Pernah mendengar hadis yang artinya seperti berikut ini?
Dari Anas bin Malik ia berkata : "Adalah Rasulullah berbuka dengan rutab (kurma yang lembek) sebelum shalat, jika tidak terdapat rutab, maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering), maka jika tidak ada kurma kering beliau meneguk air. (Hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud)
atau
Nabi Muhammad Saw berkata : "Apabila berbuka salah satu kamu, maka hendaklah berbuka dengan kurma. Andaikan kamu tidak memperolehnya, maka berbukalah dengan air, maka sesungguhnya air itu suci."
Banyak yang mempertanyakan apakah kurma sama dengan “yang manis-manis”
sehingga memunculkan ajaran/anjuran untuk berbuka dengan yang makanan atau
minuman yang berasa manis. Atau anjuran untuk berbuka puasa dengan makanan/minuman
yang mengandung zat tertentu.
Dan aku tidak ingin ikut-ikutan membahasnya.
Aku punya pertanyaan sendiri, yaitu “Apakah
persamaan antara kurma dan air?” dan “Mengapa Rasulullah SAW [menyuruh orang]
berbuka puasa dengan kurma atau air?” Apa kesamaan keduanya sehingga Rasulullah
SAW menggunakan keduanya sebagai pilihan [dengan prioritas] untuk berbuka dan
menyuruh orang melakukan hal yang sama? Dalam nalarku yang tak seberapa, “bila
tidak ada kurma, maka beliau meneguk air” itu seperti kondisi “tidak ada akar,
maka rotan pun jadi” atau “kalau tak ada nasi pecel ya biarlah singkong rebus
semalam jadi menu sarapanku.”
Tidak banyak referensi yang saya peroleh. Tapi saya
nekat menjawab pertanyaan itu. Pertanyaanku sendiri, jadi kenapa tidak kujawab
sendiri saja?
Saya belum pernah berkunjung ke petak manapun di Timur
Tengah, atau RT manapun di jazirah Arab, atau gurun pasir manapun. Saya cuma
tahu kurma adalah buah yang pohonnya banyak tumbuh di sana dibanding di
tempat-tempat lain. Dari hadis di atas, saya juga tahu kalau kurma itu sudah
ada dan dimakan orang di kawasan Arab sana setidaknya sejak 15 abad yang lalu.
Saya juga tahu—dari cerita dan kisah-kisah—bahwa
Muhammad SAW bukanlah orang kaya, tapi dia pernah memberi seseorang sebakul
kurma. Artinya, kurma itu bukan makanan orang kaya. Sebakul kurma itu bisa
dimiliki oleh orang pas-pasan [dan tidak suka menimbun stok makanan] seperti
Muhammad SAW. Mungkin itu seperti seikat bengkoang di tepi jalan raya Prembun
(Kebumen, Jawa Tengah) pada bulan yang tepat; banyak tersedia dan tidak mahal
harganya.
Beda kondisinya dengan kurma di Indonesia jaman
sekarang: kurma adalah buah impor yang dalam kemasan terkecil sekalipun
harganya lebih mahal daripada seporsi nasi-sayur-telur di warung reyot.
Sedangkan air yang dari tadi disebut-sebut dalam
artikel ini adalah air biasa, alias air putih, alias hasil keintiman atom-atom
hidrogen dan oksigen. Dalam kondisi normal, benda ini berwujud cair dan
jumlahnya paling banyak dibanding benda-benda cair lainnya di seluruh planet
kita. Sedemikian banyaknya, sehingga hampir bisa ditemukan di dalam setiap
rumah tangga di seluruh muka bumi, dari jaman baheula, jaman penjajahan, jaman
sekarang, sampai jaman entah-apa-lagi-nanti. (Note: oke, saya belum pernah
melongok ke dalam satu igloo-pun
untuk melihat apakah ada stok air putih di dalamnya)
Dari kenyataan [atau khayalanku] tentang kurma dan air
yang kuungkapkan di atas, kudapatkan kesamaan dari keduanya, yaitu bahwa kurma
dan air adalah bahan pangan yang sangat mudah didapatkan sehari-hari, tidak
perlu jadi kaya dulu untuk bisa memperolehnya, hampir tak pernah tidak tersedia
di pasaran atau bahkan gratis—dalam konteks di tanah Arab era Nabi.
Intinya, tidak perlu upaya lebih dari kebiasaan
sehari-hari untuk mendapatkannya. Tidak perlu menambah anggaran belanja untuk
memperolehnya—kecuali harganya memang naik mengikuti harga bensin bersubsidi. Biasa aja, seperti yang
dimakan pada tanggal 14 Muharram, atau 4 Shafar, atau 28 Dzulhijjah, atau 16
Rajab. Bila pada hari-hari itu aku makan nasi pecel, maka dengan nasi pecellah
aku berbuka. Bila pada hari-hari itu aku minum air putih sebagai minuman utama,
maka dengan air putih pula aku berbuka puasa.
Nggak perlu secara khusus beli kolak untuk berbuka
puasa bila memang sehari-hari jarang makan kolak. Nggak perlu secara khusus
membeli kurma untuk berbuka puasa bila memang sehari-hari tidak biasa makan kurma.
Tidak perlu menambah anggaran belanja pada bulan
Ramadhan. Berpuasa itu dibatasi makan-minumnya, jadi seharusnya konsumsi dan
belanjanya juga lebih terbatas alias lebih rendah dibanding hari-hari pada
bulan lain.
Dan inilah khayalanku: bila itu bisa terwujud, maka
tidak akan ada lagi berita tentang kenaikan harga sembako menjelang bulan puasa
dan menjelang hari raya. Tidak akan ada lagi pejabat yang merilis berita
tentang kecukupan stok daging menghadapi lebaran.
Puasa itu makan-minum-nafsunya dibatasi. Jadi,
seharusnya lebih hemat menggunakan uang untuk konsumsi. Bukannya kesempatan
untuk menganiaya kaum/bangsa sendiri dengan melonjakkan permintaan (demand) terhadap sembako sehingga
harganya jadi gila-gilaan.
Untuk para ahli tafsir, atau teman-teman yang
lebih paham tentang ajaran Rasulullah, bisa bantu "meluruskan" pemahaman saya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
di sini boleh komen