Selasa, 07 Mei 2019

Kurma dan Air; Makanan Biasa, Tidak Mahal, dan Tidak Susah Mencarinya


Pernah mendengar hadis yang artinya seperti berikut ini?

Dari Anas bin Malik ia berkata : "Adalah Rasulullah berbuka dengan rutab (kurma yang lembek) sebelum shalat, jika tidak terdapat rutab, maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering), maka jika tidak ada kurma kering beliau meneguk air. (Hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud)

atau

Nabi Muhammad Saw berkata : "Apabila berbuka salah satu kamu, maka hendaklah berbuka dengan kurma. Andaikan kamu tidak memperolehnya, maka berbukalah dengan air, maka sesungguhnya air itu suci."

Banyak yang mempertanyakan apakah kurma sama dengan “yang manis-manis” sehingga memunculkan ajaran/anjuran untuk berbuka dengan yang makanan atau minuman yang berasa manis. Atau anjuran untuk berbuka puasa dengan makanan/minuman yang mengandung zat tertentu.
Dan aku tidak ingin ikut-ikutan membahasnya.

Aku punya pertanyaan sendiri, yaitu “Apakah persamaan antara kurma dan air?” dan “Mengapa Rasulullah SAW [menyuruh orang] berbuka puasa dengan kurma atau air?” Apa kesamaan keduanya sehingga Rasulullah SAW menggunakan keduanya sebagai pilihan [dengan prioritas] untuk berbuka dan menyuruh orang melakukan hal yang sama? Dalam nalarku yang tak seberapa, “bila tidak ada kurma, maka beliau meneguk air” itu seperti kondisi “tidak ada akar, maka rotan pun jadi” atau “kalau tak ada nasi pecel ya biarlah singkong rebus semalam jadi menu sarapanku.”

Tidak banyak referensi yang saya peroleh. Tapi saya nekat menjawab pertanyaan itu. Pertanyaanku sendiri, jadi kenapa tidak kujawab sendiri saja?

Saya belum pernah berkunjung ke petak manapun di Timur Tengah, atau RT manapun di jazirah Arab, atau gurun pasir manapun. Saya cuma tahu kurma adalah buah yang pohonnya banyak tumbuh di sana dibanding di tempat-tempat lain. Dari hadis di atas, saya juga tahu kalau kurma itu sudah ada dan dimakan orang di kawasan Arab sana setidaknya sejak 15 abad yang lalu.

Saya juga tahu—dari cerita dan kisah-kisah—bahwa Muhammad SAW bukanlah orang kaya, tapi dia pernah memberi seseorang sebakul kurma. Artinya, kurma itu bukan makanan orang kaya. Sebakul kurma itu bisa dimiliki oleh orang pas-pasan [dan tidak suka menimbun stok makanan] seperti Muhammad SAW. Mungkin itu seperti seikat bengkoang di tepi jalan raya Prembun (Kebumen, Jawa Tengah) pada bulan yang tepat; banyak tersedia dan tidak mahal harganya.

Beda kondisinya dengan kurma di Indonesia jaman sekarang: kurma adalah buah impor yang dalam kemasan terkecil sekalipun harganya lebih mahal daripada seporsi nasi-sayur-telur di warung reyot.
Sedangkan air yang dari tadi disebut-sebut dalam artikel ini adalah air biasa, alias air putih, alias hasil keintiman atom-atom hidrogen dan oksigen. Dalam kondisi normal, benda ini berwujud cair dan jumlahnya paling banyak dibanding benda-benda cair lainnya di seluruh planet kita. Sedemikian banyaknya, sehingga hampir bisa ditemukan di dalam setiap rumah tangga di seluruh muka bumi, dari jaman baheula, jaman penjajahan, jaman sekarang, sampai jaman entah-apa-lagi-nanti. (Note: oke, saya belum pernah melongok ke dalam satu igloo-pun untuk melihat apakah ada stok air putih di dalamnya)

Dari kenyataan [atau khayalanku] tentang kurma dan air yang kuungkapkan di atas, kudapatkan kesamaan dari keduanya, yaitu bahwa kurma dan air adalah bahan pangan yang sangat mudah didapatkan sehari-hari, tidak perlu jadi kaya dulu untuk bisa memperolehnya, hampir tak pernah tidak tersedia di pasaran atau bahkan gratis—dalam konteks di tanah Arab era Nabi.

Intinya, tidak perlu upaya lebih dari kebiasaan sehari-hari untuk mendapatkannya. Tidak perlu menambah anggaran belanja untuk memperolehnya—kecuali harganya memang naik mengikuti harga bensin bersubsidi. Biasa aja, seperti yang dimakan pada tanggal 14 Muharram, atau 4 Shafar, atau 28 Dzulhijjah, atau 16 Rajab. Bila pada hari-hari itu aku makan nasi pecel, maka dengan nasi pecellah aku berbuka. Bila pada hari-hari itu aku minum air putih sebagai minuman utama, maka dengan air putih pula aku berbuka puasa.

Nggak perlu secara khusus beli kolak untuk berbuka puasa bila memang sehari-hari jarang makan kolak. Nggak perlu secara khusus membeli kurma untuk berbuka puasa bila memang sehari-hari tidak biasa makan kurma.

Tidak perlu menambah anggaran belanja pada bulan Ramadhan. Berpuasa itu dibatasi makan-minumnya, jadi seharusnya konsumsi dan belanjanya juga lebih terbatas alias lebih rendah dibanding hari-hari pada bulan lain.

Dan inilah khayalanku: bila itu bisa terwujud, maka tidak akan ada lagi berita tentang kenaikan harga sembako menjelang bulan puasa dan menjelang hari raya. Tidak akan ada lagi pejabat yang merilis berita tentang kecukupan stok daging menghadapi lebaran.

Puasa itu makan-minum-nafsunya dibatasi. Jadi, seharusnya lebih hemat menggunakan uang untuk konsumsi. Bukannya kesempatan untuk menganiaya kaum/bangsa sendiri dengan melonjakkan permintaan (demand) terhadap sembako sehingga harganya jadi gila-gilaan.

Untuk para ahli tafsir, atau teman-teman yang lebih paham tentang ajaran Rasulullah, bisa bantu "meluruskan" pemahaman saya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

di sini boleh komen