Selasa, 28 Mei 2019

Menagih Hutang?


Aku masih saja mendapati “curhat” tentang hutang dari teman-teman di facebook. Entah berupa postingan status, meme, kisah yang dibagikan, apapun. Intinya, yang bertopik sengsaranya orang yang mau menagih hutang, kurang ajarnya debitur (orang yang hars bayar hutang) dan  semacam-semacam itu.

Mulai dari dalil agama, permintaan untuk berempati, kebutuhan, dan banyak argumen ditampilkan. Semua bertujuan sama: mengingatkan atau menyuruh si peminjam untuk segera melunasi hutangnya.
Aku sendiri terhitung jarang berkomentar di postingan-postingan semacam itu. Kalaupun komen ya isinya tertawa aja. Bukan karena aku tidak mengalami derita yang sama. Bukan.

Dari dulu duitku juga banyak yang tersangkut di teman-temanku. Waktu pinjamnya selalu ada alasan atau keperluan mereka. Ada yang bilang untuk beli kayu untuk dibawa pulang dan nanti kita jual sama-sama. Ada yang kasihan pada anaknya yang mau ulang tahun tapi papa-mamanya sedang bokek. Ada yang untuk perbaiki AC mobil karena sedang dalam perjalanan untuk menagih hutang ke pembeli yang macet pembayarannya. Ada yang untuk membeli beras. Ada yang untuk menalangi pembelian barang kantor dan akan dikembalikan setelah pencairan di bendahara. Ada yang untuk membeli obat. Macam-macam.

Apakah aku gigih menagih? Tidak. Bahkan, ada yang sama sekali tidak kutanyakan—meskipun kami tetap bertegur sapa setiap kali bertemu. Ada yang sesekali aja kutanyai soal kapan mau bayar hutangnya. Tapi tidak satupun yang kutagih terus-terusan. Aku hanya yakin kalau mereka ingat pernah meminjam duit dariku dan belum mengembalikannya.

Kenapa aku nggak gigih menagih hutang? Apakah karena aku sudah berkecukupan dalam perkara duit? Mungkin.

Tapi yang lebih tepatnya, sikapku tidak menagih hutang itu karena aku nggak mau membebani diri sendiri. Bagiku, perihal hutang itu mereka yang berkewajiban membayarnya. Aku tidak ada kewajiban apa-apa. Kalau hutang itu tidak dibayar—padahal mereka pernah ingat dan sengaja tidak membayarkan ketika mereka sedang punya duit—maka segala konsekuensinya (dosa, azab, reputasi buruk, apapun) itu bukan aku yang menanggungnya.

Beberapa orang berpendapat, bahwa si pemilik duit juga wajib mengingatkan si peminjam untuk membayar hutangnya. Well, kalau itu mungkin iya. Dalam kasusku, aku sekadar menjaga mereka tetap ingat. Kalau bertemu, dengan mengangkat alis sedikit aja sudah mengingatkan mereka tentang hutang yang belum dibayar.

Bagi mereka yang menghilang dan sama sekali hilang kontak, jelas kewajibanku sudah beres. Jadi, aku nggak merasa perlu membebani diriku sendiri lebih banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

di sini boleh komen