Senin, 26 Oktober 2015

Kabut Asap, Hujat, Mangap


Beberapa pekan belakangan ini perhatian di negeri kita sedang disibukkan oleh kabut asap. Bencana? Iya, bencana. Tapi kalau itu ditetapkan sebagai bencana nasional, saya pribadi kurang setuju. Tidak perlu status atau kategori apa, kabut asap ya kabut asap.

Mengapa tidak setuju? Karena saya khawatir tentang perpindahan tanggung jawabnya. Jika kabut asap itu berasal dari ulah manusia, tidakkah sebaiknya kita tuntut tanggung jawab si manusia itu?

Kasus penetapan luapan lumpur di Sidoarjo sebagai bencana nasional mengubah nama aslinya: lumpur lapindo. Dampaknya, bukannya lapindo yang harus bertanggung jawab, malah duit negara yang digunakan untuk memberi santunan [atau ganti rugi atau apapun namanya] kepada para korban. Jika lapindo yang mengebor/menggali hingga ke sumber lumpur itu, maka dialah yang harus bertanggung jawab. Jika ada perusahaan yang menyuruh pembakaran lahan, merekalah yang seharusnya bertanggung jawab dan mendanai segala penanggulangan dampaknya.

Negara sudah cukup banyak “diporoti” untuk memadamkan api. Jangan bebaskan pihak yang seharusnya bertanggung jawab dengan menyatakan kabut asap sebagai bencana nasional.

Dan … entah berapa kali aku melihat di media sosial dan di media massa, mereka mudah sekali berkomentar dan menghujat. Saya bukan penggemar Jokowi, dan saya juga berkali-kali tidak sepaham dengan kebijakan pemerintah. Tapi, menghujat pemerintah atas bencana kabut asap itu apa gunanya? Apakah hujatan itu bisa mengurangi kepekatan asap?

Atau, apakah mereka yang menghujat itu pernah membantu mengurangi atau mencegah bertambahnya kabut asap yang melanda Kalimantan, sebagian Sumatra dan beberapa negara tetangga itu?

Beberapa hari lalu aku bertemu dengan seorang teman yang bekerja di sebuah rumah sakit. Dan tidak jauh dari tempat kerjanya itu ada lahan (hutan) yang terbakar. Ia bilang, sejumlah tim pemadam kebakaran memang mendatangi lokasi itu, tetapi 10 buah selang pemadam yang disambung-sambung tidak berhasil mencapai semua titik api (berapa panjang satu selang pemadam kebakaran? 30 meter? Lebih.). Beberapa titik tidak terjangkau karena harus melewati jurang.

Temanku sempat singgah di tepi jalan terdekat ke lokasi itu. Di sana, jumlah personel tidak sebanding dengan peralatan yang tersedia—dan api yang ada. Jadi, siapapun yang mau membantu, tidak hanya dipersilakan melainkan langsung ditunjukkan alat mana yang bisa dibawa, apa yang harus dilakukan, ke arah mana, dan sebagainya. Yup! Siapapun bisa merasakan serunya jadi relawan pemadam kebakaran hutan.
Apakah orang-orang yang menghujat itu pernah berada di sana, di lokasi kebakaran, dan bergabung membantu para relawan pemadam kebakaran hutan?

Hari ini aku membaca berita di koran. Ini sedikit kutipannya:

Petugas yang siaga di posko sekitar 15 orang setiap harinya. Namun saat ada kebakaran, semua relawan selalu siap siaga untuk terjun ke lapangan memadamkan api.
Ketulusan para relawan dalam ikkut  memadamkan api tampak saat mereka melupakan kepentingan pribadi, yaitu makan dan minum, karena banyaknya titik api yang harus dipadamkan berturut-turut.
“Mau bagaimana lagi, sementara kita makan dan minum, api pasti tambah meluas dan kerugian bertambah. Paling kita curi-curi waktu untuk makan saat berada di atas mobil yang melaju kencang mengejar lokasi kebakaran,” kata Anuy, anggota BPK Balakar.
“Relawan yang turut membantu memadamkan kebakaran atas dasar kemanusiaan, tanpa imbalan insentif. …”

Anda yang menghujat, apa yang sudah anda lakukan untuk membantu memadamkan api dan mengurangi asap kebakaran hutan dan lahan di negeri ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

di sini boleh komen