Jumat, 13 Maret 2015

Buletin Multifungsi


Buletin? Ya, ada kata ‘buletin’ di kalimat terakhir postingan saya kemarin.

Ide tentang buletin itu sudah terkonsep dalam benak saya sejak pertengahan 2013. Latar belakang atau fenomena yang mendorong saya adalah kemampuan rendah dalam berbahasa Indonesia warga dan anak-anak muda di sekitar tempat tinggal saya. Pernah terjadi beberapa tahun lalu, ketidaklulusan siswa level SMP dan SLTA di daerah saya sebagian besarnya karena nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia di bawah standar.

Bagi saya pribadi, fenomena itu lumayan aneh. Karena, sewaktu saya sekolah dulu, pelajaran Bahasa Indonesia itu sama sekali bukan momok. Kalau esok pagi ulangan atau tes ujian mata pelajaran Bahasa Indonesia, artinya malam ini saya—dan kebanyakan teman saya—tidak merasa harus menambah durasi belajar. Beda halnya jika esok ujian Matematika, atau Biologi, atau Tata Negara. Rasanya, kemampuan berbahasa Indonesia itu sudah melekat saja, sudah sehari-hari terpraktekkan, sehingga tidak perlu begadang seperti halnya menghadapi ulangan atau ujian mata pelajaran lain. (Maafkan kami, wahai para guru Bahasa Indonesia, kami sama sekali tidak bermaksud menyepelekan pelajaran dari anda sekalian.)
Karena berminat dan pernah berteman dengan orang-orang yang secara mandiri bergerak menyebarluaskan kesadaran kewaspadaan terhadap HIV/AIDS, buletin itu kukonsep untuk concern pada dua hal: kewaspadaan terhadap HIV/AIDS, dan anti-narkoba.

Bentuknya sederhana, seperti buletin yang biasa digratiskan di masjid-masjid tiap hari Jumat, satu warna saja, tanpa gambar—kecuali grafik atau data bila diperlukan. Selembar dilipat begitu? Maunya sih dua lembar. Jadi ada 8 halaman setiap edisinya. Pembagian halaman dan rubrik-rubriknya, layout-nya, nama, banner dan logo buletin, semua sudah pernah kubuat. Dummy siap dicetak.

Niatnya, saya ingin para pelajar di daerah saya mempunyai bahan bacaan yang baik, bermanfaat, yang terbit secara rutin tiap bulan atau tiap dua minggu, concern di anti-narkoba dan kewaspadaan terhadap HIV/AIDS, bisa mereka dapatkan secara gratis dan teratur. Dari kalkulasi, saya pribadi sebenarnya bisa saja mendanai sendiri untuk mencetak barang 1.000 – 2.000 eksemplar setiap bulannya. Tidak sulit juga rasanya untuk membuat kontennya. Tapi jika itu saya lakukan, mungkin akan banyak waktu dan dana yang harus terlepas dari dominasi anak saya. Lagian, bisa-bisa saya dikira akan mencalonkan diri sebagai bupati. Hahaha ….

Pernah kutawarkan konsep itu ke teman di divisi pencegahan BNN (Badan Narkotika Nasional) terdekat. Itu akhir 2013 lalu, dan belum ada jawaban sampai sekarang. Mungkin mereka lebih suka berkunjung ke sekolah-sekolah untuk mengajak para remaja menjauhi narkoba. Sambil sesekali pasang baliho atau spanduk. Entah berapa kali mereka bisa berkunjung ke sekolah yang sama dalam satu tahun. Atau berapa banyak pesan yang dapat mereka sampaikan via baliho atau spanduk dalam setahun. I think, jangkauan buletin gratisan yang kugagas lebih luas, dan rangkaian pesan yang menyerbu mereka secara reguler tiap bulan atau tiap dua minggu akan lebih intensif membentuk karakter anti-narkoba dalam diri mereka. Juga membentuk kewaspadaan yang lebih mendarah daging terhadap HIV/AIDS. Saya tidak tahu pendapat mereka tentang gagasan ini.

Sasaran lain adalah dinas kesehatan dan dinas pendidikan. Atau KPA (Komisi Penanggulangan AIDS). Sudah kutembak? Belum.

Lalu, apa hubungannya dengan kemampuan rendah berbahasa Indonesia?

Saya kira, kemampuan berbahasa Indonesia itu berbanding lurus dengan kebiasaan membaca. Buletin ini bukan hanya media kampanye anti-narkoba dan kewaspadaan terhadap HIV/AIDS, tetapi juga media untuk membangun budaya membaca, membangun kemampuan berbahasa Indonesia, bahkan jelas-jelas saya maksudkan sebagai tempat untuk belajar menulis.

Iya, keinginan saya, para pelajar dan remaja harus dipancing untuk aktif menulis dan mengirimkan artikel untuk dimuat di buletin ini. Singkatnya, supaya kelak para pelajarlah yang menulis konten buletin tersebut.

Untuk mendukung hal ini, saya meminta kepada sponsor untuk menyediakan hadiah—terutama berupa kaos T-shirt—sebagai hadiah. T-shirt itu juga harus menjadi media kampanye; T-shirt harus bergrafis menarik, atau bahkan mencolok, misalnya dengan sablonan tulisan semacam ini:

  • “Pakai narkoba? Cemen!”
  • “Jauhi HIV, dekati ODHA”
  • “Mau mati sengsara? Pakai narkoba!”
  • "Narkoba = cara cepat untuk jadi bodoh."


Well, ada yang berminat mendanai? Atau minat bergabung? Siap-siap saja dulu. Kalau ada sponsor, kita racuni para remaja dengan racun anti-narkoba dan racun kewaspadaan terhadap HIV/AIDS. Mareee …!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

di sini boleh komen