Selasa, 10 Maret 2015

Binatang Memang Binatang


Sudah menjadi kebiasaan orang di mana-mana, setiap event besar menggunakan maskot untuk publikasinya. Walopun gak harus binatang, tapi memang banyak yang mengamanahkan binatang jadi maskot. Ayam jago pernah jadi maskot Piala Dunia 1998 di Perancis. Trenggiling dapat giliran di Brazil. Bekantan jadi maskot Dufan di Ancol. Ikan lumba-lumba dan orangutan jadi maskot sekaligus presenter di acara tipi siang-siang. Tikus juga jadi maskot antagonis di kalangan aktivis dan pendukung gerakan anti-korupsi.

Di Kalsel, sebagian orang protes kalau bekantan—primata yang asli berasal dari Pulau Kalimantan—dijadikan maskot pilkada (pemilihan kepala daerah). Alasannya ada beberapa. Misalnya, di dunia teater, bekantan biasa ‘digunakan’ sebagai sosok tokoh berkarakter curang atau culas, dan munafik. Alasan lain pun memperkuat, (sekali lagi, ini menurut beberapa orang yang concern di bidang kesenian, entah penilaian ini berlaku di dunia seni, teater atau di alam betulan) yaitu karakter bekantan dinilai sulit dipercaya dan selalu memusuhi orang yang bukan anggota keluarga atau kelompoknya.

Dufan mungkin tidak pernah mengenal dunia teater di Kalsel sehingga tenang-tenang saja menggunakannya sebagai maskot. Seperti halnya Disney yang dengan cuek menggunakan tikus sebagai tokoh berkarakter ceria, penyabar dan jauh dari kesan trouble-maker. Mereka jalan terus saja walaupun di jaman kini tikus banyak dipakai untuk menggambarkan koruptor. Dan mereka berhasil. Mickey memang tikus, tapi siapa di dunia ini yang membencinya?

Ketidaktahuan—dan sesekali sikap tidak mempersoalkan—kadang memang menjadikan hidup lebih nyaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

di sini boleh komen