Sabtu, 14 Maret 2015

Harus Hati-hati Sambil Bingung



Hari Selasa lalu, seorang teman merasa heran karena ternyata betis saya lembek, tidak terkesan berotot. Karena menurutnya, orang yang tiap hari bersepeda—apalagi rute saya naik turun walau tidak securam rute Ninja Hatori—betisnya pasti keras kayak betis atlet. Atau, minimal seperti betis orang yang sedang butuh pijat karena kecapekan.

Teman saya itu punya sebuah sepeda lipat tetapi tidak banyak digunakan dalam aktivitas sehari-hari. Jangankan ke kantor, untuk mengantar anak sekolah saja tidak. Ngakunya, kalau bersepeda dia merasa sudah mengayuh dengan cepat tapi lajunya tidak seberapa. Apalagi kalau di tanjakan, tenaga serasa sudah habis dikerahkan tetapi sepeda tidak lekas menyelesaikan tanjakan itu. Sedangkan dia melihat kayuhanku tetap santai di tanjakan-tanjakan.

Well, di situ kadang saya merasa sedih. Eh …, maksud saya, tidak setiap pemilik sepeda paham dengan karakter sepedanya. Misalnya, kalau diameter roda berbeda ukuran, tentu saja dengan jumlah putaran kayuhan yang sama, diameter yang besar menempuh jarak lebih jauh. Dengan sepeda hibritku, contohnya, aku hanya perlu 100 kayuhan untuk melewati sebuah tanjakan. Dengan sepeda beroda 16 inchi, mungkin perlu 250 putaran kayuhan untuk jarak, arah dan tanjakan yang sama. Artinya, kalau menggunakan sepeda lipat atau sepeda-sepeda lain yang berdiameter roda lebih kecil, kenapa maunya menandingi sepeda hibrit di jalan aspal? Sepeda gunung saja harus kerja keras untuk itu. (Biasanya, diameter roda sepeda gunung maksimal 26”, sedangkan sepeda hibrit 28”.)

Saya belum ingin memberi pelajaran tentang bersepeda sekarang. Yang ingin saya ungkapkan di sini adalah, betapa sulitnya memberi penjelasan kepada orang yang minder duluan sebelum benar-benar bersepeda dengan teknik yang benar. Mereka yang berpikir bahwa bersepeda itu melelahkan, atau mereka yang sudah telanjur pernah kelelahan bersepeda—karena tekniknya keliru. Saya selalu merasa harus pilih-pilih kata yang tepat supaya mereka tidak makin minder. Juga, harus mengatakan dengan sedemikian rupa sehingga tidak terkesan seperti sok tahu. Sebenarnya akan lebih mudah kalau mengajari mereka sambil praktek. Tapi menemukan waktu untuk gowes bersama-sama itu tidak begitu mudah. Bahkan, ketika waktunya ditemukan pun belum tentu kemauan itu benar-benar ada.

Iya, kadang saya nggak habis pikir tentang sebagian orang yang mempunya sepeda. Dulunya niat banget beli sepeda kok jarang dipakai. Mereka beli sepeda buat apa, sih? Buat disedekahkan kepada laba-laba untuk dijadikan komplek perumahan? Atau, dimaksudkan untuk jadi media menumbuhkan jamur untuk dipepes, mungkin? 

Yang nggak kalah begonya, mereka membeli sepeda dengan 7 – 9 gear di belakang, tetapi menyerah kalau harus menanjak. Lha sebegitu banyaknya gear yang menempel di as roda belakang itu sebelumnya ditebus dari toko mau buat apa ya?

Kalau soal keheranan saya pada para pemilik dan orang-orang yang jiper duluan sebelum bersepeda, disambung lain kali saja, deh. Lagi nggak sempat, neh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

di sini boleh komen