Kamis, 19 Maret 2015

Mengajari Nenek Untuk Patuh Hukum


Nenek Asyani diproses hukum komplet banget gara-gara menebang dan menjual pohon yang diklaim oleh perhutani. Si nenek sih tahunya pohon itu ada di atas tanah dia sendiri. Sebelum ke pengadilan, pernah ada seseorang (sebut saja oknum) yang menawari si nenek alternatif menghindari pengadilan. Caranya, si nenek memberi oknum itu sejumlah uang. Empat atau lima juta, gitu. Dari tampangnya saja jelas-jelas si nenek bukan tipe orang yang punya duit sebanyak itu.

Pernah juga seorang nenek lain harus berlelah-lelah menjalani proses pengadilan gara-gara mengambil tiga buah kakao yang memang bukan miliknya. Nenek yang ini cukup miskin untuk sekadar memenuhi kebutuhan pangannya pada garis standar umum.

Pernah juga seorang PNS bernama Gayus mengambil likuran milyar rupiah uang yang bukan miliknya. Apa vonis hukumannya? Kurungan berapa tahun? Dua belas? Tiga puluh, itu totalnya untuk beberapa tindak kriminal yang dituduhkan kepadanya. Well, berapapun lama kurungan yang divoniskan, toh sempat dipotong masa tahanan, dan sambil jalan-jalan entah ke mana, baik untuk piknik maupun untuk nonton pertandingan tenis.

Dari sejumlah orang yang kujumpai, kebanyakan berpendapat hukum berlaku tidak adil—pada kasus-kasus tersebut. Sebagian lainnya tidak menyatakan pendapatnya karena saya tidak bertanya, atau kami memang sedang tidak mengungkit-ungkit topik itu.

Tentang hukum yang terasa berbeda-beda itu, saya hanya punya satu keyakinan: semua orang tahu di fakultas hukum tidak ada mata kuliah matematika. Kalau pencuri tiga buah kakao atau apapun, misalnya senilai 100 ribu rupiah bisa dijatuhi hukuman penjara selama satu tahun, bukan berarti yang mencuri 25 milyar rupiah harus divonis 250.000 tahun penjara.

Mungkin hukum memandang setiap orang itu unik. Setiap terdakwa kriminal itu unik, sehingga vonisnya nggak harus sama. Mungkin hukum memandang vonis memang bukan untuk dibanding-bandingkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

di sini boleh komen