut-sebut akun itu. Aku sudah memblokirnya.

Yang aku heran, tidakkah sekolah atau pondok pesantren atau lembaga pendidikan apapun mendidik murid-muridnya untuk memiliki rasa malu? Saya yakin, semua melakukan itu. Sayangnya, tidak semua murid memahami apa itu media sosial, apa itu rasa malu, apa itu berbaik sangka.

Yang aku heran, hari gini masih ada anak perempuan [alumni pondok pesantren pula] seidiot itu?
Aku sejak awal mau menegurnya. Tapi kuputuskan kutunda dulu. Kuikuti perkembangannya, ternyata semakin parah. Dan itu tadi, teman-teman yang mengingatkannya, bahkan yang mencoba melindungi nama baiknya, ia katakan sebagai berburuk sangka, tidak berakal, dan sejenis itu.

So, what else can I say or do? Daripada aku menegurnya—pasti dengan kosakata yang sangat tidak sopan atau menusuk hati—lalu kuputuskan untuk memblokirnya saja. Mudah-mudahan ‘ketidakpedulianku’ kali ini tidak berakibat semakin buruknya dunia ini.


However, aku sedih banget. Jika masih ada pemuda-pemudi kita yang selugu ini (lugu = luarrrbiasa guobloknya), mau jadi apa bangsa ini?
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

di sini boleh komen